Minggu, 26 Januari 2014

Tamasya diantara puing-puing realitas



Perdebatan mengenai seni dan estetika dewasa ini berkisar di seputar upaya untuk mempertanyakan kembali hubungan mendasar antara seni dan penciptanya, antara seni dan masa lalu, serta antara seni dan sejarah. Misalnya, apakah seorang pencipta seni yang otonom, dan seorang pengukir sejarah seni? Atau, apakah ia hanya seorang penyampai pesan-pesan dan kode-kode bahasa yang diwariskan dari masa lalu? Kecenderungan seni dewasa ini memang berorientasi kedua arah yang saling berlawanan arah ini; ke arah masa lalu dalam bentuk dialog-dialog tekstual, dan kearah masa depan dalam bentuk penjelajahan batas-batas prinsip, medium, dan kanon seni, seperti yang tampak pada fenomena seni video, seni tubuh, atau seni bumi. Hal ini telah menimbulkan kesimpangsiuran tentang makna historis seni dan otoritas seniman, serta menimbulkan semacam kekacauan epistemologis berkaitan dengan kategori-kategori seni.
            Sejarah artistik modernitas pada hakekatnya adalah sebuah sejarah kemajuan dan keontetikan. Apa yang disebut sebagai karya otentik dalam wacana estetika modern sellau dikaitkan dengan kemunculan yang baru dan keterputusannya dengan yang lama. Tanda yang mencolok dari karya yang disebut modern, menurut Habermas, adalah “sesuatu yang baru”, yang akan dikuasai dan dibuat usang melalui kebaruan gaya yang berikutnya. Keterputusan dan kemunculan baru ini sifatnya tak lebih dari pemenuhan sementara kerinduan yang abadi akan keindahan.
            Akan tetapi, sejarah kemajuan seni modern, yang memang tidak akan membawa manusia keharibaan keindahan absolut, tengah mengalami semacam kebekuannya dalam tiga dekade terakhir ini. Ketika bidang didalam bingkai gambar telah dieksploitasi sampai sudut terakhirnya, bahkan ketika seni telah menjelajah jauh di luar bingkai seni itu – diluar medium yang biasa, diluar norma dan prinsip yang ada – ia sampai pada satu titik, dimana kebaruan dalam seni kehilangan kekuatan provokasinya, bahkan tidak memproduksi lagi apa yang disebut Shock Of The New. Penjelajahan artistik modernitas kemasa depan yang bersifat progresif, utopis, dan tanpa batas telah berakhir dengan sebuah jalan buntu: tak ada lagi daerah baru untuk dijelajah, tak ada lagi ruang untuk dikuasai, tak ada lagi kebaruan yang lebih baru – semua berakhir dengan kefatalan. “tiba – tiba” kata Jean Baudrillard,”muncul sebuah tikungan di jalan, sebuah titik kembali. Di suatu tempat, panorama yang real menghilang, panorama dimana anda masih mempunyai aturan untuk bermain dan pegangan tempat bergantung” tikungan diujung jalan itu adalah tempat sejarah menemukan kebekuannya. Sejarah itu sendiri tidak lenyap, kata Baudrillard, ia hanya dalam masa tidur panjang, dalam keadaan koma. “Bahkan, tanpa menyadari akan perubahan yang terjadi, kita tiba-tiba telah meninggalkan dunia real di belakang kita”
            Sejarah, yang pada awalnya merupakan rekaman realitas, kini berada di dalam ruang hiperealitasdalam bentuk simulasi. Sejarah tak lagi bermakna, ia tak lagi menunjuk apapaun – apakah itu ruang sosial apakah itu realitas. Kita masuk dalam situasi dimana segala sesuatu diulang-ulang secara tak terbatas. Keadaan stagnasi ini telah menimbulkan semacam krisi keprcayaan terhadap kemajuan dan kebaruan, dan dalam waktu yang bersamaan telah menimbulkan rasa ketidakamanan terhadap kemungkinan masa depan yang utopis. Satu-satunya realitas yang tersisa peralihan dari suatu benda (komoditi) ke benda (komoditi) lainnya. Dan satu-satunya kepercayaan yang ada adalah kepercayaan pada peralihan konstan dalam bentuk kebudayaan materi ini.
            Keharusan beralih dari satu benda ke benda lainnya, merupakan satu manifestasi dari sistem kapitalisme. Segalanya harus bergerak: mesin harus berputar modal harus berjalan, stok harus diganti, window display harus dibersihkan, mode harus dibikin baru, dan seterusnya. Kepanikan dalam diskursus kapitalisme adalah kepanikan akan percepatan. Bagaikan seorang pengendara mobil balap yang berputar ad infinitum melingkari sirkuit, tidak ada bekas sejarah yang ditinggalkannya dibelakang, kecuali obsesinya terhadap kecepatan dan percepatanitu sendiri. Hukum kebudayaan benda kapitalisme merupakan analogi dari hukum ekonomi sirkuit – segala sesuatu harus bergerak, berputar, bergeser dalam tempo dan percepatan yang bersaing.
            Meskipun seni tidak dapat dibandingkan dengan televisi, pada kenyataanya seni (yang dianggap atau menganggap diri) posmodern tak ubahnya seperti wacana televisi. Televisi dalam bentuknya sebagai komoditi, bukanlah semata rekaman historis dari realitas – realitas. Sebaliknya, televisi merupakan deskonstruksi dan penghancuran realitas dan sejarah. Di dalam televisi realitas dan sejarah bisa disimulasi dan dimanipulasi, di re-play. Demikian pula halnya dengan seni posmodern dalam hal ini, penjelasan Baudrillard mengnai seni posmodern dapat memberikan gambaran betapa tipis batas antara seni posmodern dan televisi. Seni posmodern katanya, mengandung karakteristik tertentu dari sebuah alam, dimana tak mungkin lagi ada definisi. Inilah salah satu bentuk kemungkinan citra – citra yang bangkit kembali dalam bentuknya yang ironis. Seseorang tidak lagi berda di sejarah seni atau sejarah bentuk. Semuanya telah didekonstruksi atau dimusnahkan. Dalam kenyataanya, tak ada lagi referensi untuk bentuk. Semuanya telah pernah dibuat. Batas terjauh dari kemungkinan bentuk telah dicapai. Referensi telah memusnahkan dirinya sendiri. Ia telah mendekonstruksi alam semestanya sendiri. Kini yang tertinggal hanyalah kepingan – kepingan. Yang masih tersisa untuk dilakukan adalah bermain dengan kepingan – kepingan ini.
            Ketika seluruh pelosok bingkai seni telah dijelajahi, ketika tak ada lagi yang dapat dikatakan sebagai sesuatu yang baru, dan ketika dalam penjelajahan seni yang ditemukan hanyalah tikungan – tikungan antitesis sejarah, maka yang dpat dilakukan oleh sang seniman adalah mengkombinasikan kembali dengan bermain bentuk-bentuk yang sudah ada, yang sudah dibuatyang sudah diwariskan. Jadi semacam penjelajahan dan dialog dengan masa lalu.

1 komentar: