Perdebatan mengenai seni dan estetika dewasa ini
berkisar di seputar upaya untuk mempertanyakan kembali hubungan mendasar antara
seni dan penciptanya, antara seni dan masa lalu, serta antara seni dan sejarah.
Misalnya, apakah seorang pencipta seni yang otonom, dan seorang pengukir
sejarah seni? Atau, apakah ia hanya seorang penyampai pesan-pesan dan kode-kode
bahasa yang diwariskan dari masa lalu? Kecenderungan seni dewasa ini memang
berorientasi kedua arah yang saling berlawanan arah ini; ke arah masa lalu
dalam bentuk dialog-dialog tekstual, dan kearah masa depan dalam bentuk
penjelajahan batas-batas prinsip, medium, dan kanon seni, seperti yang tampak
pada fenomena seni video, seni tubuh, atau seni bumi. Hal ini telah menimbulkan
kesimpangsiuran tentang makna historis seni dan otoritas seniman, serta
menimbulkan semacam kekacauan epistemologis berkaitan dengan kategori-kategori
seni.
Sejarah artistik modernitas pada
hakekatnya adalah sebuah sejarah kemajuan dan keontetikan. Apa yang disebut
sebagai karya otentik dalam wacana estetika modern sellau dikaitkan dengan
kemunculan yang baru dan keterputusannya dengan yang lama. Tanda yang mencolok
dari karya yang disebut modern, menurut Habermas, adalah “sesuatu yang baru”,
yang akan dikuasai dan dibuat usang melalui kebaruan gaya yang berikutnya.
Keterputusan dan kemunculan baru ini sifatnya tak lebih dari pemenuhan
sementara kerinduan yang abadi akan keindahan.
Akan tetapi, sejarah kemajuan seni
modern, yang memang tidak akan membawa manusia keharibaan keindahan absolut,
tengah mengalami semacam kebekuannya dalam tiga dekade terakhir ini. Ketika
bidang didalam bingkai gambar telah dieksploitasi sampai sudut terakhirnya,
bahkan ketika seni telah menjelajah jauh di luar bingkai seni itu – diluar
medium yang biasa, diluar norma dan prinsip yang ada – ia sampai pada satu
titik, dimana kebaruan dalam seni kehilangan kekuatan provokasinya, bahkan
tidak memproduksi lagi apa yang disebut Shock Of The New. Penjelajahan artistik
modernitas kemasa depan yang bersifat progresif, utopis, dan tanpa batas telah
berakhir dengan sebuah jalan buntu: tak ada lagi daerah baru untuk dijelajah,
tak ada lagi ruang untuk dikuasai, tak ada lagi kebaruan yang lebih baru –
semua berakhir dengan kefatalan. “tiba – tiba” kata Jean Baudrillard,”muncul
sebuah tikungan di jalan, sebuah titik kembali. Di suatu tempat, panorama yang
real menghilang, panorama dimana anda masih mempunyai aturan untuk bermain dan
pegangan tempat bergantung” tikungan diujung jalan itu adalah tempat sejarah
menemukan kebekuannya. Sejarah itu sendiri tidak lenyap, kata Baudrillard, ia
hanya dalam masa tidur panjang, dalam keadaan koma. “Bahkan, tanpa menyadari
akan perubahan yang terjadi, kita tiba-tiba telah meninggalkan dunia real di
belakang kita”
Sejarah, yang pada awalnya merupakan
rekaman realitas, kini berada di dalam ruang hiperealitasdalam bentuk simulasi.
Sejarah tak lagi bermakna, ia tak lagi menunjuk apapaun – apakah itu ruang
sosial apakah itu realitas. Kita masuk dalam situasi dimana segala sesuatu
diulang-ulang secara tak terbatas. Keadaan stagnasi ini telah menimbulkan
semacam krisi keprcayaan terhadap kemajuan dan kebaruan, dan dalam waktu yang
bersamaan telah menimbulkan rasa ketidakamanan terhadap kemungkinan masa depan
yang utopis. Satu-satunya realitas yang tersisa peralihan dari suatu benda
(komoditi) ke benda (komoditi) lainnya. Dan satu-satunya kepercayaan yang ada
adalah kepercayaan pada peralihan konstan dalam bentuk kebudayaan materi ini.
Keharusan beralih dari satu benda ke
benda lainnya, merupakan satu manifestasi dari sistem kapitalisme. Segalanya
harus bergerak: mesin harus berputar modal harus berjalan, stok harus diganti, window display harus dibersihkan, mode
harus dibikin baru, dan seterusnya. Kepanikan dalam diskursus kapitalisme
adalah kepanikan akan percepatan. Bagaikan seorang pengendara mobil balap yang
berputar ad infinitum melingkari
sirkuit, tidak ada bekas sejarah yang ditinggalkannya dibelakang, kecuali
obsesinya terhadap kecepatan dan percepatanitu sendiri. Hukum kebudayaan benda
kapitalisme merupakan analogi dari hukum ekonomi sirkuit – segala sesuatu harus
bergerak, berputar, bergeser dalam tempo dan percepatan yang bersaing.
Meskipun seni tidak dapat
dibandingkan dengan televisi, pada kenyataanya seni (yang dianggap atau
menganggap diri) posmodern tak ubahnya seperti wacana televisi. Televisi dalam
bentuknya sebagai komoditi, bukanlah semata rekaman historis dari realitas –
realitas. Sebaliknya, televisi merupakan deskonstruksi dan penghancuran
realitas dan sejarah. Di dalam televisi realitas dan sejarah bisa disimulasi
dan dimanipulasi, di re-play. Demikian
pula halnya dengan seni posmodern dalam hal ini, penjelasan Baudrillard mengnai
seni posmodern dapat memberikan gambaran betapa tipis batas antara seni
posmodern dan televisi. Seni posmodern katanya, mengandung karakteristik
tertentu dari sebuah alam, dimana tak mungkin lagi ada definisi. Inilah salah
satu bentuk kemungkinan citra – citra yang bangkit kembali dalam bentuknya yang
ironis. Seseorang tidak lagi berda di sejarah seni atau sejarah bentuk.
Semuanya telah didekonstruksi atau dimusnahkan. Dalam kenyataanya, tak ada lagi
referensi untuk bentuk. Semuanya telah pernah dibuat. Batas terjauh dari
kemungkinan bentuk telah dicapai. Referensi telah memusnahkan dirinya sendiri.
Ia telah mendekonstruksi alam semestanya sendiri. Kini yang tertinggal hanyalah
kepingan – kepingan. Yang masih tersisa untuk dilakukan adalah bermain dengan
kepingan – kepingan ini.
Ketika seluruh pelosok bingkai seni
telah dijelajahi, ketika tak ada lagi yang dapat dikatakan sebagai sesuatu yang
baru, dan ketika dalam penjelajahan seni yang ditemukan hanyalah tikungan –
tikungan antitesis sejarah, maka yang dpat dilakukan oleh sang seniman adalah
mengkombinasikan kembali dengan bermain bentuk-bentuk yang sudah ada, yang
sudah dibuatyang sudah diwariskan. Jadi semacam penjelajahan dan dialog dengan
masa lalu.
tema ngopi
BalasHapus