Teringat tahun
2010 lalu, saat pertama kali saya menduduki bangku perkuliahan, ada 1
pertanyaan yang sempat membuat otak melilit hingga selulitis sel rambut. Ketika
itu hari pertama saya menjadi mahasiswi
di sebuah universitas swasta di kota Malang. Saya masuk di jurusan pendidikan
biologi dimana seluruh mata kuliah yang akan saya lalui ialah mata kuliah eksak
yang berhubungan ilmu pengetahuan alam serta ilmu pendidikan. Sedangkan ilmu
pengetahuan sosial maupun filsafat tidak begitu komplit diajarkan.
Muncullah satu
pemikiran menggelitik mengenai organ tubuh manusia yakni hati nurani dan akal
fikiran. Saya masih menganggapnya organ manusia saat itu. “Dimanakah sebenarnya
letak hati nurani dan akal fikiran manusia sebenarnya?” pertanyaan itu muncul
ketika kita sadari sejatinya hati berfungsi sebagai penawar racun dalam sistem
pencernaan dan otak hanya terdiri atas kumpulan sel syaraf. “lalu bagaimanakah
terjadinya fikiran sebenarnya?dan dimanakah hati nurani yang selama ini kita
anggap sebagai pembeda yang haq dan yang bathil?”. Dosen baru saya, yang saya
kerjai pada saat itu, hanya bisa menerangkan “hati dan fikiran” secara abstrak
saja dan membuat saya kurang puas. Hingga dosen itu memberi saya buku tapi
bukan tentang hati dan fikiran.
Perjalanan perkuliahan
ini pun berjalan hingga di semester 5 saya mengetahui realitas hati dan akal
atau fikiran itu secara fisiologis. Dalam Ilmu Anatomi Fisiologi Manusia
dijelaskan bahwa ketika lambung kosong, maka asam lambung atau HCL akan disekresikan
sehingga mengenai saraf sensorik yang ada di dinding lambung. Saraf sensorik tersebut
meneruskan impuls ke otak manusia untuk di proses. Impuls pada otak
diterjemahkan berupa rasa lapar dan meningkatkan nafsu makan. Selanjutnya impuls
yang telah diterjemahkan diteruskan kembali melalui saraf motorik ke efektor
yakni lambung. Sehingga lambung bisa merasakan lapar. Pemrosesan impuls atau
rangsangan dalam otak menunjuukkan bahwa pada otak terdapat fikiran atau biasa
disebut sebagai akal. Sedangkan nafsu makan, sederhananya “nafsu” bisa
dikatakan sebagai “rasa” atau hati nurani.
Proses
tersebut menunjukkan bahwa akal dalam otak berfungsi sebagai pengontrol hati. Meski
begitu saya masih belum puas mengenai penjelasan akal dan hati pada manusia.
Akhir-akhir
ini ketika saya telah menjadi mahasiswa lama, alias semester tua, saya
menemukan hakikat hati dan akal yang telah dibahas pada buku filsafat umum. Diterangkan
bahwa dari zaman Yunani Kuno, Abad Pertengahan dan zaman modern yang ditandai
dengan Renaissance, akal dan hati telah menjadi perdebatan para ilmuwan. Yakni sebagai
berikut:
Pelaku
filsafat adalah akal, dan “musuh” atau partnernya adalah hati-rasa.
Pertentangan antara keduanya itulah pada dasarnya isi sejarah filsafat. Memang
pusat kendali kehidupan manusia terletak di tiga tempat yaitu indera, akal, dan
hati. Namun, akal dan hati itulah yang paling menentukan. Yang dimaksud dengan akal disini adalah akal
logis yang bertempat di kepala, sedangkan hati ialah kira-kira sebuah rasa yang
bertempat di dalam dada. Akal itulah
yang menghasilkan pengetahuan logis yang disebut sebagai filsafat, sedangkan
hati pada dasarnya menghasilkan pengetahuan supralogis yang disebut sebagai
pengetahuan meistik; iman temasuk disini. Rivalitas diantara kedua-duanya telah
terjadi di dalam sejarah peradaban .
Akal dan hati pada abad Yunani Kuno
Apa yang
pernah dikatakan sebelumnya bahwa filsafat dan agama adalah 2 kekuatan yang
mewarnai dunia, mulai kelihatan kebenarannya pada zaman Yunani Kuno. Filsafat
pada dasarnya adalah akal, agama pada pokoknya adalah iman (hati, rasa). Oleh
karen aitu wajarlah bila perkembangan budaya selalu dilatarbelakangi oleh
pergulatan antara akal dan hati, antara rasio dan iman, antara filsafat dan
agama.
Pada tahap
permulaan, yaitu pada Thales dan beberapa kawannya, akal mulai menonjol
dominasinya, tetapi iman masih kelihatan memainkan perannya. Filsafat Thales
misalnya belum murni akliyah, didalam argumennya kita masih dapat melihat
adanya pengaruh kepercayaan pada mitos Yunani; mitos adalah agama jadi iman. Begitu
juga dengan Phytagoras, misalnya, kitapun masih dapat melihat adanya pengaruh
mitos tersebut. Argumennya tentang angka-angka tersebut agaknya belum murni
akliyah; ordonya yang pantang beberapa jenis makanan, jelas merupakan indikator
bahwa dia masih dipengaruhi oleh kepercayaan dalam berfilsafat. Sehingga dapat
diambil kesimpulan bahwa pada saat bertolak akal dan hati, rasio dan iman,
filsafat dan agama masih sama-sama memegang di=ominasi terhadap kehidupan.
Pada zaman
sofis keadaan banyak berubah. Pada zaman ini akal dapat dikatakan menang
mutlak. Manusia adalah ukuran kebenaran, juga semua kebenaran relatif, yang
merupakan ciri filsafat sofisme, jelas merupakan tanda bahwa akal menang mutlak
terhadap iman. Lalu apa akibatnya? Kekacauan, yaitu kekacauan kebenaran. Tidak
adanya ukuran yang berlaku umum tentang kebenaran, jelas merupakan penyebab
terjadinya kekacauan itu. Akibat selanjutnya ialah semua teori sains diragukan,
semua akidah dan kaidah agama dicurigai. Ini sudah dapat dijadikan bukti bahwa
manusia pada zaman itu telah hidup tanpa pegangan. Ini amat berbahaya, keadaan
itu disertai pula oleh munculnya “pembela-pembela” kebenaran, ya, orang sofis
itu. Mereka mengajar, menjadi guru terutama bagi pemuda dalam filsafat mereka
menjadi filosof dan menjadi hakim. Bayangkan apa yang akan terjadi lebih
lanjut. Kakacauan meluas. Maka tampillah sang pembela kebenaran, yaitu
socrates, sang guru.
Misi
Socrates amatlah jelas, menghentikan pemikiran sofis yang menganggap bahwa
semua kebenaran itu relatif. Pemikiran inilah yang menjadi biang keladi
kekacauan itu. Cara yang ditempuh oleh Socrates mudah ditebak, yaitu meyakinkan
orang Athena, terutama para filosof dan hakim sofis; bahwa tidak smeua
kebenaran itu relatif; ada kebenaran yang umum yakni kebenaran yang dapat
diterima oleh semua orang. Inilah pengertian umum. Dalam kerangka ini
pengertian umum inilah yang merupakan temuan Socrates yang terpenting.
Akal dan hati pada abad pertengahan
Akal
pada abad pertengahan ini benar-benar kalah. Hal itu terlihat jelas pada
filsafat Plotinus, Agustinus Anselmus. Pada Aquinas penghargaan terhadap akal
muncul kembali, karena itu filsafatnya banyak mendapat kritik. Sebagaimana
telah dikatakan, abad pertengahan merupakan pembalasan terhadap dominasi akal
yang hampir 100% pada zaman Yunani sebelumnya, terutama pada zaman Sofis.
Pemasungan
akal dengan jelas terlihat pada pemikiran Plotinus. Ia mengatakan bahwa Tuhan
(ini mewakili metafisika) bukan untuk dipahami, melainkan dirasakan. Olah
karena itu, tujuan filsafat dan tujuan hidup secara umum adalah bersatu dengan
Tuhan. Sedangkan filsafat rasional dan sains itu tidak penting.
Akal dan hati pada abad pencerahan
(zaman modern)
Pada
abad pertengahan, hegemoni antara akal dan iman benar-benar tidak seimbang. Pada
abad itu, akal kalah total dan iman menang mutlak. Abad ini telah
mempertontonkan kelambanan kemajuan manusia, padahal tadinya manusia itu sudah
membuktikan bahwa ia sanggup maju dengan cepat. Abad ini juga telah dipenuhi
dengan lembaran hitam berupa pemusnahan orang-orang yang berfikir kreatif,
karen apmikirannya berlawanan dengan pikiran tokoh gereja. Abad ini tidak saja
lamban, namun filsafat juga mundur pada abad ini.
Namun,
setelah adanya Renaissance atau kebangkitan (pencerahan), filsafat kembali
dikembangkan. Masa ini melahirkan pemikiran-pemikiran para ahli mengenai akal
dan hati. Diantaranya sebagi berikut:
·
Condorcet
Condorcet menekankan
bahwa tidak ada pilihan lain selain pendidikan umum. Maksudnya sains dan logika
itulah yang penting.
·
Spinoza
Spinoza
menyimpulkan bahwa alam semesta itu layaknya suatu sistem dalam matematika, dan
dapat dijelaskan secara a priori dengan
cara mendeduksi aksioma aksioma.
·
David Hume
David Hume
mengatakan bahwa bila akal telah menentang manusia, maka akan tiba waktunya
manusia akan menentang akal. Keyakinan agama dan harapan yang bergema di ratusan
ribu menara di sleuruh penjuru Eropa, yang telah berakar amat dalam pada
lembaga-lembaga sosial dan di hati manusia, tidak akan begitu saja mengizinkan
mereka tunduk terhadap akal.
Berdasarkan
teori-teori para ahli di atas dapat dibayangkan bagaimana akal dan hati yang
telah tercipta telah mampu mengguncangkan dunia dari abad ke abad. Lalu
sebenarnya apakah hati adan akal itu?
Bila ditelaah
secara epistemologi, aliran Rasionalisme menyatakan bahwa akal adalah dasar
kepastian pengetahuan. Pada aliran intuisionisme mengatakan bahwa tidak hanya
indera yang terbatas, akal pun juga terbatas. Sedangkan aliran illuminasionisme
menyatakan bahwa manusia yang hatinya telah bersih, telah siap menerima
pengetahuan dari Tuhan.
Teori-teori
tersebut masih saja belum menjawab apakah sebnarnya kal dan hati itu? Mungkinkah
akal dan hati telah ada bahkan sebelum akal dan hati itu diciptakan? Ataukah akal
dan hati merupakan nama dari sesuatu yang abstrak namun dapat dirasakan keberadaannya?
Para tokoh
filsafat hanya dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan “tidak ada kebenaran
relatif”. Bahkan bila tak pernah ditemukan materi hati dan akal, akan ada
jawaban “No Matter, Never Mind”
oleh : Nur Aisyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar