Senin, 13 Januari 2014

Akal Dan Hati Dari Zaman Yunani Kuno, Abad Pertengahan Hingga Renaissance


Teringat tahun 2010 lalu, saat pertama kali saya menduduki bangku perkuliahan, ada 1 pertanyaan yang sempat membuat otak melilit hingga selulitis sel rambut. Ketika itu  hari pertama saya menjadi mahasiswi di sebuah universitas swasta di kota Malang. Saya masuk di jurusan pendidikan biologi dimana seluruh mata kuliah yang akan saya lalui ialah mata kuliah eksak yang berhubungan ilmu pengetahuan alam serta ilmu pendidikan. Sedangkan ilmu pengetahuan sosial maupun filsafat tidak begitu komplit diajarkan.
Muncullah satu pemikiran menggelitik mengenai organ tubuh manusia yakni hati nurani dan akal fikiran. Saya masih menganggapnya organ manusia saat itu. “Dimanakah sebenarnya letak hati nurani dan akal fikiran manusia sebenarnya?” pertanyaan itu muncul ketika kita sadari sejatinya hati berfungsi sebagai penawar racun dalam sistem pencernaan dan otak hanya terdiri atas kumpulan sel syaraf. “lalu bagaimanakah terjadinya fikiran sebenarnya?dan dimanakah hati nurani yang selama ini kita anggap sebagai pembeda yang haq dan yang bathil?”. Dosen baru saya, yang saya kerjai pada saat itu, hanya bisa menerangkan “hati dan fikiran” secara abstrak saja dan membuat saya kurang puas. Hingga dosen itu memberi saya buku tapi bukan tentang hati dan fikiran.
Perjalanan perkuliahan ini pun berjalan hingga di semester 5 saya mengetahui realitas hati dan akal atau fikiran itu secara fisiologis. Dalam Ilmu Anatomi Fisiologi Manusia dijelaskan bahwa ketika lambung kosong, maka asam lambung atau HCL akan disekresikan sehingga mengenai saraf sensorik yang ada di dinding lambung. Saraf sensorik tersebut meneruskan impuls ke otak manusia untuk di proses. Impuls pada otak diterjemahkan berupa rasa lapar dan meningkatkan nafsu makan. Selanjutnya impuls yang telah diterjemahkan diteruskan kembali melalui saraf motorik ke efektor yakni lambung. Sehingga lambung bisa merasakan lapar. Pemrosesan impuls atau rangsangan dalam otak menunjuukkan bahwa pada otak terdapat fikiran atau biasa disebut sebagai akal. Sedangkan nafsu makan, sederhananya “nafsu” bisa dikatakan sebagai “rasa” atau hati nurani.
            Proses tersebut menunjukkan bahwa akal dalam otak berfungsi sebagai pengontrol hati. Meski begitu saya masih belum puas mengenai penjelasan akal dan hati pada manusia.
            Akhir-akhir ini ketika saya telah menjadi mahasiswa lama, alias semester tua, saya menemukan hakikat hati dan akal yang telah dibahas pada buku filsafat umum. Diterangkan bahwa dari zaman Yunani Kuno, Abad Pertengahan dan zaman modern yang ditandai dengan Renaissance, akal dan hati telah menjadi perdebatan para ilmuwan. Yakni sebagai berikut:
Pelaku filsafat adalah akal, dan “musuh” atau partnernya adalah hati-rasa. Pertentangan antara keduanya itulah pada dasarnya isi sejarah filsafat. Memang pusat kendali kehidupan manusia terletak di tiga tempat yaitu indera, akal, dan hati. Namun, akal dan hati itulah yang paling menentukan.  Yang dimaksud dengan akal disini adalah akal logis yang bertempat di kepala, sedangkan hati ialah kira-kira sebuah rasa yang bertempat di dalam dada.  Akal itulah yang menghasilkan pengetahuan logis yang disebut sebagai filsafat, sedangkan hati pada dasarnya menghasilkan pengetahuan supralogis yang disebut sebagai pengetahuan meistik; iman temasuk disini. Rivalitas diantara kedua-duanya telah terjadi di dalam sejarah peradaban .
Akal dan hati pada abad Yunani Kuno
Apa yang pernah dikatakan sebelumnya bahwa filsafat dan agama adalah 2 kekuatan yang mewarnai dunia, mulai kelihatan kebenarannya pada zaman Yunani Kuno. Filsafat pada dasarnya adalah akal, agama pada pokoknya adalah iman (hati, rasa). Oleh karen aitu wajarlah bila perkembangan budaya selalu dilatarbelakangi oleh pergulatan antara akal dan hati, antara rasio dan iman, antara filsafat dan agama.
Pada tahap permulaan, yaitu pada Thales dan beberapa kawannya, akal mulai menonjol dominasinya, tetapi iman masih kelihatan memainkan perannya. Filsafat Thales misalnya belum murni akliyah, didalam argumennya kita masih dapat melihat adanya pengaruh kepercayaan pada mitos Yunani; mitos adalah agama jadi iman. Begitu juga dengan Phytagoras, misalnya, kitapun masih dapat melihat adanya pengaruh mitos tersebut. Argumennya tentang angka-angka tersebut agaknya belum murni akliyah; ordonya yang pantang beberapa jenis makanan, jelas merupakan indikator bahwa dia masih dipengaruhi oleh kepercayaan dalam berfilsafat. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pada saat bertolak akal dan hati, rasio dan iman, filsafat dan agama masih sama-sama memegang di=ominasi terhadap kehidupan.
Pada zaman sofis keadaan banyak berubah. Pada zaman ini akal dapat dikatakan menang mutlak. Manusia adalah ukuran kebenaran, juga semua kebenaran relatif, yang merupakan ciri filsafat sofisme, jelas merupakan tanda bahwa akal menang mutlak terhadap iman. Lalu apa akibatnya? Kekacauan, yaitu kekacauan kebenaran. Tidak adanya ukuran yang berlaku umum tentang kebenaran, jelas merupakan penyebab terjadinya kekacauan itu. Akibat selanjutnya ialah semua teori sains diragukan, semua akidah dan kaidah agama dicurigai. Ini sudah dapat dijadikan bukti bahwa manusia pada zaman itu telah hidup tanpa pegangan. Ini amat berbahaya, keadaan itu disertai pula oleh munculnya “pembela-pembela” kebenaran, ya, orang sofis itu. Mereka mengajar, menjadi guru terutama bagi pemuda dalam filsafat mereka menjadi filosof dan menjadi hakim. Bayangkan apa yang akan terjadi lebih lanjut. Kakacauan meluas. Maka tampillah sang pembela kebenaran, yaitu socrates, sang guru.
Misi Socrates amatlah jelas, menghentikan pemikiran sofis yang menganggap bahwa semua kebenaran itu relatif. Pemikiran inilah yang menjadi biang keladi kekacauan itu. Cara yang ditempuh oleh Socrates mudah ditebak, yaitu meyakinkan orang Athena, terutama para filosof dan hakim sofis; bahwa tidak smeua kebenaran itu relatif; ada kebenaran yang umum yakni kebenaran yang dapat diterima oleh semua orang. Inilah pengertian umum. Dalam kerangka ini pengertian umum inilah yang merupakan temuan Socrates yang terpenting.
Akal dan hati pada abad pertengahan
            Akal pada abad pertengahan ini benar-benar kalah. Hal itu terlihat jelas pada filsafat Plotinus, Agustinus Anselmus. Pada Aquinas penghargaan terhadap akal muncul kembali, karena itu filsafatnya banyak mendapat kritik. Sebagaimana telah dikatakan, abad pertengahan merupakan pembalasan terhadap dominasi akal yang hampir 100% pada zaman Yunani sebelumnya, terutama pada zaman Sofis.
            Pemasungan akal dengan jelas terlihat pada pemikiran Plotinus. Ia mengatakan bahwa Tuhan (ini mewakili metafisika) bukan untuk dipahami, melainkan dirasakan. Olah karena itu, tujuan filsafat dan tujuan hidup secara umum adalah bersatu dengan Tuhan. Sedangkan filsafat rasional dan sains itu tidak penting.  
Akal dan hati pada abad pencerahan (zaman modern)
            Pada abad pertengahan, hegemoni antara akal dan iman benar-benar tidak seimbang. Pada abad itu, akal kalah total dan iman menang mutlak. Abad ini telah mempertontonkan kelambanan kemajuan manusia, padahal tadinya manusia itu sudah membuktikan bahwa ia sanggup maju dengan cepat. Abad ini juga telah dipenuhi dengan lembaran hitam berupa pemusnahan orang-orang yang berfikir kreatif, karen apmikirannya berlawanan dengan pikiran tokoh gereja. Abad ini tidak saja lamban, namun filsafat juga mundur pada abad ini.
Namun, setelah adanya Renaissance atau kebangkitan (pencerahan), filsafat kembali dikembangkan. Masa ini melahirkan pemikiran-pemikiran para ahli mengenai akal dan hati. Diantaranya sebagi berikut:
·         Condorcet
Condorcet menekankan bahwa tidak ada pilihan lain selain pendidikan umum. Maksudnya sains dan logika itulah yang penting.  
·         Spinoza
Spinoza menyimpulkan bahwa alam semesta itu layaknya suatu sistem dalam matematika, dan dapat dijelaskan secara a priori dengan cara mendeduksi aksioma aksioma.
·         David Hume
David Hume mengatakan bahwa bila akal telah menentang manusia, maka akan tiba waktunya manusia akan menentang akal. Keyakinan agama dan harapan yang bergema di ratusan ribu menara di sleuruh penjuru Eropa, yang telah berakar amat dalam pada lembaga-lembaga sosial dan di hati manusia, tidak akan begitu saja mengizinkan mereka tunduk terhadap akal.
            Berdasarkan teori-teori para ahli di atas dapat dibayangkan bagaimana akal dan hati yang telah tercipta telah mampu mengguncangkan dunia dari abad ke abad. Lalu sebenarnya apakah hati adan akal itu?
Bila ditelaah secara epistemologi, aliran Rasionalisme menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pada aliran intuisionisme mengatakan bahwa tidak hanya indera yang terbatas, akal pun juga terbatas. Sedangkan aliran illuminasionisme menyatakan bahwa manusia yang hatinya telah bersih, telah siap menerima pengetahuan dari Tuhan.
            Teori-teori tersebut masih saja belum menjawab apakah sebnarnya kal dan hati itu? Mungkinkah akal dan hati telah ada bahkan sebelum akal dan hati itu diciptakan? Ataukah akal dan hati merupakan nama dari sesuatu yang abstrak namun dapat dirasakan keberadaannya?
Para tokoh filsafat hanya dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan “tidak ada kebenaran relatif”. Bahkan bila tak pernah ditemukan materi hati dan akal, akan ada jawaban “No Matter, Never Mind”

oleh : Nur Aisyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar