Selasa, 31 Desember 2013

Naramarga, orang jalanan




Hubungan antara jumlah penduduk dan lingkungannya makin lama makin tidak seimbangsejak paruhkedua abad XX lalu. Di Dunia Selatan penduduk banyak sekali (3/4) dan tumbuh cepat, tetapi mempunyai potensi merusak lingkungan yang rendah; sedangkan di Utara penduduknya sedikit dan pertumbuhannya rendah, bahkan di beberapa tempat negatif, tetapi daya merusaknya tinggi, karena hiperkonsumsi yang menuntut hipereksploitasi. Hiperkonsumsi berhubungan timbal balik dengan kemewahan, dan luxus yang meningkat menuntut eksploitasi yang meningkat pula. Utara secara tak langsung mendesak Selatan ke pinggir dalam mempertahankan standar kemewahannya sendiri.
            Pada akhir abad ke XXI penduduk dunia ditaksir sudah 12 milyar jiwa. Dengan desakan penyebaran global ekonomi pasar bebasoleh Amerika Serikat, maka kesenjangan ekonomi dan kerusakan ekologi akan bertambah. Penduduk miskin akan bertambah secara numerik maupun prosentual dan kebanyakan dari mereka berada di Dunia Selatan. Pertambahan penduduk memperbanyak aglomerasi kota-kota besar. Kota metropolis (lebih 1 juta jiwa) yang pada tahun 1950-an dari 10 terbesar hanya 3 yang berada di Selatan, pada tahun1990-an hanya ada 3 dari 10 megalopolis (lebih 10 juta) berada di Utara. Pertumbuhan kota di Utara tampak pada gedung apartemen tinggi-tinggi (hi- rise building), di Selatan ditandai oleh bertambahnya kampung atau kota kumuh (shanty-towns) di kota-kota raya. Ada perkumuhan bertingkat di Kalkatta, tetapi umumnya perkumuhan (slums, sloppenwijken) terdapat diantara pencakar-pencakar langit atau di gedung-gedung tua di tengah kota (inner city) atau di taman-taman, di kiri-kanan rel atau jalan raya.

            Jakarta pada tahun 2025 jumlah penduduknya mungkin sudah mencapai 17 juta dan tidak mungkin disediakan perumahan dengan harga rendah dan pekerjaan untuk mereka semua. Di hampir semua megalopolis penduduk perkumuhan berkisar antara 20-50 %. Tidak semuanya mereka mendapat tempat di rumah kumuh, sebagian bermalam di kaki lima, stasion atas dan bawah tanah, taman (kalo dingin berkemah di tenda kumuh), gerbong kereta api tua dan sebagainya.
            Mereka mencari makan di jalanan, dan mereka memang naramarga , orang-orang jalanan; ada diantaranya yang hidup disan mulai sejak bayi sampai tua renta. Pekerjaan mereka tergolong dalam ekonomi alternatif, yang disebut juga ekonomi bawah tanah, ekonomi gelap atau kontra ekonomi. Hampir semua mereka bekerja tetapi karena tidak terdaftar, per definitionem mereka dianggap penganggur (bekerja tidak dengan upah tetap dan kurang dari 40 jam seminggu). Ekonomi alternatif sangat resilient (berketahanan tinggi ), jauh lebih tinggi dari zombigaisha (perusahaan mayat hidup) dengan curahan kredit dari bank sekarat melalui kelompok gangster, seperti Yakuza.
            Pada tahun 1964 Indonesia diberitakan luas oleh pers asing akan kolaps, karena inflasi membumbung tinggi dengan pencetakan uang massal untuk Trikora, Dwikora, dan pembangunan nasional semesta berencana, paceklik dan busung lapar dimana-mana, serta impor resmi hampir tidak ada. Tetapi Indonesia tidak kolaps, akrena ekonomi alternatif tetap jalan, didukung oleh mikro-wiraswasta.
            Dalam krisis yang mulai dari 1997, dari ekonomi dual, ekonomi formal lebih dahulu kempis gelembungnya, harus ditimba kembali agar tidak mati tenggelam, dengan kredit masif dari pemerintah; jadi harus ditolong oleh rakyat kecil. Ekonomi alternatif tidak erat terlibat dalam sistem pasar bebas dunia, sehingga tetap bertahan. Kalau dalam globalisasi ekonomi, dualisme ekonomi dilenyapkan (padahal di Barat makin bertumbuh), maka sebagian besar rakyat akan sukar sekali bertahan hidup.; membeli barang keperluannya dengan harga global (yang selalu disesuaikan oleh pemerintah), dan membayarnya dari upah lokal (yang tidak disesuaikan oleh pemerintah). Pemerintah ingin menghentikan hajat hidup orang banyak, tetapi terus menrima subsidi dari gaji kecil pegawai negeri (kecuali anggota kabinet, Bank Indonesia, dan BPPN)
            Naramarga pekerjaannya bermacam-macam, berkisar antara yang legal sampai kriminal. Umpamanya penyikat sepatu, penyewa diri untuk kendaraan three in one, penjaja minuman, makanan dan barang, pemulung (chomperos), pengamen, pengumpul sembangan, pendorong mobil, penyewa payung, pengangkut barang belanjaan, salo karcis dan bus, tukang antri (queue-standers), juru parkir, penyeka kaca mobil (mengotorkan atau memecahkan kaca kalau ditolak ), pencopet/jambret, pengempis ban (lalu menodong), perampok mobil dan taxi, mafia proteksi, preman kaki lima, dan pencuri bagian-bagian mobil. Mereka mempunyai jaringan dan organisasi dengan hierarki dan kode etik subkultural serta kursus pekerja.
            Mereka tak mempunyai jaminan (non-garantiti) baik sosial, ekonomi, medis, keamanan, dan hukum. Oleh karena itu merka sangat rentan dan potensial berbahaya (les classes dangereuses), dan berada di luar “kasta” (underclass). Di Cairo 1986 mereka pernah menyerbu hotel dan bus turis, merampok dan membunuh wisatawan. Di Sao Paulo sering ada perampokan, terutama bank, dan rata-rata lima supermarket sehari. Di Brazil dalam 5 tahun terakhir (2986-91) ada 16.000 anak-anak di jalanan ditembak polisi, karena mengganggu daerah belanja mewah. Di Rio de Janeiro para turis di pantai harus dilindungi tarhadap perampok, maka orang kaya raya lebih suka berlibur di luar negeri. Sekali-sekali polisi melakukan arastao (sweeping) preman serta naramarga, dan meraka berlarian sambil menjarah toko dan orang lewat. Anak-anak jalanan sering dipergunakan (dipaksa atau diperdagangkan) untuk sodomi.
             Kontras sosial-ekonomi yang makin mencolok oleh globalisme pasar bebas (sebetulnya hanya free flow searah barang, orang, dan informasi)- nanti akan meradikalisasi Selatan (alasannya dapat ras, agama, dan budaya) serta menyuburkan fundamentalisme berdasarkan pertahanan di Utara. Selatan akan terkuras ekologis dan sosial, dan meledaklah eksodus ke Utara, kerusushan massal, konflik infranasional berwarna etnis, agam, linguistik dan politis (separatisme). Begi merka yang memakai end-off-the tube reasoning, gejala-gejala pada ujung pipa inidianggap harus dibasmi dengan tegas, tetapi tidak peduli pada sebab pokok pada pangkalnya yang berkembang sapanjang pipa, dan sewaktu-waktu dapat meletus lagi kalu tidak ditangani, yang akan sulit dipadamkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar