Hubungan
antara jumlah penduduk dan lingkungannya makin lama makin tidak seimbangsejak
paruhkedua abad XX lalu. Di Dunia Selatan penduduk banyak sekali (3/4) dan
tumbuh cepat, tetapi mempunyai potensi merusak lingkungan yang rendah;
sedangkan di Utara penduduknya sedikit dan pertumbuhannya rendah, bahkan di
beberapa tempat negatif, tetapi daya merusaknya tinggi, karena hiperkonsumsi
yang menuntut hipereksploitasi. Hiperkonsumsi berhubungan timbal balik dengan
kemewahan, dan luxus yang meningkat menuntut eksploitasi yang meningkat pula. Utara
secara tak langsung mendesak Selatan ke pinggir dalam mempertahankan standar
kemewahannya sendiri.
Pada akhir abad ke XXI penduduk
dunia ditaksir sudah 12 milyar jiwa. Dengan desakan penyebaran global ekonomi
pasar bebasoleh Amerika Serikat, maka kesenjangan ekonomi dan kerusakan ekologi
akan bertambah. Penduduk miskin akan bertambah secara numerik maupun prosentual
dan kebanyakan dari mereka berada di Dunia Selatan. Pertambahan penduduk
memperbanyak aglomerasi kota-kota besar. Kota metropolis (lebih 1 juta jiwa)
yang pada tahun 1950-an dari 10 terbesar hanya 3 yang berada di Selatan, pada
tahun1990-an hanya ada 3 dari 10 megalopolis (lebih 10 juta) berada di Utara. Pertumbuhan
kota di Utara tampak pada gedung apartemen tinggi-tinggi (hi- rise building),
di Selatan ditandai oleh bertambahnya kampung atau kota kumuh (shanty-towns) di
kota-kota raya. Ada perkumuhan bertingkat di Kalkatta, tetapi umumnya
perkumuhan (slums, sloppenwijken) terdapat diantara pencakar-pencakar langit
atau di gedung-gedung tua di tengah kota (inner city) atau di taman-taman, di
kiri-kanan rel atau jalan raya.
Jakarta pada tahun 2025 jumlah
penduduknya mungkin sudah mencapai 17 juta dan tidak mungkin disediakan
perumahan dengan harga rendah dan pekerjaan untuk mereka semua. Di hampir semua
megalopolis penduduk perkumuhan berkisar antara 20-50 %. Tidak semuanya mereka
mendapat tempat di rumah kumuh, sebagian bermalam di kaki lima, stasion atas
dan bawah tanah, taman (kalo dingin berkemah di tenda kumuh), gerbong kereta
api tua dan sebagainya.
Mereka mencari makan di jalanan, dan
mereka memang naramarga , orang-orang jalanan; ada diantaranya yang hidup disan
mulai sejak bayi sampai tua renta. Pekerjaan mereka tergolong dalam ekonomi
alternatif, yang disebut juga ekonomi bawah tanah, ekonomi gelap atau kontra
ekonomi. Hampir semua mereka bekerja tetapi karena tidak terdaftar, per definitionem mereka dianggap
penganggur (bekerja tidak dengan upah tetap dan kurang dari 40 jam seminggu). Ekonomi
alternatif sangat resilient (berketahanan tinggi ), jauh lebih tinggi dari zombigaisha (perusahaan mayat hidup) dengan curahan kredit dari bank sekarat
melalui kelompok gangster, seperti Yakuza.
Pada tahun 1964 Indonesia
diberitakan luas oleh pers asing akan kolaps, karena inflasi membumbung tinggi
dengan pencetakan uang massal untuk Trikora, Dwikora, dan pembangunan nasional semesta
berencana, paceklik dan busung lapar dimana-mana, serta impor resmi hampir
tidak ada. Tetapi Indonesia tidak kolaps, akrena ekonomi alternatif tetap
jalan, didukung oleh mikro-wiraswasta.
Dalam krisis yang mulai dari 1997,
dari ekonomi dual, ekonomi formal lebih dahulu kempis gelembungnya, harus
ditimba kembali agar tidak mati tenggelam, dengan kredit masif dari pemerintah;
jadi harus ditolong oleh rakyat kecil. Ekonomi alternatif tidak erat terlibat
dalam sistem pasar bebas dunia, sehingga tetap bertahan. Kalau dalam
globalisasi ekonomi, dualisme ekonomi dilenyapkan (padahal di Barat makin
bertumbuh), maka sebagian besar rakyat akan sukar sekali bertahan hidup.;
membeli barang keperluannya dengan harga global (yang selalu disesuaikan oleh pemerintah),
dan membayarnya dari upah lokal (yang tidak disesuaikan oleh pemerintah). Pemerintah
ingin menghentikan hajat hidup orang banyak, tetapi terus menrima subsidi dari
gaji kecil pegawai negeri (kecuali anggota kabinet, Bank Indonesia, dan BPPN)
Naramarga pekerjaannya
bermacam-macam, berkisar antara yang legal sampai kriminal. Umpamanya penyikat
sepatu, penyewa diri untuk kendaraan three in one, penjaja minuman, makanan dan
barang, pemulung (chomperos), pengamen, pengumpul sembangan, pendorong mobil,
penyewa payung, pengangkut barang belanjaan, salo karcis dan bus, tukang antri
(queue-standers), juru parkir, penyeka kaca mobil (mengotorkan atau memecahkan
kaca kalau ditolak ), pencopet/jambret, pengempis ban (lalu menodong), perampok
mobil dan taxi, mafia proteksi, preman kaki lima, dan pencuri bagian-bagian
mobil. Mereka mempunyai jaringan dan organisasi dengan hierarki dan kode etik
subkultural serta kursus pekerja.
Mereka tak mempunyai jaminan (non-garantiti)
baik sosial, ekonomi, medis, keamanan, dan hukum. Oleh karena itu merka sangat
rentan dan potensial berbahaya (les classes dangereuses), dan berada di luar “kasta”
(underclass). Di Cairo 1986 mereka pernah menyerbu hotel dan bus turis,
merampok dan membunuh wisatawan. Di Sao Paulo sering ada perampokan, terutama
bank, dan rata-rata lima supermarket sehari. Di Brazil dalam 5 tahun terakhir (2986-91)
ada 16.000 anak-anak di jalanan ditembak polisi, karena mengganggu daerah
belanja mewah. Di Rio de Janeiro para turis di pantai harus dilindungi tarhadap
perampok, maka orang kaya raya lebih suka berlibur di luar negeri. Sekali-sekali
polisi melakukan arastao (sweeping)
preman serta naramarga, dan meraka berlarian sambil menjarah toko dan orang
lewat. Anak-anak jalanan sering dipergunakan (dipaksa atau diperdagangkan)
untuk sodomi.
Kontras sosial-ekonomi yang makin mencolok
oleh globalisme pasar bebas (sebetulnya hanya free flow searah barang, orang,
dan informasi)- nanti akan meradikalisasi Selatan (alasannya dapat ras, agama,
dan budaya) serta menyuburkan fundamentalisme berdasarkan pertahanan di Utara. Selatan
akan terkuras ekologis dan sosial, dan meledaklah eksodus ke Utara, kerusushan
massal, konflik infranasional berwarna etnis, agam, linguistik dan politis (separatisme).
Begi merka yang memakai end-off-the tube reasoning, gejala-gejala pada ujung
pipa inidianggap harus dibasmi dengan tegas, tetapi tidak peduli pada sebab
pokok pada pangkalnya yang berkembang sapanjang pipa, dan sewaktu-waktu dapat
meletus lagi kalu tidak ditangani, yang akan sulit dipadamkan.