Rabu, 05 Februari 2014

Tuhanku memarginalkan konglomerat, membutakan wakil rakyat dan menulikan scientist

3 Februari 2014
22.53
    Kopiku mulai dingin, ketika angin beku pun mulai menusuk kulit yang kegerahan. Pacu hormonal sedang menjalankan tugasnya mengontrol suhu badan ini. Hingga beku tak mampu membekukan imunku. Segala macam berkecamuk dalam fikir seperti biasanya. Dari banjir hingga “engkes keemasan” yang baru hinggap di telinga. Menyentakkan sejuta tanya yang tak satupun hal kubiarkan meredam. “rasa sesal didasar hati hinggap tak mau pergi...haruskah aku lari dari kenyataan ini....” lirik itu berputar mendendangkan memori masa lalu yang tak pernah kuselami seakan ku tahu satu per satu kisah di dalamnya. Atau tebing rintihan curam mengenai hidup yang tak kunjung menyerah mengulang setripingnya.
    Dua februari, tepat 24 jam yang lalu, aku mencoba berjalan menapaki bumi yang masih berkerut. Terminal, alun-alun, sawah, tambak, Batu, Pasuruan, Malang, di dalam bus, langit masih tetap sama bersama awannya. Orang-orang pun sama. Mengeluh tentang hidup dan bergulung dengan waktu mencoba lari daripadanya atau menyerah meronta mengais mimpi masa kecil. Kilap wajah pribumi, legam dan otot yang mencuat di tiap inchi kulitnya menerangkan garis pendek kehidupan yang tak pernah ia minta. Beberapa diantaranya berjalan diatas kaki pincang, tersenyum diantara keronta gigi kusamnya, tertidur bersandar pada dipan janji surga, tapi tetap tak gentar berteriak menyapa yang ia kenal sekan manis semangat terpancur didalam salamnya.
Itulah Indonesia
Itulah Nusantara
Keramahannya seramah banjir longsor, gunung meletus, gempa, bahkan kebakaran yang menyapa di musim ini.
 Ini sejumput cerita orang-orang sederhana yang menamakan dirinya kaum kecil. Sungguh mereka marginal yang tak pernah termarginalkan. Menteri, pengusaha besar, pemerintah, ahli ekonomi, ahli politik, rektor dan segenusnya mungkin menganggapnnya kaum marginal. Tapi mereka tak pernah termarginalkan. Mereka ada disudut kota. Mereka ada ditengah kota. Mereka ada di ujung pedesaan, dilereng gunung dan di atas tambak teras laut. Mereka ada dikolong negara, ada di pucuk nusantara, ada di panggung khatulistiwa.Di gerbang kantor walikota, Kantor gubernur, istana kesultanan, istana negara bahkan mungkin istana pemberantasan korupsi mereka ada. Mereka ada. Di jalanan, bus, kereta api, kapal pesiar dan pesawat terbang mereka bernyanyi. Konglomerat buta dan tuli saja yang menganggap mereka termarginalkan.
Satu tradisi menyatukan mereka, “keramahan”.
Seramah ketua mahkamah Konstitusi membebaskan tahanan “karibnya” dan seramah Presiden melindungi anggota partai korupnya. Oh salah. Mungkin memang semua partai bernama “KORUP”di mata Tuhan. Yang mendoktrin anggota baru dengan iming-iming istana kenyamanan. Mereka yang mengemis dana penghidupan partai “untuk rakyat” katanya. Berdiri di atas kepentingan rakyat menggenggam dana bantuan, menjilat serakan butir-butir sampah raskin rakyat jelata. Atau mengumpulkan kupon jaminan kesehatan hanya untuk keluarga partai. Dan bila pemilihan umum telah mencapai musimnya, kalangan tertentru berpesta pora yang entah anggaran macam manalagi mereka mamahbiak. Tak ada dengan bedanya sapi yang tak habis mengunyah.
Hanya Tuhan Yang Tidak Buta. Sifat mustahil dalam kitab Akidah Akhlak Sekolah menengah tingkat pertama. Entah diantara kami tahu atau tidak, akibat SMP pun kami tak sanggup membayar SPP dan khatam. Entah mereka tahu atau tidak, mungkin SPP mereka ikut termamah biak dan mereka lupa senam mulut pahlawan tanda jasa pada saat itu.
Keyakinan bahwa Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang itu menguatkan para pengemis, orkestra jalanan, pembersih kota dari sampah plastik, menteri pengarapan sawah, menteri pabrik industri, menteri penangkapan ikan,  yang mengeja nama profesinya sebagai “B_U_R_U_H”, atau Cafetarian trotoar untuk tetap tersenyum dan ramah mengayuh hidup.
Sejumput cerita yang tak pernah ingin kutulis tentang Kehendak Yang Maha TIDAK BUTA untuk memarginalkan konglomerat, membutakan wakil rakyat dan menulikan scientist.....................................................................................................................................................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar