3 Februari 2014
22.53
Kopiku mulai dingin, ketika angin beku pun
mulai menusuk kulit yang kegerahan. Pacu hormonal sedang menjalankan tugasnya
mengontrol suhu badan ini. Hingga beku tak mampu membekukan imunku. Segala
macam berkecamuk dalam fikir seperti biasanya. Dari banjir hingga “engkes
keemasan” yang baru hinggap di telinga. Menyentakkan sejuta tanya yang tak
satupun hal kubiarkan meredam. “rasa sesal didasar hati hinggap tak mau
pergi...haruskah aku lari dari kenyataan ini....” lirik itu berputar
mendendangkan memori masa lalu yang tak pernah kuselami seakan ku tahu satu per
satu kisah di dalamnya. Atau tebing rintihan curam mengenai hidup yang tak
kunjung menyerah mengulang setripingnya.
Dua februari, tepat 24 jam yang lalu, aku
mencoba berjalan menapaki bumi yang masih berkerut. Terminal, alun-alun, sawah,
tambak, Batu, Pasuruan, Malang, di dalam bus, langit masih tetap sama bersama
awannya. Orang-orang pun sama. Mengeluh tentang hidup dan bergulung dengan
waktu mencoba lari daripadanya atau menyerah meronta mengais mimpi masa kecil.
Kilap wajah pribumi, legam dan otot yang mencuat di tiap inchi kulitnya
menerangkan garis pendek kehidupan yang tak pernah ia minta. Beberapa
diantaranya berjalan diatas kaki pincang, tersenyum diantara keronta gigi
kusamnya, tertidur bersandar pada dipan janji surga, tapi tetap tak gentar
berteriak menyapa yang ia kenal sekan manis semangat terpancur didalam
salamnya.
Itulah
Indonesia
Itulah
Nusantara
Keramahannya seramah banjir longsor, gunung meletus, gempa,
bahkan kebakaran yang menyapa di musim ini.
Ini sejumput cerita
orang-orang sederhana yang menamakan dirinya kaum kecil. Sungguh mereka
marginal yang tak pernah termarginalkan. Menteri, pengusaha besar, pemerintah,
ahli ekonomi, ahli politik, rektor dan segenusnya mungkin menganggapnnya kaum
marginal. Tapi mereka tak pernah termarginalkan. Mereka ada disudut kota.
Mereka ada ditengah kota. Mereka ada di ujung pedesaan, dilereng gunung dan di
atas tambak teras laut. Mereka ada dikolong negara, ada di pucuk nusantara, ada
di panggung khatulistiwa.Di gerbang kantor walikota, Kantor gubernur, istana
kesultanan, istana negara bahkan mungkin istana pemberantasan korupsi mereka
ada. Mereka ada. Di jalanan, bus, kereta api, kapal pesiar dan pesawat terbang
mereka bernyanyi. Konglomerat buta dan tuli saja yang menganggap mereka
termarginalkan.
Satu tradisi menyatukan mereka, “keramahan”.
Seramah ketua mahkamah Konstitusi membebaskan tahanan “karibnya”
dan seramah Presiden melindungi anggota partai korupnya. Oh salah. Mungkin
memang semua partai bernama “KORUP”di mata Tuhan. Yang mendoktrin anggota baru
dengan iming-iming istana kenyamanan. Mereka yang mengemis dana penghidupan
partai “untuk rakyat” katanya. Berdiri di atas kepentingan rakyat menggenggam
dana bantuan, menjilat serakan butir-butir sampah raskin rakyat jelata. Atau mengumpulkan
kupon jaminan kesehatan hanya untuk keluarga partai. Dan bila pemilihan umum
telah mencapai musimnya, kalangan tertentru berpesta pora yang entah anggaran
macam manalagi mereka mamahbiak. Tak ada dengan bedanya sapi yang tak habis
mengunyah.
Hanya Tuhan Yang Tidak Buta. Sifat mustahil dalam kitab Akidah
Akhlak Sekolah menengah tingkat pertama. Entah diantara kami tahu atau tidak,
akibat SMP pun kami tak sanggup membayar SPP dan khatam. Entah mereka tahu atau
tidak, mungkin SPP mereka ikut termamah biak dan mereka lupa senam mulut
pahlawan tanda jasa pada saat itu.
Keyakinan bahwa Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang itu
menguatkan para pengemis, orkestra jalanan, pembersih kota dari sampah plastik,
menteri pengarapan sawah, menteri pabrik industri, menteri penangkapan
ikan, yang mengeja nama profesinya
sebagai “B_U_R_U_H”, atau Cafetarian trotoar untuk tetap tersenyum dan ramah
mengayuh hidup.
Sejumput cerita yang tak pernah ingin kutulis tentang Kehendak
Yang Maha TIDAK BUTA untuk memarginalkan konglomerat, membutakan wakil rakyat
dan menulikan scientist.....................................................................................................................................................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar