Jumat, 30 September 2011

KAJIAN TEKNIK KONSERVASI Pinus merkusii Strain Kerinci (termasuk penelitian di bidang sinekologi)


KAJIAN TEKNIK KONSERVASI Pinus merkusii Strain Kerinci
1)
Oleh :
    Hendi Suhaendi
2)
ABSTRAK
Di Indonesia, Pinus yang tumbuh secara alami hanyalah  Pinus merkusii dan
terdapat di tiga tempat Sumatera yaitu Kerinci, Tapanuli, dan Aceh, dan oleh Lamb
dan Cooling (1967) dinamakan strain,  sedangkan Cooling (1968) menyebutnya
sebagai provenansi, dan Armizon  et al. (1995) menamakannya sebagai galur. P.
merkusii strain  Kerinci  secara alami dapat dijumpai di wilayah kerja Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS), khususnya pada dataran tinggi di Bukit Tapan,
Pungut Mudik, Pungut Ilir, Pungut Tengah, Gunung Tebakar, dan tempat tumbuh
alami lainnya yang belum diketahui secara pasti, dan jumlah individu pohon dalam
populasinya sangat sedikit. Dalam bentuk hutan tanaman, strain  Kerinci  hampir
belum pernah dibuat, baik oleh masyarakat/rakyat maupun instansi kehutanan,
dan kondisi hutannya nampak sudah terancam keberadaannya karena
permudaannya praktis sangat sedikit ditemukan. Tindakan konservasi, baik in-situ
maupun ex-situ sangat diperlukan dan sifatnya mendesak.
Kata kunci :  Pinus merkusii strain  Kerinci, permudaan alam, permudaan buatan,
konservasi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia, Pinus yang tumbuh secara alami hanyalah Pinus merkusii Jungh
et De Vriese di tiga tempat Sumatera, yaitu di Aceh, Tapanuli, dan Kerinci, dan
oleh Lamb dan Cooling (1967) dinamakan "strain"; sedangkan Cooling (1968)
menyebutnya sebagai "provenansi". Untuk strain  Kerinci, Armizon  et al. (1995)
menyebutnya sebagai "galur" Kerinci.
P. merkusii strain Kerinci secara alami dapat dijumpai di wilayah kerja Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dengan luas 1.375.934 hektar,  yang memanjang
hampir 350 km dengan lebar sekitar 50 km dari barat laut ke tenggara meliputi
empat provinsi, yaitu Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan
(Kompas, 9 September 2005).  Sebaran alam yang "sangat sedikit" didapatkan
untuk strain Kerinci, sedangkan sebaran alam yang "sedikit" diperoleh untuk strain
Tapanuli dan sebaran alam yang "paling luas dan banyak" ditemukan untuk strain
Aceh.
Dalam bentuk hutan tanaman, strain Kerinci hampir belum pernah dibuat, baik
oleh masyarakat/rakyat maupun instansi Kehutanan.  Untuk strain Tapanuli,  hutan
tanaman dalam skala kecil pernah dibuat oleh masyarakat di Kecamatan
Pangaribuan dan Kecamatan Sipahutar (keduanya masuk dalam Kabupaten
Tapanuli Utara) dengan menggunakan bibit/anakan alam yang diambil secara
cabutan, dan sekarang hampir habis karena pengusahaan oleh rakyat dialihkan
                                               
1
 Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya
Hutan. Padang, 20 September 2006.
2
 Peneliti pada Kelti Silvikultur, Pusat  Litbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
100
menjadi tanaman kopi (Suhaendi, 2005).  Dalam bentuk hutan tanaman, strain
Aceh terdapat paling luas dan banyak, serta sudah ditanam berbagai pihak, baik
swasta maupun pemerintah hampir di seluruh Indonesia.
Melihat kondisi hutan tanaman  P. merkusii strain  Kerinci, nampak sudah
terancam keberadaannya karena permudaannya praktis sangat sedikit ditemukan.
Oleh karena itu, konservasi  P. merkusii strain  Kerinci  sangat diperlukan dan
sifatnya mendesak, dengan mengkaji permudaannya sebagai langkah awal
melakukan konservasi di luar tempat tumbuh alaminya atau konservasi ex-situ.
B. Tujuan dan Sasaran
Kajian ini bertujuan untuk menyediakan paket teknologi konservasi jenis  P.
merkusii strain  Kerinci. Sasaran kajian ini adalah menilai status permudaan
sebagai langkah awal konservasi jenis  P. merkusii strain  Kerinci berikut aspekaspeknya yang terkait.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.   Daerah Persebaran
P. merkusii merupakan satu-satunya jenis  konifer di daerah tropika yang
daerah persebarannya luas di Asia Tenggara, dari 95º30'-121º30' Bujur Timur dan
22º Lintang Utara hingga 2º Lintang Selatan, meliputi Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Kepulauan Hainan, Pulau Mindoro dan Luzon di Filipina,
serta Sumatera di Indonesia (Cooling, 1968).
Di Sumatera, populasi P. merkusii tumbuh secara alami pada tiga tempat yaitu
Aceh, Tapanuli, dan Kerinci. Populasi ini oleh Lamb dan Cooling (1967) dinamakan
"strain"', sedangkan Cooling (1968) menyebutnya "provenansi" dan Armizon et al.
(1995) menamakannya "galur".  Daerah persebaran alami strain  Kerinci adalah
"sangat sedikit", sedangkan daerah persebaran alami strain  Tapanuli adalah
"sedikit" dan daerah persebaran alami strain  Aceh adalah "paling luas dan
banyak".
Dalam bentuk tanaman, P. merkusii strain Kerinci hampir belum pernah dibuat,
baik oleh instansi kehutanan maupun rakyat.  Taman Nasional Kerinci Seblat
(TNKS) pernah membuat tanaman strain Kerinci dalam rangka program Gerakan
Reboisasi Lahan (Gerhan) dengan menggunakan 2.000 anakan alam yang diambil
secara cabutan di Bukit Tapan, Kecamatan Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci, tapi
hampir semua tanaman tersebut mati (Dawliwanto, komunikasi pribadi).  Untuk
strain  Tapanuli, pernah dibuat oleh rakyat dengan menggunakan anakan alam
yang diambil secara cabutan di Kecamatan Pangaribuan dan Kecamatan
Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara, tapi sekarang masyarakat/ rakyat mengubah
pemanfaatan strain  Tapanuli menjadi pertanaman kopi (Suhaendi, 2005).  Untuk
strain  Aceh, hutan tanaman telah dibuat di hampir seluruh provinsi di Indonesia
karena persebarannya paling luas dan  benihnya sangat banyak dan mudah
diperoleh.
P. merkusii strain  Kerinci diketemukan oleh Cordes (1867) dengan nama
daerah "sigi" pada ketinggian 11.000 feet di atas permukaan laut (dpl.), dan paling
rendah 3.000-4.000 feet dpl. Pada nama-nama daerah saat pengkajian diadakan
pada bulan Agustus 2005 adalah "kayu kasigi" di Kecamatan Air Hangat Timur
yang terdiri dari Desa Pungut Mudik, Desa Pungut Ilir, dan Desa Pungut Tengah; Kajian Teknik Konservasi Pinus merkusii Strain Kerinci (Hendi Suhaendi)
101
dan "kayu sigi" di Bukit Tapan, Koto Limau Sering, Kecamatan Sungai Penuh;
yang semuanya termasuk dalam Kabupaten Kerinci.
Lamb dan Cooling (1967) serta Cooling (1968) menyatakan bahwa strain
Kerinci  diketemukan pada ketinggian 1.500-2.000 m dpl.  Letak tempat tumbuh
alami kurang diketahui secara jelas, tapi Radja (1971) dapat menemukannya di
Gunung Tebakar Pungut (2.197 m dpl.), Gunung Patah Bukit Sangko (2.206 m
dpl.), Bukit Kulit Manis, dan Bukit Sigi.  Selanjutnya, Armizon  et al. (1995)
menyatakan  bahwa strain Kerinci juga ditemukan pada ketinggian 1.010 m sampai
1.492 m dpl. di hutan hujan pengunungan Cagar Alam Bukit Tapan, kawasan
TNKS.
B. Sifat-sifat Fenotipa
Perbedaan sifat-sifat fenotipa antara strain  Tapanuli dan strain  Aceh berupa
bentuk batang, daun, sistem percabangan, ruas batang, kulit batang, kandungan
getah, produksi getah, pembijian, dan kepekaan terhadap serangan  Millionia
basalis telah dikaji oleh Van de Veer dan  Goves (1953) serta Soerianegara dan
Djamhuri (1979).
Menurut Cordes (1867), sifat-sifat morfologi P. merkusii strain Kerinci adalah:
berbatang lurus, percabangan sangat tinggi, daun jarum sebanyak dua buah
(hampir sama dengan jenis Pinus sylvestris), daun licin dan bagian dalamnya agak
cekung dan kasar.
Armizon  et al. (1995) mendapatkan perbedaan sifat-sifat morfologi antara
strain  Kerinci dengan strain  Aceh.  Dibandingkan dengan strain  Aceh, sifat-sifat
strain Kerinci adalah :  bentuk batang umumnya lebih lurus dan lebih silindris, kulit
batang umumnya lebih tipis (1 cm) dengan warna lebih terang (putih keabu-abuan)
dan alur yang lebih dangkal, sedangkan daunnya relatif lebih jarang, dan diduga
kerentanan terhadap kebakaran lebih rentan karena kulitnya yang lebih tipis.
Selanjutnya, Mukhtar dan Santoso (1987) menyebutkan bahwa strain Kerinci
secara morfologis memiliki banyak kesamaan dengan strain Tapanuli.
C. Sifat-sifat Genetika
Dengan memperhatikan hubungan linier aditif antara nilai-nilai fenotipa (p),
genotipa (g), dan lingkungan (l) di mana p = g + l, karena P. merkusii itu menyerbuk silang (cross pollinated) maka nilai genotipa yang memberikan kontribusi
kepada nilai fenotipa suatu sifat tertentu adalah heterozigot (heterozygote).
Dengan demikian, nilai genotipa dari suatu sifat tertentu juga terdiri dari macammacam genotipa karena jenis ini menyerbuk bebas (open pollinated).
Keragaman geografis diduga lebih kecil kemungkinan terjadinya di daerah
dengan sebaran alami yang sempit dibandingkan dengan sebaran alami yang lebih
luas pada  Pinus sylvestris (Wright, 1981), sedangkan pada  Pinus clausa
keragaman geografis tersebut ditemukan cukup besar dalam daerah dengan
sebaran alami yang sempit (Harahap, 1984).
Dengan menggunakan pendekatan genetika molekuler melalui penanda
(marker) isoenzim, Munawar (2002) menunjukkan bahwa keragaman genetik hutan
alam strain  Kerinci adalah yang paling kecil dibandingkan keragaman genetik
hutan alam strain Tapanuli maupun strain Aceh.  Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
102
D.  Biologi Pembungaan
Berdasarkan perbedaan dalam strukturnya, pakar botani mengklasifikasikan
struktur reproduksi  Pinus sebagai strobili dan bukan sebagai bunga.  Tapi karena
fungsinya sama yaitu untuk menghasilkan tanaman baru maka banyak pula pakar
lainnya menggunakan istilah bunga sebagai strobili (Dorman, 1976).
Genus  Pinus adalah jenis pohon berumah satu (monocious) yaitu produksi
strobili jantan dan strobili betina terjadi pada satu pohon tetapi letaknya pada
bagian pohon yang terpisah (Dorman, 1976).  Pada satu dahan dan ranting  P.
merkusii, strobili jantan terbentuk pada bagian yang lebih rendah daripada strobili
betina, dan pada umumnya terdapat di bagian tengah dan bawah tajuk; sedangkan strobili betina terbentuk di bagian tajuk yang lebih atas.  Pemisahan letak
strobili seperti ini cukup efektif untuk mencegah terjadinya silang dalam (inbreeding) karena tidak mungkin serbuksari dapat muncul di bagian atas tajuk
penyerbukan untuk mengadakan penyerbukan sendiri (selfing).  Selfing tidak lain
adalah bentuk ekstrim dari inbreeding.  Sifat-sifat biologi pembungaan P. merkusii
telah dikaji oleh Suhaendi (1988 b).  Menurut Daranto (1983), pada  P. merkusii
strobili betina terbentuk lebih dahulu daripada strobili jantan.
Penyerbukan P. merkusii dilakukan oleh angin atau anemogamy.  Keadaan ini
akan membantu terjadinya penyerbukan silang (outcrossing) di antara pohonpohon yang terpisah beberapa ratus meter jauhnya (Kingmuangkow, 1974).
Pada  P. merkusii terdapat adanya dikogami (dichogamy), yaitu produksi
strobili jantan dan strobili betina pada waktu yang berbeda dari pohon yang sama,
di mana strobili betina diproduksi lebih dahulu daripada strobili jantan.  Ini juga berarti adanya gejala ketidaksesuaian diri secara genetik (genetic self incompatibility),
yang merupakan mekanisme efektif untuk mencegah terjadinya selfing/inbreeding
karena terjadinya protogini (protogyny) yaitu strobili betina telah reseptif (matang)
sebelum strobili jantan siap menumpahkan serbuksarinya.
P. merkusii adalah jenis pohon yang menyerbuk silang (outcrossing), sehingga
kemungkinan terjadinya penyerbukan sendiri (selfing) adalah minimum.  Ini berati
pohon-pohon  P. merkusii bukan merupakan  inbreed  karena genotipanya heterozigot, dan tentunya berasal dari induk-induk yang tidak berkerabat dalam
populasinya.
E.  Konservasi dan Keragaman Genetik
Konservasi genetik dapat dilakukan secara in-situ dan ex-situ.  Sasrosumarto
dan Suhaendi (1985) memberi batasan bahwa konservasi  in-situ adalah
pelestarian kelompok plasma nutfah yang terdapat dalam suatu tempat tumbuh
alami; sedangkan Sukotjo (1993) memberi batasan sebagai konservasi dari
ekosistem.  Konservasi ex-situ diberi batasan sebagai pelestarian plasma nutfah di
luar daerah sebaran alamnya (Sasrosumarto dan Suhaendi, 1985); sedangkan
Sukotjo (1993) memberi batasan sebagai konservasi dari komponen-komponen
keanekaragaman hayati di luar habitat alaminya.
Antara konservasi genetik  in-situ dan  ex-situ harus saling melengkapi, tapi
karena terbatasnya dana dan persepsi yang dimiliki oleh otorita yang menangani
masing-masing jenis konservasi tersebut menyebabkan porsi perhatian dari kedua
jenis konservasi tersebut dirasa kurang memadai (Sukotjo, 1993). Kajian Teknik Konservasi Pinus merkusii Strain Kerinci (Hendi Suhaendi)
103
Konservasi genetik in-situ yang paling umum adalah cagar alam dan taman
nasional.  Berdasarkan pengamatan di hutan pengunungan Cagar Alam Bukit
Tapan, kawasan TNKS, Armizon  et al. (1995) menyatakan bahwa eksistensi  P.
merkusii strain Kerinci di masa yang akan datang terancam karena sedikit sekali
permudaan yang terdapat di kawasan hutan tersebut.
Menurut Munawar (2002), populasi alam strain  Kerinci sudah sangat kecil
dan terbagi-bagi dalam areal yang sempit.  Sebagai akibatnya, angka koefisien
inbreeding menjadi tinggi yang menghasilkan keragaman genetik yang sangat
rendah, dan menyebabkan terjadinya erosi genetik yang tinggi pada populasi alam
ini.
Selanjutnya Munawar (2002) menyatakan bahwa populasi alam strain Kerinci
sudah dalam keadaan yang berbahaya dan mengalami ancaman kepunahan yang
serius, sebab populasinya telah terpecah-pecah dalam areal yang sempit (kurang
dari satu hektar) dengan jumlah pohon yang hanya sedikit.  Tindakan konservasi
in-situ dan  ex-situ merupakan kegiatan yang sudah mendesak untuk dilaksanakan, dan merupakan langkah yang efektif untuk mendukung program pemuliaan
pohon di masa mendatang.
Suatu tinjauan tentang status konservasi ex-situ telah dikaji oleh Suhaendi et
al. (1993). Selanjutnya, Suhaendi (1997)  menjelaskan jenis-jenis konservasi
genetik ex-situ, yaitu:
1. Konservasi genetik dengan benih/bibit.
2. Konservasi genetik melalui metode penyimpanan pada suhu sangat rendah (-
80º sampai -196ºC), atau disebut cryopreservasi.
3. Konservasi genetik dengan tepung (serbuk) sari.
4. Konservasi genetik dengan kultur jaringan, termasuk konservasi DNA.
Yang paling banyak dilakukan untuk kepentingan praktis adalah konservasi
genetik  ex-situ melalui bibit cabutan yang berasal dari hutan alam, baik di Cagar
Alam Bukit Tapan maupun kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat.
III.  METODOLOGI
A.   Deskripsi Obyek Kajian
Ada dua kawasan dalam Taman Nasional Kerinci Seblat yang dijadikan obyek
kajian, yaitu Bukit Tapan (Kecamatan Sungai Penuh) dan Pungut Mudik
(Kecamatan Air Hangat Timur), Kabupaten Kerinci.
1. Bukit Tapan
Kelompok hutan  P. merkusii strain  Kerinci  di Bukit Tapan terdapat di sepanjang jalan darat antara Sungai Penuh dan Tapan, terletak antara 101º 1' Bujur
Timur dan 2º9' Lintang Selatan.  Nama Bukit Tapan dikenal pula dengan nama
Koto Limau Sering.
Topografi lapangan berbukit berat dengan kelerengan antara 80% sampai
85%, pada ketinggian 900 m dpl.  P. merkusii strain Kerinci secara alami tumbuh
pada tanah Podsolik Merah Kuning dan di tanah Podsol, Latosol dan Litosol.  Iklim
termasuk tipe A dan B dengan curah hujan rata-rata tahunan 1.945-2.027 mm
(Cooling, 1968). Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
104
Anakan alam strain Kerinci terdapat pada bekas longsoran yang terbuka dan
pada tebing-tebing yang bercadas, dengan nama daerah kayu sigi, sedangkan
kajian konservasinya diadakan pada Agustus 2005.
2. Pungut Mudik
Kelompok hutan  P. merkusii strain  Kerinci di Desa Pungut Mudik menurut
masyarakat setempat paling banyak jumlah anakan alamnya, sedangkan di Desa
Pungut Ilir dan Desa  Pungut Tengah jarang sekali ditemukan.
Desa Pungut Mudik terletak pada 101º26'-101º28' BT dan 1º59'-2º01' LS
dengan ketinggian 700 m dpl.  Topografi lapangan berbukit agak berat dengan
kelerengan 70 % - 75 %, dengan jenis tanah Podsolik Merah Kuning.  Curah hujan
tahunan rata-rata 1.985 mm dan termasuk tipe iklim B menurut klasifikasi Schmidt
dan Ferguson.
Anakan alam tidak terdapat pada tebing-tebing bercadas tapi dapat ditemukan
pada tanah terbuka bekas longsoran, dengan nama daerah kayu kasigi.  Pada
saat kajian ini diadakan pada Agustus 2005, tidak ditemukan adanya anakan alam
strain Kerinci tersebut.
B.  Metoda Pengumpulan Data
Data primer dikumpulkan langsung di lapangan dan melalui wawancara
dengan berbagai instansi kehutanan di Provinsi Jambi dan masyarakat setempat.
Data sekunder yang dikumpulkan meliputi pengumpulan data/informasi, baik yang
dipublikasikan maupun tidak dipublikasikan.
Instansi kehutanan dan pemerintah daerah sebagai sumber data primer,
adalah:
1. Dinas Kehutanan Provinsi Dati I Jambi, di Jambi.
2. Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci.
3. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) di Jambi (dahulu bernama
Balai Reboisasi Lahan dan Konservasi Tanah atau BRLKT).
4. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Kerinci di
Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci.
5. Kecamatan Sungai Penuh dan Kecamatan Air Hangat Timur, Kabupaten
Kerinci.
Informasi yang diperlukan:
1. Keberadaan P. merkusii strain Kerinci.
2. Kondisi pohon dan permudaan alam P. merkusii strain Kerinci.
3. Kondisi pohon dan permudaan buatan P. merkusii strain Kerinci.
4. Biologi pembungaan P. merkusii strain Kerinci.
5. Asosiasi pohon P. merkusii strain Kerinci dengan jenis pohon lain.
Data sekunder dilakukan melalui studi pustaka, mencakup:
1. Buku teks.
2. Skripsi tingkat Sarjana I, Sarjana II (Magister), dan Disertasi Doktor.
3. Laporan Tahunan.
4. Laporan Intern.
Untuk tingkat anakan,  dikumpulkan sebanyak mungkin anakan alam (wildling)
yang mempunyai tinggi di bawah satu meter. Kajian Teknik Konservasi Pinus merkusii Strain Kerinci (Hendi Suhaendi)
105
IV.  HASIL DAN PEMBAHASAN
A.  Eksplorasi dan Identifikasi
Salah satu kesempatan yang dalam Kongres Kehutanan Sedunia Kesepuluh
yang diadakan di Paris pada tanggal 17-29 September 1991 adalah adanya tiga
unsur yang saling terkait satu sama lainnya dalam program perbenihan pohon
hutan yang terintegrasi, yaitu konservasi sumberdaya genetik (gene resource
conservation), pengadaan benih (seed procurement), dan pemuliaan pohon (tree
improvement).   Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam  (P3H&KA) terlibat secara penuh dan aktif dalam kegiatan konservasi sumberdaya genetik, yang terdiri
dari kegiatan eksplorasi dan identifikasi sumberdaya genetik yang terancam
punah, konservasi  in-situ, konservasi  ex-situ, dan pemanfaatan sumberdaya
genetik.
Dari hasil wawancara dengan berbagai instansi kehutanan khususnya TNKS
dan masyarakat sekitar, strain Kerinci memang terdapat secara alami di kawasan
TNKS khususnya di Bukit Tapan dan Pungut Mudik.
Di Cagar Alam (CA) Bukit Tapan dan Pungut Mudik dalam kawasan TNKS,
strain Kerinci tumbuh dalam kelompok-kelompok kecil di antara jenis-jenis pohon
lainnya, yang berarti pula bahwa strain  ini tidak terdapat dalam tegakan murni
melainkan tercampur dalam bentuk asosiasi dengan jenis-jenis pohon lainnya.
Keberadaan suatu tegakan pohon ditentukan oleh kondisi permudaannya.
Dalam kajian bulan Agustus 2005, di CA Bukit Tapan ditemukan 60 batang anakan
alam strain Kerinci sedangkan di Pungut Mudik satu anakan pun tidak ditemukan.
Anakan alam ditemukan letaknya jauh dari posisi pohon induknya, dan ini
disebabkan karena penyerbukan genus  Pinus dilakukan dengan bantuan angin
(anemogamy).  Dalam hal tidak ditemukannya anakan alam strain  Kerinci di
Pungut Mudik juga disebabkan biji yang jatuh ke lantai hutan sangat jarang karena
terbawa angin dan seandainya tumbuh pun tidak lama kemudian mati karena
adanya naungan berat sehingga cahaya langsung tidak diperoleh.  Dan oleh
karena itu, Suhaendi (2005) menyatakan bahwa cagar alam harus dibuka secara
terkendali untuk memungkinkan tumbuhnya permudaan alam.
Di samping kegiatan eksplorasi pohon strain Kerinci, juga diperlukan kegiatan
identifikasi untuk menentukan keragaman genetiknya.  Keragaman genetik strain
Tapanuli telah diidentifikasi melalui pendekatan genetika kuantitatif (Suhaendi,
1988a; 2000), sedangkan keragaman genetik strain  Kerinci  telah diidentifikasi
melalui pendekatan genetika molekuler dengan penanda isoenzim (Munawar,
2002).
Menurut Wright (1981), keragaman geografis (provenansi) pada daerah sebaran alami yang sempit adalah kecil.  Pendapat ini sejalan dengan Munawar (2002)
untuk  P. merkusii strain  Kerinci.  Keragaman geografis monoterpen pada genus
Pinus dapat dijadikan penanda gen (gene marker) karena komposisinya berbeda
sangat besar, baik antar jenis, antar asal benih maupun antar pohon dalam satu
asal benih.
Harahap (1989) menyatakan terdapatnya kecenderungan kadar delta -3-
carene menaik dari Aceh (strain Aceh 42,8 %) ke Kerinci  (strain Kerinci 73,4 %)
dan paling kecil di Tapanuli (strain Tapanuli 6,4 %). Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
106
Dengan pendekatan genetika molekuler melalui penanda isoenzim, Munawar
(2002) dapat menentukan besarnya keragaman genetik strain  Kerinci, strain
Tapanuli, dan strain Aceh dengan hasil sebagai berikut :
1. Keragaman genetik hutan strain  Kerinci paling kecil dibandingkan strain
Tapanuli maupun strain Aceh.
2. Populasi strain Kerinci  sudah sangat kecil dan terbagi-bagi dalam areal yang
sempit sehingga dapat menyebabkan terjadinya erosi genetik yang tinggi.  Ini
dapat dipandang sebagai tanda bahwa strain  Kerinci sudah berada dalam
bahaya dan mengalami ancaman kepunahan yang serius.
B.  Konservasi in-situ
Suatu tinjauan mengenai konservasi genetik in-situ dari sumberdaya  hutan di
Indonesia telah disusun oleh Suhaendi  et al. (1993).  Tujuan utama dari pembangunan konservasi genetik in-situ adalah:
1. Mempertahankan habitat asli dari flora dan fauna beserta ekosistemnya.
2. Melindungi tempat tumbuh dan jenis-jenisnya dari setiap kerusakan.
3. Sebagai laboratorium lapangan dan ekosistem alam untuk berbagai jenis
tumbuhan dan satwa liar termasuk keragaman genetiknya.
4. Membantu manajemen hutan tropika berdasarkan prinsip kelestarian.
5. Memanfaatkan sumberdaya alam secara bijaksana dan hati-hati untuk
perkembangan kehutanan secara nasional.
Konservasi in-situ umumnya berbentuk cagar alam.  Dalam kawasan hutan CA
Bukit Tapan vegetasinya memiliki keragaman yang cukup tinggi dan susunan
vegetasinya merupakan daerah ekoton, yaitu dari tipe vegetasi hutan tropika
pegunungan dengan vegetasi hutan Dipterocarpaceae dataran tinggi.  Menurut
Mukhtar dan Santoso (1987), beberapa famili yang umum terdapat di kawasan ini
adalah Myrtaceae, Lauraceae, Fagaceae, Araucariaceae, dan Hammamelidaceae. Tiga jenis pohon yang tumbuh secara alam dan dominan adalah P. merkusii
strain Kerinci, Agathis alba, dan Altingia excelsa.
Menurut Laumonier (1994), hutan CA Bukit Tapan merupakan vegetasi hutan
pegunungan dengan jenis pohon yang umum dijumpai antara lain dari famili
Lauraceae, Fagaceae, Myrtaceae, Meliaceae, Pinaceae, Araucariaceae, dan
Dipterocarpaceae pada ketinggian 800-1.400 m dpl.
Analisa vegetasi di kompleks hutan Bukit Terbakar (1.292 m dpl), Desa Pungut
Mudik, menunjukkan adanya susunan hutan yang terdiri dari  P. merkusii strain
Kerinci dan 35 jenis pohon lainnya yang di antaranya adalah  Altingia excelsa,
Comonosperma auriculata,  Eugenia spp.,  Dipterocarpus gracilis, dan  Shorea
platyclados (Radja, 1971).
C.  Konservasi ex-situ
Dari empat macam teknologi konservasi genetik  ex-situ yang diuraikan
Suhaendi (1997), untuk obyek kajian akan membahas konservasi genetik dengan
benih/bibit.
Konservasi genetik ex-situ dengan benih P. merkusi strain Kerinci terkendala
oleh sulitnya mendapatkan benih. Martini dan Semedi  dalam  Harahap (2000)
melaporkan bahwa produksi benih  P. merkusii di dataran tinggi Jawa dapat
menghasilkan 20 benih per kerucut, sedangkan Munawar (2002) melaporkan Kajian Teknik Konservasi Pinus merkusii Strain Kerinci (Hendi Suhaendi)
107
bahwa pohon strain Kerinci di Pungut Mudik hanya menghasilkan 2-9  benih per
kerucut.  Demikian pula produksi buah per pohon untuk strain Kerinci dan strain
Tapanuli jauh lebih sedikit dibandingkan dengan strain Aceh asal Jawa.
Kenyataannya di lapangan, populasi alam P. merkusii strain Kerinci di KerinciSeblat jumlah individunya sudah sangat sedikit dengan kondisi pembuahan yang
tidak bagus.  Akibatnya, sudah beberapa tahun diadakan kegiatan eksplorasi benih
P. merkusii strain  Kerinci  oleh Fakultas Kehutanan UGM tetapi hasilnya tidak
pernah memuaskan, sehingga upaya untuk mengadakan konservasi ex-situ selalu
mengalami kesulitan.
Siregar (2000) melaporkan bahwa keragaman genetik populasi alam strain
Kerinci dan strain  Tapanuli jauh lebih kecil daripada strain  Aceh.  Juga telah
dideteksi bahwa keragaman genetik populasi alam strain Kerinci sudah hilang.
Menurut petugas lapangan di Resort Bukit Tapan TNKS, cara untuk
mendapatkan anakan alam strain Kerinci dalam rangka konservasi ex-situ adalah
dengan cara membersihkan semua tanaman pengganggu sehingga yang
tertinggal hanyalah pohon-pohon besar dan kecil di sekitar pohon induk strain
Kerinci pada bulan Juni sampai Juli di mana strobili akan mekar bulan Juli dan
strobili akan pecah pada bulan Juli sampai Agustus.
D.  Pemanfaatan Sumberdaya Genetik
Dalam Kongres Kehutanan Sedunia Kesepuluh tahun 1991 di Paris telah
dinyatakan dengan tegas dan jelas tentang adanya tiga unsur yang saling terkait
antara konservasi sumberdaya genetik, pengadaan benih, dan pemuliaan pohon.
Konservasi sumberdaya genetik adalah semua kegiatan yang dirancang untuk
melindungi dan mempertahankan keragaman genetik untuk dimanfaatkan secara
lestari.
Posisi konservasi sumberdaya genetik dengan kegiatan pemuliaan pohon
dapat dinyatakan pada Gambar 1.
Gambar1. Posisi konservasi sumberdaya genetik dengan kegiatan pemuliaan pohon
Keragaman genetik P. merkusii strain Kerinci merupakan populasi konserva-si
(populasi dasar) yang menjadi bahan baku untuk kegiatan pemuliaan pohon.
Dengan demikian, pemuliaan pohon harus selalu meningkatkan keragaman
Populasi Perbanyakan
Tinggi
Nilai Genetik
Rendah
Populasi Pemuliaan
Populasi Dasar
(Populasi Konservasi)
Jumlah individu Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
108
genetik.  Populasi konservasi merupakan sumber bahan baku untuk kegiatan
pemuliaan pohon, karena itu jumlah individunya harus banyak dan beragam.
Di pihak lain, nilai genetik populasi konservasi selalu lebih kecil dibandingkan
populasi pemuliaan dan akan lebih kecil lagi dalam populasi perbanyakan.  Dalam
hal populasi pemuliaan (contohnya kebun benih), gen-gen unggul sesuai tujuan
pengusahaannya dikonsentrasikan pada sifat atau sifat-sifat tertentu saja.  Dengan
demikian wajar kalau nilai genetik dalam populasi konservasi jauh lebih rendah
daripada populasi pemuliaan.  Namun perlu diingat bahwa populasi konservasi itu
merupakan bahan baku gen untuk berbagai tujuan pemanfaatan/ pengusahaan,
dan juga merupakan bahan baku gen untuk  diadakan perbaikan sifat (sifat-sifat)
pohon.
Di muka telah dibahas bahwa keragaman genetik  P. merkusii strain  Kerinci
sudah sangat kecil, sehingga perlu diusahakan peningkatan keragaman
genetiknya melalui kegiatan  infusi genetik. Peningkatan keragaman genetik juga
dapat dilakukan melalui hibridisasi terkendali untuk mendapatkan hibrid vigor, dan
melalui kegiatan mutasi buatan dengan mutagen tertentu.
V.  KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Belum pernah ada kajian yang mampu menentukan jumlah pohon P. merkusii
strain Kerinci di TNKS dalam bentuk cagar alam untuk kepentingan eksplorasi.
2. Permudaan alam strain  Kerinci dengan tinggi di bawah satu meter hanya
ditemukan 60 anakan alam, bahkan tidak ditemukan sama sekali di Pungut
Mudik.
3. Dalam kawasan TNKS, strain  Kerinci  jarang sekali ditemukan dalam bentuk
berkelompok karena berasosiasi dengan jenis-jenis kayu daun lebar maupun
kayu daun jarum lainnya.
4. Konservasi ex-situ dengan benih strain Kerinci terkendala sulitnya mendapatkan benih karena produksinya sangat sedikit.
5. Konservasi  ex-situ dengan menggunakan bibit cabutan dari alam praktis
hampir belum pernah dilakukan, baik oleh masyarakat/rakyat maupun
berbagai instansi kehutanan di Indonesia.
6. Sistem peremajaan strain Kerinci yang paling praktis adalah dengan mengumpulkan bibit yang berasal dari semai liar (wildling) yang dikumpulkan dari hutan
alam.
7. Keragaman genetik strain  Kerinci  dalam populasi alam adalah sangat kecil
sampai hampir tidak ada.
8. Tiga unsur yang saling terkait dalam suatu program perbenihan pohon yang
terintegrasi adalah antara konservasi sumberdaya genetik, pengadaan benih,
dan pemuliaan pohon.
9. Populasi hutan alam strain  Kerinci merupakan populasi konservasi (populasi
dasar) yang merupakan bahan baku untuk kegiatan pemuliaan pohon di masamasa mendatang. Kajian Teknik Konservasi Pinus merkusii Strain Kerinci (Hendi Suhaendi)
109
B. Saran
1. Perlu adanya keputusan dari pengambil kebijakan tentang pentingnya
eksplorasi pohon strain Kerinci dan strain Tapanuli dengan metode sensus di
seluruh kawasan konservasi di Sumatera.
2. Perlu dilakukan pertemuan formal antar pengambil kebijakan lingkup
Departemen Kehutanan tentang wacana perlunya pembukaan tajuk untuk
menstimulir pembungaan dan pembijian dalam cagar alam.
3. Untuk meningkatkan keragaman genetik strain Kerinci dan strain Tapanuli perlu adanya kegiatan infusi genetik dari seluruh populasi alam yang ada, dan diperluas dengan populasi land race yang sekarang tersebar di berbagai daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous.  1991. Proceedings of the 10
th
 World Forestry Congress, Paris, 17-26
September 1991, Vol. I-VI.
Armizon, C. Sukmana dan S. Manan. 1995. Okurasi Pinus merkusii Junghn et de
Vries Galur Kerinci Berdasarkan Ketinggian Tempat di Hutan Pegunungan
Cagar Alam Bukit Tapan, Kawasan Taman Nasional Kerinci-Seblat.  Rimba
Indonesia 30 (4): 2-9.
Cooling, E.N.G. 1968.  Fast Growing Timber Trees of the Lowland Tropics No.4.
Pinus merkusii.  Department of  Forestry,  University of Oxford, Commonwealth Forestry Institute, England.
Cordes, J.A.H. 1867.  Het Gescaht Pinus in Het Zuidelijk Hatt Rond. Natuurk
Tijdschr, Med. Indie 29: 130-135.
Danarto, S. 1983.  Studi Fenologi  Pembungaan, Pembuahan dan Penyerbukan
Terkendali Pinus merkusii Jungh Et De Vriese di Sempolan, Jember.  Tesis
Sarjana, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.
Dorman, K.W. 1976. The Genetics and Breeding of Southern Pines. Agriculture
Handbook No. 471.  Forest Service USDA, Washington, D.C.
Harahap, R.M.S. 1984. Geographic Variation in Monoterpene Composition of Pinus
clausa.  Magister Thesis, University of Florida.
_____. 1989.  Variasi Komposisi Monoterpene  Pinus merkusii di Suma-tera.
Buletin Penelitian Kehutanan 4(4): 79-86.
_____.  2000. Uji Asal Benih Pinus Merkusii di Sumatera Utara.  Dalam: Prosiding
Seminar Nasional Status Silvikultur 1999.  Wanagama I, 1-2 Desember
1999, p. 228-232.
Kingmuangkow, S. 1974.  Flowering and Seed Formation of  Pinus merkusii in
Northern Thailand.  Dalam: Ann. Rept. Thai-Danish Pine Project 1969-1974:
49-56, Chiangmai, Thailand.
Lamb, A.F.A. dan E.N.G. Cooling. 1967.  Exploration, Utilization and Conservation
of Low Altitude Tropical Pine Gene Resources.  Department of Forestry,
University of Oxford, Commonwealth Forestry Institute, England.
Laumonier, Y. 1994. The Vegetation and Tree Flora of Kerinci Seblat National
Park, Sumatera. SEAMEO, BIOTROP. Tropical Biodiversity 2(1). Bogor.
Mukhtar, A.S. dan E. Santoso. 1987. Beberapa Aspek Ekologi  Pinus merkusii
Galur Kerinci di Cagar Alam Bukit Tapan, Kerinci, Jambi.  Buletin Penelitian
Hutan 489. Bogor. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
110
Munawar, A.A. 2002. Studi Keragaman Genetik Tusam (Pinus merkusii Jungh et
De Vriese) di Hutan Alam Tapanuli dan Kerinci dengan Analisis Isozim serta
Implementasinya dalam Konservasi.  Tesis Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Radja, M.M. 1971. Aspek-aspek Silvikultur Hutan Alam  Pinus merkusii strain
Kerinci.  Tesis Sarjana, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
Sasrosumarto, S. dan H. Suhaendi. 1985.  Suatu Tinjauan Mengenai Program Pemuliaan Jati (Tectona grandis L.f.) di Indonesia. Badan Litbang Kehutanan,
Jakarta. 26 pp.
Soerianegara, I. dan E. Djamhuri. 1979. Pemuliaan Pohon Hutan. Departemen
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
Siregar, I.Z.  2000. Genetic Aspect of The Reproductive System of Pinus merkusii
Jungh et de Vriese in Indonesia. Ph.D Dissertation of Gottingen, Cullier
Verlag, Gottingen.
Suhaendi, H. 1988a.  Pendugaan Parameter-parameter Genetika-Ekologi dari Beberapa Sifat Kuantitatif dalam Hutan Tanaman  Pinus merkusii strain
Tapanuli dan strain  Aceh. Disertasi Doktor, Fakultas Pasca Sarjana IPB,
Bogor. 187 pp.
_____. 1988b.  Sifat-sifat Morfologi, Biologi Pembungaan dan Genetika dari Pinus
merkusii Jungh et De Vriese.  Jurnal Litbang Kehutanan 4(2): 21-25.
_____., T. E. Komar, and Nurhasybi. 1993. In-Situ Conservation of Forest Genetic
Resources in Indonesia Co-Reviewer  "State-of-the-Art Review", ASEANCanada Forest Tree Seed Centre, Thailand. 66 pp.
_____. 1997. Metode-metode Konservasi Genetik : Kelebihan dan Kekurangannya.   Dalam : Prosiding Diskusi Hasil-Hasil Penelitian, 20-21 Maret
1997 : 49-59.  Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
_____. 2000. Pola Pewarisan Genetik Sifat-sifat Kayu  Pinus merkusii strain
Tapanuli  dan strain  Aceh.    Dalam: Prosiding Diskusi Peningkatan Kualitas
Kayu, 24 Februari 2000: 241-260.  Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.
_____. 2005.  Kajian konservasi Pinus merkusii strain Tapanuli di Sumatera. Jurnal
Analisis Kebijakan Kehutanan 2(1): 45-57.
Sukotjo.  1993.  Konservasi  ex-situ dan in-situ : Manfaat dan Harapan Masa Depan.  Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ekologi dan Silvikultur
pada Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta, 10 Agustus 1993. 26 pp.
Thahar, H. Nasrul. 2005. Wisata : Tidak Hanya Satu Jalan Menuju Kabupaten
Kerinci. Kompas, 9 Sptember 2005.
Van de Veer, E.J.A. dan A. Govers. 1953.  Reaction of  Pinus merkusii on
Defoliation.  Comm. No. 38, Forest Research Institute, Bogor.
Wright, J.W. 1981.  The Role of Provenance Testing in Tree Improvement.  In:
Advances in Forest Genetics. Ed. By P.K.Khosla.  Ambika Pub, New Delhi:
103-114.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar