Senin, 26 September 2011

Bahan Ajar 2
INTERAKSI ANTARA
POHON - TANAH - TANAMAN SEMUSIM:
KUNCI KEBERHASILAN ATAU KEGAGALAN
DALAM SISTEM AGROFORESTRI
Kurniatun Hairiah, Meine van Noordwijk dan Didik Suprayogo
1. Pendahuluan
Pada sistem pertanian monokultur, jarak tanam yang terlalu dekat akan mengakibatkan
kompetisi akan air dan hara. Bila jarak tanamnya diperlebar maka besarnya tingkat
kompetisi tersebut semakin berkurang. Dalam praktek di lapangan, petani mengelola
tanamannya dengan melakukan pengaturan pola tanam, pengaturan jarak tanam,
pemangkasan cabang dan ranting dan sebagainya.
Pada sistem campuran dari berbagai jenis tanaman atau mixed cropping (pohon dengan
tanaman semusim, atau hanya pepohonan saja), maka setiap jenis tanaman dapat mengubah
lingkungannya dengan caranya sendiri. Sebagai contoh, jenis tanaman yang bercabang
banyak akan menaungi tanaman yang lain. Beberapa tanaman yang jaraknya tidak terlalu
dekat akan memperoleh keuntungan, prosesnya sering disebut dengan ‘facilitation’.
Contohnya, pohon dadap yang tinggi dan lebar sebaran kanopinya memberikan naungan
yang menguntungkan bagi tanaman kopi. Contoh lain, jenis tanaman yang berperakaran
lebih dalam daripada yang lain sehingga lebih memungkinkan untuk menyerap air dan hara
dari lapisan yang lebih dalam. Dalam waktu singkat kondisi lingkungan di sekitar tanaman
akan berubah (ketersediaan hara semakin berkurang), sehingga akhirnya akan menimbulkan
kompetisi antar tanaman.
Pertanyaan 1
· Apabila dua tanaman dari satu jenis yang sama atau dari dua jenis yang berbeda,
ditanam berdampingan dengan jarak yang cukup dekat, apa yang akan terjadi?
TUJUAN
· Memahami interaksi (baik positif maupun negatif) antara tanaman tahunan (pohon)
dengan tanaman setahun (semusim) yang ditanam pada tempat dan waktu yang sama
ditinjau dari penggunanaan cahaya (untuk bagian atas tanaman), air dan hara (akar).
· Mendapatkan gambaran cara pengujian dan penyempurnaan sistem agroforestri di
lapangan
– 20 –
Proses saling mempengaruhi, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan, antar
komponen penyusun sistem campuran ini (termasuk system agroforestri) sering disebut
dengan ‘interaksi’. Secara ringkas digambarkan secara skematis dalam Gambar 1.
Gambar 1. Interaksi antara tanaman tahunan dengan tanaman semusim pada sistem agroforestri (a =
naungan; b = kompetisi akan air dan hara; c = daun gugur (seresah). Pohon berguna dalam menambah C
tanah dan hara lainnya serta sebagai "jaring penyelamat” hara yang tercuci ke lapisan bawah (d = pohon
berperakaran dalam).
2. Interaksi Pohon – Tanah – Tanaman Semusim
Salah satu kunci keberhasilan usaha agroforestri terletak pada usaha meningkatkan
pemahaman terhadap interaksi antar tanaman (tujuan jangka pendek) dan dampaknya
terhadap perubahan kesuburan tanah (tujuan jangka waktu panjang). Guna menghindari
kegagalan agroforestri, ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan yaitu: (a) proses
terjadinya interaksi, (b) faktor penyebab terjadinya interaksi, dan (c) jenis-jenis interaksi.
2.1 Proses Terjadinya Interaksi: langsung atau tidak langsung
Dalam sistem pertanian campuran, kompetisi antar tanaman yang ditanam berdampingan
pada satu lahan yang sama sering terjadi, bila ketersediaaan sumber kehidupan tanaman
berada dalam jumlah terbatas. Kompetisi ini biasanya diwujudkan dalam bentuk hambatan
pertumbuhan terhadap tanaman lain. Hambatan dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Hambatan secara langsung, misalnya melalui efek allelophathy, tetapi hambatan
secara langsung ini jarang dijumpai di lapangan. Hambatan tidak langsung dapat melalui
berkurangnya intensitas cahaya karena naungan pohon, atau menipisnya ketersediaan hara
dan air karena dekatnya perakaran dua jenis tanaman yang berdampingan. Tanaman
kadang-kadang mempengaruhi tanaman lain melalui ‘partai ketiga’ yaitu bila tanaman
Pertanyaan 2
· Sebutkan jenis interaksi yang dipengaruhi oleh iklim, jenis tanah, jenis tanaman dan
pohon; dan sebutkan faktor mana yang dapat dirubah melalui perubahan sistem
pengelolaan.
– 21 –
tersebut dapat menjadi inang bagi hama atau penyakit bagi tanaman lainnya (Gambar 2).
Walaupun pada kenyataannya di lapangan banyak juga tanaman yang ditanam terpisah
pertumbuhannya justru kurang bagus bila dibandingkan dengan yang ditanam bersama
dalam satu petak yang sama (misalnya menanam pohon dadap pada kebun kopi, dadap
disini selain berfungsi sebagai penambah N juga sebagai penaung).
Pemahaman yang mendalam tentang proses terjadinya interaksi antar tanaman (baik pada
spesies yang sama maupun spesies yang berbeda) dalam sistem agroforestri sangat
dibutuhkan agar dapat menentukan pengelolaan yang tepat.
Jenis
tanaman A
Jenis
tanaman B
A Interaksi langsung
Jenis
tanaman A
Jenis
tanaman B
Interaksi tidak langsung
Simetris
atau
asimetris
Sumber alam
B
Jenis
tanaman A
Jenis
tanaman B
Interaksi tidak langsung
Salah satu
atau
keduanya
Musuh
(mis. Gulma, serangga, hama& penyakit)
C
Gambar 2. Bentuk–bentuk kompetisi antar tanaman: (A) spesies A secara langsung menghambat
pertumbuhan spesies B atau sebaliknya, (B) interaksi tidak langsung yaitu dengan merubah lingkungan
pertumbuhan, (C) interaksi tidak langsung yaitu dengan menstimulir pertumbuhan musuh (hama+penyakit)
bagi tanaman
2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Interaksi
Secara umum interaksi yang bersifat negatif dapat terjadi karena (1) keterbatasan daya
dukung lahan yang menentukan jumlah populasi maksimum dapat tumbuh pada suatu
lahan; dan (2) keterbatasan faktor pertumbuhan pada suatu lahan.
2.2.1 Populasi Maksimum
Konsep daya dukung alam merupakan konsep yang juga penting untuk diketahui oleh ahli
ekologi. Konsep ini menggambarkan tentang jumlah maksimum dari suatu spesies di suatu
area, baik sebagai sistem monokultur, atau campuran. Suatu spesies mungkin saja dapat
tumbuh dalam jumlah yang melimpah pada suatu lahan. Apabila dua species tumbuh
bersama pada lahan tersebut, maka salah satu spesies lebih kompetitif daripada yang lain.
– 22 –
Hal ini kemungkinan mengakibatkan spesies ke dua akan mengalami kepunahan (Gambar
3). Di dalam usaha pertanian, terutama tanaman pokok yang diharapkan tumbuh lebih baik.
2.2.2 Keterbatasan Faktor Pertumbuhan
Salah satu sarat terjadinya kompetisi adalah keterbatasan faktor pertumbuhan (air, hara dan
cahaya). Pertumbuhan tanaman mengalami kemunduran jika terjadi penurunan
ketersediaan satu atau lebih faktor. Kekurangan hara di suatu lahan mungkin saja terjadi
karena kesuburan alami yang memang rendah, atau karena besarnya proses kehilangan hara
pada lahan tersebut, misalnya karena penguapan dan pencucian. Kekurangan air dapat
terjadi karena daya menyimpan air yang rendah, distribusi curah hujan yang tidak merata,
atau proses kehilangan air (aliran permukaan) yang cukup besar. Pengetahuan akan
ketersediaan faktor pertumbuhan (air dan hara) dan pengetahuan akan kebutuhan tanaman
ini sangat diperlukan dalam pelaksanaan agroforestri.
Kehilangan satu
species digantikan
oleh species yang
lain dalam jumlah
yang sama
Species A
Jumlah per luasan
Species B
Jumlah per luasan
Kepunahan salah
satu species
Species A
Species B
Produksi ha-1
Produksi ha-1
Penurunan
produksi
Peningkatan
produksi
Species A
Species B
Ukuran
populasi
Waktu
Tingkat ketersediaan
sumber daya alami
A B
C
Gambar 3. (A) kemungkinan adanya 2 species tumbuh bersamaan atau salah satu mengalami kepunahan
bila ada keterbatasan daya dukung lahan; (B) Salah satu species (sp B) yang mengalami kepunahan, di
lain pihak species A masih mampu menimba sumber alam yang telah semakin menipis. Pada sistem
agroforestri tentunya diharapkan semua komponen penyusunnya 'menang', walaupun dalam praktek di
lapangan ada spesies yang agak dikalahkan (C). Contoh untuk menunjukkan adanya penurunan (terjadi
kompetisi) atau peningkatan produksi (terjadi komplementari) dari dua jenis tanaman dalam sistem
campuran (Huxley, 1999).
– 23 –
2.3 Jenis Interaksi Pohon-Tanah-Tanaman
Telah diutarakan pada sub bab terdahulu bahwa menanam berbagai jenis tanaman pada
lahan yang sama dalam sistem agroforestri akan menimbulkan berbagai macam bentuk
interaksi antar tanaman. Jenis-jenis interaksi disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisis interaksi antara 2 jenis tanaman A dan B (dimodifikasi dari Torquebiau, 1994). (0 =
Tidak ada interaksi yang nyata; + = Menguntungkan bagi tanaman utama (pertumbuhannya,
ketahanan terhadap "stress", reproduksi dsb.); - = Merugikan bagi tanaman utama)
Pengaruh interaksi
Macam interaksi terhadap tanaman:
A B
Penjelasan Contoh dalam Agroforestri
Mutualisme
(Mutualism)
+ + Interaksi yang saling
menguntungkan
Mycorrhizae, rhizobium dengan
legume
Fasilitasi
(Facilitation)
+ 0 Satu tanaman (B) membantu
jenis tanaman lainnya (A)
walaupun tidak mutlak diperlukan;
B tidak dipengaruhi
Penghalang angin (Windbreaks),
pohon penaung (shade trees),
Budi daya pagar (hedgerow inter
cropping)
Komensalisme
(Commensalism )
+ 0 Satu jenis tanaman (A) harus
mendapatkan dukungan
tanaman lain (B)(Interaction
obligatory) ; tetapi B tidak
dirugikan
Sebagai tempat rambatan; Bero
(Improved fallows)
Netralisme
Neutralism
0 0 Tidak ada saling pengaruh Pohon tumbuh berpencar
Parasit /
pemangsa
Parasitism/
predation
+ - Satu jenis tanaman (A) harus
menghambat (Interaction
obligatory) yang lain untuk
hidupnya; B dihambat
Hama dan penyakit
Amensalisme - 0 A terhambat; B tidak Allelophathy
Kompetisi dan
penghambatan
(Competition and
interference)
- - Satu jenis tanaman dihambat oleh
tanaman lainnya melalui
persaingan terhadap cahaya, air
dan hara .
Alley cropping (yang tidak
dikelola dengan baik)
Dalam sistem agroforestri, interaksi positif dan negatif dalam jangka pendek terutama
ditekankan pada pengaruhnya terhadap produksi tanaman semusim. Bentuk-bentuk
interaksi tersebut antara lain:
Pada prinsipnya ada tiga macam interaksi di dalam sistem agroforestri (Gambar 4), yaitu:
· Interaksi positif (complementarity = saling menguntungkan): bila peningkatan produksi
satu jenis tanaman diikuti oleh peningkatan produksi tanaman lainnya (Gambar 4a).
· Interaksi netral: bila ke dua tanaman tidak saling mempengaruhi, peningkatan
produksi tanaman semusim tidak mempengaruhi produksi pohon (Gambar 4b) atau
peningkatan produksi pohon tidak mempengaruhi produksi tanaman semusim
(Gambar 4c).
· Interaksi negatif (kompetisi/persaingan = saling merugikan): bila peningkatan
produksi satu jenis tanaman diikuti oleh penurunan produksi tanaman lainnya
(Gambar 4d), ada kemungkinan pula terjadi penurunan produksi keduanya.
– 24 –
a
c d
b
Produksi pohon Produksi pohon
Prod. Tan.semusim Prod. Tan.semusim
Gambar 4. Interaksi positif (a), netral (b dan c), atau negatif (d) antara komponen penyusun agroforestri
(Torquebiau, 1994).
2.3.1 Interaksi Positif (Facilitation):
· Daun dari pepohonan yang gugur ke tanah sebagai serasah berguna sebagai penutup
permukaan tanah (mulsa), meningkatkan penyedian N dan hara lainnya yang berguna
bagi tanaman semusim. Tingkat penyediaan N dari hasil mineralisasi serasah
pepohonan tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitasnya (lihat Bab 6: Neraca Hara).
Serasah yang berkualitas rendah (konsentrasi N rendah, konsentrasi lignin dan polifenol
tinggi) justru merugikan untuk jangka pendek karena adanya immobilisasi N, tetapi
menguntungkan untuk jangka waktu panjang.
· Akar pepohonan membantu dalam daur ulang hara (recycled nutrients) melalui
beberapa jalan yaitu:
a. Akar pohon menyerap hara di lapisan atas dengan jalan berkompetisi dengan
tanaman semusim, sehingga mengurangi pencucian hara ke lapisan yang lebih
dalam. Namun pada batas tertentu kompetisi ini akan merugikan tanaman semusim.
b. Akar pohon berperan sebagai " jaring penyelamat hara" yaitu menyerap hara yang
tercuci ke lapisan bawah selama musim pertumbuhan. Contoh kasus 1 (Rowe et al,
1999; Suprayogo et al, 2000) dapat dijadikan pegangan untuk membuktikan teori
tersebut.
c. Akar pohon berperan sebagai "pemompa hara" terutama pada tanah-tanah subur,
yaitu menyerap hara hasil pelapukan mineral/batuan pada lapisan bawah. Namun
hal ini masih bersifat hipothesis, dan masih perlu penelitian lebih lanjut.
d. Akar-akar yang telah membusuk ini akan menetralisir keracunan Al pada lapisan
yang lebih dalam, sehingga akar tanaman lain dapat tumbuh mengikuti bekas lubang
akar tersebut. Lihat contoh kasus 2.
· Pensuplai Nitrogen tersedia bagi akar tanaman semusim, baik melalui pelapukan akar
yang mati selama pertumbuhan maupun melalui fiksasi N-bebas dari udara (untuk
tanaman legume ). Penyediaan N melalui fiksasi ini dapat dimanfaatkan langsung oleh
akar tanaman semusim yang tumbuh berdekatan.
– 25 –
· Menekan populasi gulma melalui penaungan, dan pada musim kemarau mengurangi
resiko kebakaran karena kelembaban yang lebih terjaga.
· Seringkali mengurangi populasi hama dan penyakit.
· Menjaga kestabilan iklim mikro (mengurangi kecepatan angin, meningkatkan
kelembaban tanah dan memberikan naungan parsial (misalnya Erythrina pada kebun
kopi).
· Mempertahankan kandungan bahan organik tanah dan memperbaiki struktur tanah,
sehingga dapat mengurangi bahaya erosi (dalam jangka panjang).
2.3.2 Interaksi Negatif (Interference):
· Naungan oleh pohon akan mengurangi intensitas cahaya yang dapat dipergunakan
oleh tanaman semusim.
· Kompetisi antara akar pohon dengan tanaman semusim untuk menyerap air dan hara
pada lapisan atas tanah,
· Pohon dan tanaman semusim dapat menjadi inang (host) hama dan penyakit.
· Akar-akar pohon yang sudah busuk dapat menciptakan saluran air sehingga
menpercepat kehilangan unsur hara melalui aliran air ke bawah atau ke samping (vertical
and lateral flows).
– 26 –
Contoh Kasus 1. Akar pohon sebagai jaring penyelamat hara
Pembuktian akar pohon sebagai jaring penyelamat hara dilakukan dengan mengukur jumlah N
tercuci pada kedalaman 0.8 m dan > 0.8 m pada sistem budi daya pagar di Pakuan Ratu,
Lampung. Tanaman pagar yaitu petaian (Peltophorum) dan gamal (Gliricidia) ditanam pada
tahun 1985. Tanaman pagar tersebut ditanam berbaris dengan jarak tanam 4 x 0.5 m atau
sebagai campuran baris petaian berselang-seling dengan gamal. Tanaman semusim yang
ditanam di antara baris tanaman pagar adalah jagung (musim tanam I) dan diikuti oleh kacang
tanah (musim tanam II). Jagung dipupuk N sebanyak 90 kg ha-1. Jumlah N mineral (NH4
+ dan
NO3
- ) yang diperoleh dibandingkan dengan petak jagung monokultur, tanpa tanaman pagar
(sebagai kontrol). Tinggi rendahnya konsentrasi N-mineral yang terukur menunjukkan efektifitas
akar pohon dalam menyerap N yang tercuci. Semakin rendah konsentrasi N mineral yang
tercuci berarti semakin efektif akar tanaman pohon dalam menyerap N yang tercuci.
Hasil pengukuran dapat dilihat pada Gambar 4. Tidak ada perbedaan jumlah air drainasi pada
semua petak. Namun bila ditinjau dari konsentrasi N –mineral (NH4
+ dan NO3
- ) baik pada
kedalaman 0.8 m maupun > 0.8 m, ternyata konsentrasi tertinggi dijumpai pada petak kontrol.
Konsentrasi terendah dijumpai pada petak petaian. Konsentrasi N-mineral pada petak gamal,
campuran petaian/gamal berada diantaranya.
A. Air drainasi keluar dari kedalaman tanah 0.8 m
Air drainasi (mm)
0
50
100
150
200
250
B. Konsentrasi mineral N (NH4
+-N+NO3
--N) dalam larutan tanah di kedalaman 0.8 m
Konsentrasi mineral N (mg l-1)
0
10
20
30
40
C. Pencucian mineral N (NH4
+
+ NO3
-
) keluar dari kedalaman tanah 0.8 m
Hari setelah tanam jagung
14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 98 105 112 119 126 133
Pencucian mineral N (g m-2)
0
1
2
3
pemupukan urea-N 60 kg ha-1
dan pemangkasan gliricidia
tanam kacang tanah dan
pemangkasan peltophorum dan gliricidia
Gambar 5. Air yang bergerak ke bawah (air drainasi), konsentrasi N dan jumlah N yang tercuci pada
kedalaman 0.8 m pada sistem budi daya pagar, (·) = petaian (o) = gamal, (t) = campuran petaian +
gamal, (?) = jagung monokultur (kontrol) dengan pemupukan N 90 kg ha-1. Tanda ‘bar”
menunjukkan nilai ‘standard error of the difference’ (s.e.d.)
– 27 –
Contoh Kasus 2. Manfaat liang akar pohon yang telah mati
bagi tanaman semusim
Pada tanah masam, liang bekas akar pohon yang telah mati, berguna untuk pertumbuhan akar
tanaman lainnya. Tingkat keracunan Al di dalam liang ternyata lebih rendah daripada tanah di
luar liang. Dekomposisi dan mineralisasi akar pohon akan melepaskan beberapa asam-asam
organik seperti sitrat, malat dan fulfat yang dapat mengkelat Al menjadi bentuk yang tidak
beracun bagi tanaman. Dalam Tabel 2 disajikan contoh hasil pengukuran pH tanah pada
berbagai kedalaman profil tanah yang dibuat pada petak budidaya pagar di Ultisol, Onne,
Nigeria. Sebagai pembanding dua kolom terakhir menunjukkan pH di dalam dan di luar liang
akar pada lapisan tanah bawah.
Tabel 2. pH tanah pada berbagai kedalaman dalam profil tanah yang dibuat pada petak budidaya
pagar dan di dalam liang akar pada lapisan tanah bawah pada Ultisol, Onne, Nigeria
(Hairiah & van Noordwijk, 1986).
Kedalaman (cm)
0-20 20-30 30-60
Di luar
liang
Di dalam
liang
pH-H2O 3.6 3.6 3.6 3.7 3.4
pH-KCl 4.7 4.5 4.4 4.4 4.2
Dari data tersebut di atas dapat dilihat bahwa
pH di dalam liang akar pohon relatif lebih
rendah dari pada tanah di sekelilingnya atau
tanah dalam profil tanah. Mengapa akar ubi
kayu masih lebih suka tumbuh pada liang
akar pohon tersebut? (lihat Gambar 5.). Ada
3 kemungkinan yang menyebabkan akar
ubikayu dapat tumbuh pada liang akar pohon:
(a) keracunan Al rendah, (b) lebih kaya akan
hara (c) struktur tanah lebih remah.
Gambar 6. Pemandangan di dalam tanah
yang meununjukkan peranan penting liang
yang terbentuk dari akar pohon yang telah
mati. Tanah di dalam liang berwarna lebih
gelap dan gembur dari pada tanah di
sekelilingnya, sehingga lebih banyak akar
yang tumbuh mengikuti liang tersebut
sampai ke lapisan bawah. Akar pohon mati
membentuk liang dan akar ubi kayu tumbuh
di dalamnya menembus lapisan bawah pada
Ultisol di Onne Nigeria (Foto: Meine van
Noordwijk, 1986)
– 28 –
3. Bagaimana Menganalisa Interaksi Pohon Dan Tanaman Semusim
Secara Kuantitatif?
Masukan Keluaran
Keberhasilan sistem tumpangsari ditentukan oleh keseimbangan antara pengaruh positif
dan negatif dari masing-masing tanaman, yang bisa dianalisa dengan menggunakan
persamaan sederhana (persamaan 1) sebagai berikut:
di mana,
Ysystem = produksi total dari sistem pohon + tanaman semusim
Ypohon = produksi dari hasil panen pohon pada sistem tumpangsari
Ytan.pangan = produksi dari hasil panen tanaman semusim pada sistem tumpangsari
Ytan.pangan,0= produksi tanaman semusim pada sistem monokultur, pada jenis tanah yang sama .
F = pengaruh positif dari pohon terhadap tanaman semusim melalui perbaikan
kesuburan tanah
C = pengaruh negatif dari pohon terhadap tanaman semusim melalui kompetisi akan
cahaya, air dan hara.
Apakah sistem agroforestri menguntungkan bila dibandingkan dengan tanaman
semusim monokultur atau pohon monokultur (woodlots)?
Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan tersebut di
atas:
Terjadi interaksi positif, bila F > C
Terjadi interaksi negatif, bila F < C.
Perhitungan ini dapat dilakukan melalui tiga pendekatan: a) Model mulsa dan naungan; b)
Model Penggunaan air, hara, dan cahaya (WaNuLCAS); dan kemudian c) Analisa dan
sintesis interaksi pohon-tanah-tanaman.
3.1 Model Mulsa dan Naungan (Mulch + Shade Model)
Pohon yang cepat pertumbuhannya memberikan pengaruh positif dengan menghasilkan
banyak seresah sebagai mulsa, namun pohon tersebut juga memberikan pengaruh negatif
dengan mengakibatkan naungan yang besar. Model simulasi sederhana yang hanya
menggunakan persamaan matematik biasa untuk menganalisa kedua pengaruh tersebut
dalam sistem agroforestri telah dikembangkan oleh Van Noordwijk (1996a). Model tersebut
dikembangkan hanya berdasarkan pada produksi mulsa dan dampaknya terhadap perbaikan
kesuburan tanah, dan memperhitungkan adanya dampak negatif melalui naungan. Model
Ysystem = Ypohon + Ytan.pangan = Ypohon + Ytan.pangan,0 + F - C
– 29 –
tersebut juga memperhitungkan besarnya nisbah mulsa: naungan sebagai dasar
perbandingan antar spesies pohon. Dengan model tersebut, dapat diperkirakan bahwa
pengaruh positif mulsa untuk perbaikan kesuburan tanah terutama terjadi pada tanah-tanah
miskin, sedangkan pengaruh negatif dari naungan lebih banyak terjadi pada tanah-tanah
yang sudah subur.
Kelemahannya, model tersebut tidak mempertimbangkan adanya perubahan interaksi
antara pohon dengan tanaman semusim yang berhubungan dengan penyediaan air tanah,
dinamika N, pertumbuhan tanaman semusim dan pohon. Memasukkan parameterparameter
tersebut ke dalam model, akan merupakan satu langkah maju untuk
mengembangkan model menjadi model simulasi yang dinamis; yang dapat mengestimasi
sumber energi di luar maupun di dalam tubuh tanaman dan dapat juga dipakai untuk
memperhitungkan keluaran energi per hari (daily resource flows) dan penggunaannya (daily
resource capture).
3.2 Model Penggunaan Air Hara dan Cahaya (WaNuLCas: Water, Nutrient
and Light Capture)
Model simulasi WaNuLCAS telah dikembangkan baru-baru ini (Van Noordwijk dan
Lusiana, 1999) yang mesintesis proses-proses penyerapan air, hara dan cahaya pada
berbagai macam pola tanam dalam sistem agroforestri. Model WaNuLCAS ini memasukkan
interaksi yang terjadi antara pohon dan tanaman semusim seperti yang telah digambarkan
pada Gambar 6.
Model ini berpijak pada program STELLA II Ò dengan mempertimbangkan:
· Neraca air dan N pada empat kedalaman dari profil tanah, serapan air dan hara oleh
tanaman semusim dan pohon yang ditentukan oleh total panjang akar dan
kebutuhan tanaman.
· Sistem pengelolaan tanaman seperti pemangkasan cabang pohon, jarak pohon,
pemilihan spesies yang tepat dan berbagai dosis pemberian pupuk.
· Karakteristik pohon, termasuk distribusi akar, bentuk kanopi, ‘kualitas’ seresah,
tingkat pertumbuhan maksimum dan kecepatan untuk pulih kembali setelah
pemangkasan.
Kelebihan lain dari model ini adalah dapat dipakai pada sistem tumpangsari (simultaneous)
maupun rotasi, sehingga akan membantu peneliti untuk memperdalam pengertian akan
kelanjutan dari sistem ‘bera’ menuju sistem yang menetap ‘tumpangsari’.
Persamaan interaksi pohon-tanah-tanaman semusim dapat dianalisa sebagai berikut:
· Selisih antara pengaruh pohon untuk jangka pendek (F1) dan panjang (Fw) terhadap
kesuburan tanah
· Memisahkan kompetisi antara bagian atas tanah (Cl) dan bagian bawah tanah
(Cn+w).
– 30 –
Gambar 7.
Komponenkomponen
penyusun
dalam model
WaNuLCAS.
Neraca untuk input hara dan air dalam sistem agroforestri dapat dihitung dengan
persamaan 2 sebagai berikut:
Di mana,
DTersimpan = jumlah hara yang dapat tersimpan dalam tanah
Recycle = jumlah hara yang dapat diambil dari lapisan bawah
Upttan semusim = Jumlah serapan hara pada tanaman semusim
Uptpohon,komp = Jumlah serapan hara pada pohon dalam sistem agroforestri
Uptpohon,non komp = Jumlah serapan hara pada pohon dalam sistem monokultur
Kehilangan = Jumlah hara yang hilang dari dalam tanah
Parameter Uptpohon,nonkompetitif mewakili fungsi akar pohon sebagai “jaring penyelamat hara”
untuk hara yang tercuci ke lapisan bawah yang terjadi selama musim pertumbuhan (Van
Noordwijk et al., 1996), maupun sebagai “pemompa hara” pada lapisan bawah (Young,
1997). Penjabaran lebih rinci tentang parameter-parameter yang tertulis dalam persamaan
tersebut di atas disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Penjabaran parameter pada persamaan 2 untuk penyerapan sumber energi oleh pohon dan
tanaman semusim dalam sistem agroforestri.
Parameter Air Nitrogen Cahaya
Input (masukan) Curah hujan, irigasi,
runon-runoff
Pemupukan & masukan
organik
Total radiasi harian
Recycle (daur ulang) Hydraulic pada akar
tanaman
Seresah, pangkasan, sisa
panen
-
UptakeCrop (serapan) Sair_diserap-crop N_fiksasi (Crop) +
SN_diserap-crop
Scahaya diserap-crop
UptakePohon,kompetisi
(serapan)
Stopair-diserap-pohon StopN_diserap-pohon Scahaya diserap pohon1,2
Uptakepohon,Noncomp
(serapan)
Ssubair_diserap-pohon N_fiksasi(pohon) +
SsubN_diserap-pohon
Cahaya diserap pohon3
Kehilangan SPerkolasi dari Zona
terendah
SPencucian dari 1 - zona
terendah
Scahaya yg diserap
Dtersimpan DKandungan air D(Nmineral & BOT) -
Keterangan:
Akar tanaman semusim diasumsikan mendominasi ‘lapisan atas’ sedang akar pohon mendominasi ‘lapisan bawah’; huruf
subscript 1, 2 dan 3 mewakili zonasi (jarak) terhadap pohon. (Crop=tan.pangan; run on= aliran permukaan masuk ke dalam
plot; run off= aliran permukaan ke luar plot; N-mineral = NO3
- + NH4
+, BOT = Bahan Organik Tanah)
kehilangan
tan , ,
D = +Re - - - - pohon nonkomp
Upt
pohon komp
Upt
semusim
tersimpan Masukan cycle Upt
– 31 –
3.3 Bagaimana Caranya Menganalisis dan Mensintesis Interaksi Pohon-
Tanah-Tanaman Semusim pada Sistem Agroforestri?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, tiga langkah pendekatan melalui penetapan
jenis perlakuan dalam percobaan sampai kepada penggunaan model WaNuLCAS disajikan
pada Tabel 4 (Van Noordwijk et al., 1998). Dalam Tabel tersebut disajikan jenis-jenis
percobaan yang dilakukan untuk mengukur komponen dalam persamaan, pengukuran
proses yang terjadi secara kuantitatif, sintesa model untuk melakukan perbaikan pengelolaan
agroforestri.
Tabel 4. Proses analisa dan sintesa interaksi pohon-tanah-tanaman dalam agroforestri.
Yc = Y0 + F1 + Fw + Cl + Cw+n + M
Produksi total
tanaman pada
sistem
tumpangsari
Produksi
tanaman
pada sistem
monokultur
Pengaruh
langsung
terhadap
Kesuburan
Pengaruh jangka
panjang terhadap
kesuburan tanah
Kompetisi
akan
cahaya
Kompetisi
akan air dan
hara
Pengaruh
iklim Micro
1. Methodologi percobaan Transfer
bahan organik
sbg mulsa
Efek residu
(pohon ditebang
dibandingkan dng
kontrol)
pohon
ditebang
dibanding
kan dengan
kontrol
Pemasangan
sekat akar
(root barriers)
2. Pengertian akan proses
yang berlangsung
Kualitas
seresah,
kecepatan
dekomposisi +
mineralisasi
Fraksionasi BOT
& fungsinya
Bentuk
kanopi &
sebaran
cahaya
Pola sebaran
akar
3. Sintesis model W a N u L C A S
Perlu dicatat bahwa model matematik di sini hanyalah alat bantu yang bisa dipakai untuk
meramalkan terjadinya interaksi antara tanaman semusim dan pohon, dan interaksi tersebut
sangat dipengaruhi oleh tanah, iklim, keadaan fisik dan morfologi pohon (tree architecture).
Dengan demikian model simulasi tersebut perlu divalidasi pada berbagai kondisi yang
sebenarnya di lapangan.
Pertanyaan 3
· Bagaimana caranya memisahkan antara interaksi positif dan negatif yang ada pada
sistim agroforestri?
· Buatlah rencana penelitian secara garis besar, perlakuan apa yang akan anda tetapkan
untuk mengukur F dan C secara terpisah ?
– 32 –
4. Bagaimana Merancang Percobaan di Lapangan untuk Memisahkan
Pengaruh Positif dan Negatif Pohon?
Rancangan yang diperlukan untuk mengukur interaksi pohon-tanah-tanaman di lapangan
perlu ditata secara seksama, sebagai contoh lihat contoh kasus 3 di bawah ini.
Contoh kasus 3. Interaksi pohon dan tanaman pangan pada sistim
budidaya pagar (hedgerow intercropping system)
Berikut adalah contoh bagaimana mengevaluasi interaksi pohon dan tanaman pangan secara
kuantitatif (seperti tercantum pada Tabel 4) pada sistim budi daya pagar berumur 7 tahun di
Lampung. Tanaman jagung dipakai sebagai tanaman indikator, yang ditanam pada loronglorong
diantara tanaman pagar.
Tujuan percobaan :
· Menentukan secara kuantitatif besarnya serapan cahaya oleh tanaman pagar.
· Menentukan secara kuantitatif besarnya kompetisi akar dalam menyerap air dan hara.
· Menentukan secara kuantitatif pengaruh residu dari pohon (tanaman pagar) setelah pohon
ditebang
Penyusunan percobaan budidaya pagar:
Pada petak utama ditanam enam spesies tanaman pagar yang ditanam pada tahun 1986, yaitu:
(a) Peltophorum dasyrrachys, (b) Gliricidia sepium, (c) Campuran selang-seling antar baris
Peltophorum dan Gliricidia, (d) Calliandra calothyrsus, (e) Leucaena leucocephala, dan (f)
Flemingia congesta. Sebagai kontrol, lahan tidak ditanami tanaman pagar, kemudian petak
dibagi menjadi 4 untuk menguji respon tanaman terhadap 4 dosis pemupukan N:
· 0 kg ha -1
· 45 kg ha-1
· 90 kg ha-1
· 135 kg ha-1
Bagaimana menyusun perlakuan untuk mengevaluasi interaksi antara tanaman pagar dan
tanaman pangan?
Dari petak utama dan anak petak tersebut di atas, maka dapat dipisahkan pengaruh positif dan
negatif pohon terhadap tanaman pangan melalui analisis hasil sebagai berikut:
Parameter Perlakuan
Naungan 1. Dengan Pemangkasan Tajuk
2. Tanpa Pemangkasan Tajuk
Kompetisi Air dan Hara 1. Dengan Penyekat Akar
2. Tanpa Penyekat Akar
Mulsa 1. Dengan Penambahan Biomas sbg mulsa
2. Tanpa Penambahan Biomas
Pengaruh Residu Tanaman (pengaruh
jangka panjang)
1. Dengan Penebangan Pohon/Tanaman Pagar
2. Tanpa Penebangan Pohon/Tanaman Pagar
Total Plot Ada 8 sub plot per species pohon
– 33 –
Contoh kasus 3. (Lanjutan)
Hasil
Hasil dari percobaan ini menunjukkan bahwa Peltophorum secara konsisten memberikan
pengaruh yang menguntungkan terhadap produksi tanaman semusim (jagung) selama 2 musim
tanam. Setelah penebangan tanaman pagar (umur 8 tahun) dan diangkut keluar plot, ternyata
tanaman jagung yang ditanam pada lahan tersebut menunjukkan respon yang sangat nyata
terhadap 'pengaruh residu' yang ditinggalkan oleh pohon. Pengaruh yang ditinggalkan oleh
pohon bisa berupa kesuburan tanah yang 'baik', yang dapat dievaluasi dengan membandingkan
produksi jagung yang diperoleh pada petak tersebut dengan produksi jagung pada petak kontrol
(Gambar 8A). Berdasarkan data produksi rata-rata selama dua musim tanam, dapat dilihat
bahwa produksi yang diperoleh pada petak Calliandra dan Leucaena lebih tinggi bila
dibandingkan dengan produksi yang diperoleh dari penambahan pupuk N sebanyak 135 kg ha-1.
Hal ini menunjukkan besarnya peranan bahan organik (terutama yang berasal dari akar) dari ke
dua tanaman tersebut terhadap perbaikan kesuburan tanah (F).
Namun demikian untuk kondisi 'normal' (masukan dari tanaman bagian atas dan bagian bawah
tanaman), hanya Peltophorum yang mampu memberikan produksi jagung lebih tinggi dari pada
kontrol. Perbedaan terbesar dikarenakan kecilnya pengaruh naungan, pengaruh pemberian
mulsa dan interaksi bawah tanah (Gambar 8B).
Pada musim tanam ke dua (bl Februari – Mei), produksi tanaman rendah pada semua
perlakuan, karena kondisi yang lebih kering daripada tahun-tahun sebelumnya (Gambar 9).
Pada kondisi ini, jagung menunjukkan respon yang negatif terhadap pemupukan N (produksi
terendah diperoleh pada tingkat pemupukan N tertinggi), tetapi residu pohon masih
menunjukkan pengaruh positif. Tidak ada perbedaan pengaruh antara pemberian mulsa
sebanyak 9 Mg ha-1 (normal) dengan pemberian 18 Mg ha-1. Informasi ini sangat
menguntungkan untuk tujuan praktis di lapangan. Faktor pembatas utama pertumbuhan
tanaman pada kondisi ini nampaknya adalah ketersediaan air, karena ketersediaan P telah
dikoreksi dengan menambahkan pupuk P ke semua plot.
Tabel 5 memberikan ringkasan analisis interaksi pohon dan tanaman jagung berdasarkan pada
tingkat perbaikan kesuburan tanah (F) dan kompetisinya (C), yang ditunjukkan dengan produksi
jagung yang diperoleh. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa Peltophorum memberikan
neraca yang positif, pengaruh positifnya lebih besar dari pada pengaruh negatifnya. Spesies ini
memiliki daya kompetisi lebih rendah dari pada spesies lainnya dikarenakan: sistim
perakarannya yang dalam dan memiliki sebaran kanopi yang lebih terpusat di dekat batang
pokoknya, sehingga memberikan nisbah mulsa: naungan yang lebih tinggi.
Tabel 5. Analisis interaksi pohon dan tanaman pangan berdasarkan pengaruhnya terhadap
kesuburan tanah (F) dan kompetisi (C) terhadap produksi jagung.
Spesies Pengaruh kesuburan,
%
Pengaruh kompetisi,
(%)
Interaksi,
%
Leucaena 152 -159 -7
Calliandra 120 -115 +5
Peltophorum 58 -26 +32
Flemingia 37 -89 -52
Gliricidia 19 -60 -41
– 34 –
Contoh kasus 3. (Lanjutan)
Gambar 8. Pengaruh jangka panjang (residu tanaman) terhadap produksi biji jagung berdasarkan
data rata-rata dua musim tanam (A) dan interaksi positif dan negatif dari tanaman pagar pada sistem
budidaya pagar (B). Perlakuan kontrol adalah mencerminkan respon tanaman jagung monokultur
terhadap pemupukan N (s.e.d = standard error of deviations).
Gambar 9. Pengaruh pemberian mulsa pada musim kemarau terhadap produksi biji jagung.
(C = Calliandra, F = Flemingia, P=Peltophorum , G=Gliricidia, L=Leucaena)
– 35 –
Hasil dan Keterbatasan model
Dari segi biofisik, sistem agroforestri memberikan keuntungan bila sebaran tajuknya tidak
membatasi penyerapan cahaya bagi tanaman semusim. Pendekatan empiris secara langsung
untuk mengkuantifikasi pengaruh menguntungkan dari bagian atas tanah relatif lebih
mudah daripada bagian bawah tanah. Sumber energi (resources) yang tersimpan untuk jangka
panjang (misalnya ketersediaan bahan oragnik tanah) menimbulkan kesukaran untuk
memutuskan apakah sumber tersebut dapat atau tidak dipakai di luar konteks agroforestri.
Guna menghasilkan estimasi keuntungan per musim, model simulasi untuk Interaksi
Pohon-Tanah dan Tanaman Semusim dalam sistem agroforestri harus lebih
mempertimbangkan pengaruh masing-masing komponen dalam menyerap air dan hara
setiap hari.
5. Mengelola Interaksi Pohon-Tanah-Tanaman
Dalam sub-bab sebelumnya, telah diuraikan berbagai macam interaksi positif (yang
menguntungkan) dan yang negatif (merugikan). Dalam studi kasus 3 juga ditunjukkan
bahwa jagung menghasilkan produksi yang terbesar jika dikombinasikan dengan
Pelthophorum, dikarenakan pengaruh positifnya yang lebih besar dibandingkan dengan
pengaruh negatifnya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa suksesnya sistem
agroforestri bukan hanya terletak pada pemilihan jenis pohon yang menguntungkan. Kunci
keberhasilan dari sistem ini sangat tergantung dari pengelolaan pohon yang dapat menekan
pengaruh yang merugikan dan memaksimalkan pengaruh yang menguntungkan (dengan
kebutuhan tenaga kerja yang masih dapat diterima).
5.1 Menekan pengaruh negatif pohon
Interaksi pohon-tanah-tanaman tergantung pada pertumbuhan dan bentuk spesifik dari
pohon, baik pada bagian tajuk maupun akar tanaman. Sangatlah menarik untuk dikaji
seberapa besar aspek-aspek tersebut dapat dipengaruhi oleh adanya pengelolaan tajuk
tanaman, pengelolaan itu antara lain meliputi:
Mengatur tajuk pohon
Tinggi tanaman semusim biasanya lebih rendah dari pada pohon. Hal ini menyebabkan
pohon dapat menciptakan naungan, sehingga menurunkan jumlah cahaya yang dapat
dipergunakan tanaman semusim untuk pertumbuhannya. Untuk mengurangi pengaruh
merugikan pohon terhadap tanaman semusim tersebut, petani biasanya mengatur jarak
tanam sekaligus melakukan pemangkasan beberapa cabang pohon.
Mengatur pertumbuhan akar
Dalam melakukan pemangkasan cabang pohon, ada dua hal yang perlu diperhatikan dengan
seksama adalah tinggi pangkasan dari permukaan tanah dan frekuensi pemangkasan. Tinggi
pangkasan batang yang terlalu dekat dengan permukaan tanah akan mendorong
terbentuknya akar-akar halus pada tanah lapisan atas, sehingga peluang untuk terjadinya
kompetisi akan air dan hara dengan tanaman semusim menjadi lebih besar. Hal yang sama
juga akan terjadi bila frekuensi pemangkasan tinggi. Dangkalnya sistem perakaran pohon
sebagai akibat pengelolaan pohon yang kurang tepat ini juga akan merugikan pertumbuhan
pohon itu sendiri. Perakaran yang dangkal mengakibatkan pohon menjadi kurang tahan
terhadap kekeringan. pada musim kemarau. Contoh kasus yang terjadi di lapangan dapat
dilihat pada contoh kasus 4.
– 36 –
Contoh kasus 4. Kapan dan pada ketinggian berapa pemangkasan
pohon dilakukan?
Percobaan lapangan dilakukan
pada tanah Ultisol, di Pakuan
Ratu, Lampung, bertujuan
untuk mengetahui pengaruh
tinggi pangkasan pohon
terhadap sebaran akar pada
pohon petaian (Peltophorum)
dan Calliandra calothyrsus.
Tanaman dipangkas pada
ketinggian yaitu: 0.50; 0.75
atau 1.0 m dari permukaan
tanah. Hasilnya menunjukkan
bahwa tinggi pangkasan yang
rendah (dekat dengan
permukaan tanah)
mengakibatkan tanaman
membentuk lebih banyak akar
kecil pada lapisan permukaan
0-10 cm. (Gambar 8 dan 9).
Hasil yang sama akan
diperoleh bila tajuk sering
dipangkas.
Gambar 10. Sebaran akar Peltophorum dan Calliandra pada
kedalaman 10 cm setelah 6 bulan dipangkas pada berbagai
ketinggian. Semakin rendah tingkat pangkasan pohon semakin
banyak akar halus dijumpai pada bagian permukaan tanah
(Hairiah et al, 1992)
Adanya pemangkasan tajuk tanaman menyebabkan berkurangnya aktivitas akar.
Perttumbuhan tajuk tanaman kembali akan diikuti pula oleh pertumbuhan akar-akar baru.
Hasil penelitian ini merupakan informasi yang berguna bagi petani yang melakukan praktek
wanatani di lahannya terutama pada daerah-daerah kering. Semakin banyak akar yang
terbentuk pada lapisan atas, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya kompetisi akan
air dan hara antar tanaman. Tanaman yang memiliki perakaran dangkal biasanya kurang tahan
terhadap kekeringan. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa pemangkasan pertama
sebaiknya dilakukan bila tanaman telah cukup dewasa (sekitar 2 tahun) di mana akar tanaman
telah tumbuh cukup dalam. Pelajaran berguna yang bisa diambil adalah:
· Tinggi pangkasan dilakukan pada ketinggian minimal 0.75 m
· Pemangkasan pertama sebaiknya dilakukan bila pohon telah berumur minimal 2 tahun
Gambar 11. Foto
akar petaian
(Peltophorum ) yang
dipangkas setinggi
50 cm (pohon
sebelah kiri); dan 75
cm (pohon sebelah
kanan) (Foto:
Kurniatun Hairiah).
– 37 –
Cara menanam pohon di lapangan juga menentukan kedalaman perakaran. Bibit pohon
yang ditanam langsung dari biji biasanya diperoleh sistem perakaran yang cenderung lebih
dalam daripada yang ditanam berupa stek batang, atau melalui persemaian dalam polibag.
Contoh kasus yang berhubungan dengan penyediaan bibit pohon tersebut dapat dilihat
pada contoh kasus 5.
Contoh kasus 5. Teknik penanaman pohon yang tepat untuk mendapatkan
perkembangan akar yang dalam.
Percobaan dilakukan di lapangan di daerah Pakuan Ratu, Lampung, untuk mendapatkan teknik
penyediaan bibit pohon yang tepat agar diperoleh distribusi sistem perakaran yang dalam. Jenis
pohon yang dicoba adalah petaian (Peltophorum) dan gamal (Gliricidia). Teknik penyediaan
bibit petaian yang dibandingkan adalah: (a) biji ditanam langsung di lapangan, (b) menanam
bibit cabutan (putaran). Sedangkan untuk gamal adalah: (a) biji ditanam langsung di lapangan,
(b) menanam dari stek sepanjang 50 cm. Pengukuran total panjang akar (Lrv) dan berat
biomasa tajuk dilakukan setelah tanaman berumur 1 tahun, dengan selang periode pengamatan
3 bulan.
Hasil pengamatan total panjang akar (Lrv, cm cm-3 tanah) pada periode pertama (umur 15
bulan) menunjukkan bahwa menanam pohon langsung dari biji memberikan total panjang akar
lebih tinggi dari pada dari cabutan atau stek (Gambar 10, atas). Namun pada periode
pengamatan berikutnya, perbedaan tersebut secara bertahap mengecil. Pada periode ke tiga,
tidak dijumpai lagi adanya perbedaan total panjang akar dari ke dua teknik penanaman pada ke
2 jenis tanaman yang diuji (Gambar 10, bawah).
Penanaman pohon langsung dari biji, sebenarnya lebih murah dan tidak membutuhkan tenaga
yang banyak. Namum pertumbuhan pohon yang ditanam dengan teknik ini sangat lambat pada
awalnya, sehingga memerlukan tenaga ekstra untuk penanggulangan gulma di sekeliling
pohon. Bila penyediaan stek memungkinkan, maka teknik penanaman stek lebih
menguntungkan karena pohon tumbuh dengan cepat sehingga menutupi permukaan tanah.
Dengan demikian mengurangi tenaga kerja untuk penyiangan. Jadi kedua teknik penanaman
sama-sama memiliki keuntungan dan kerugian. Petani dapat mencoba sendiri berbagai teknik
penanaman yang lain pada berbagai pohon yang diinginkan, dengan mengamati pertumbuhan
pohon di atas dan di bawah tanah.
Gambar 12. Total
panjang akar (Lrv)
petaian dan gamal
pada berbagai
kedalaman tanah
dengan perlakuan
teknik penanaman
log Lrv
Kedalaman, cm
G-biji
G-stek
P-biji
P-cabutan
Kedalaman, cm
-1.2 -1.0 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2
0 - 10
10 - 20
20 - 30
30 - 40
40 - 50
50 - 60
0 - 10
10 - 20
20 - 30
30 - 40
40 - 50
50 - 60
– 38 –
5.2 Meningkatkan Pengaruh Positif Pohon: Pemilihan Jenis Tanaman
Naungan
Besarnya pengaruh naungan pohon dalam agroforestri menyebabkan tidak semua jenis
tanaman dapat ditanam bersama pepohonan. Oleh karena itu pemilihan jenis tanaman yang
toleran terhadap naungan dalam agroforestri sangat diperlukan. Lampiran 1 memberikan
informasi tentang jenis-jenis tanaman yang sesuai pada berbagai zone agroekosistem di
Jawa.
6. Penutup
Dari uraian di atas jelas bahwa setiap komponen penyusun agroforestri berperan dalam
mengubah lingkungannya. Perubahan lingkungan ini dapat merugikan ataupun
menguntungkan komponen yang lain baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Keberhasilan usaha pertanian dengan menggunakan sistem agroforestri sangat tergantung
pada tingkat pemahaman interaksi antara pohon-tanah-tanaman semusim. Pemahaman
interaksi ini dapat berdasarkan pengamatan, pengalaman, maupun penelitian di lapangan.
Model simulasi interaksi pohon-tanah-tanaman ini, contohnya WaNuLCAS, sangat
membantu dalam memahami proses-proses yang terjadi. Pengalaman menunjukkan bahwa
pada dasarnya pengelolaan agroforestri terletak pada usaha menekan pengaruh yang
merugikan dan mengoptimalkan pengaruh yang menguntungkan, dengan mengatur
penampilan fisik dan morfologi pohon.
Saran pengelolaan pohon
· Naungan dikurangi dengan jalan pemangkasan cabang pohon selama musim tanam,
tetapi dibiarkan tumbuh pada musim kemarau untuk menekan pertumbuhan gulma
(misalnya alang-alang).
· Pemangkasan pertama bisa dilakukan bila pohon telah berumur minimal 2 tahun.
· Tinggi pangkasan minimal 75 cm dari permukaan tanah. Pemangkasan lebih rendah
dari 75 cm akan menyebabkan pertumbuhan akar pohon terpusat pada lapisan tanah
atas, sehingga menimbulkan kompetisi dengan tanaman semusim.
· Frekuensi pemangkasan tidak lebih dari 3x dalam setahun. Pemangkasan tajuk yang
terlalu sering mendorong terbentuknya akar halus pada lapisan atas.
· Teknik menanam pohon dapat dilakukan dengan jalan menanam biji langsung di
lapangan, stek atau dari bibit cabutan tergantung dari bahan tanam dan tenaga yang
tersedia. Bila bahan tanam stek tersedia menanam stek lebih cepat dan mengurangi
populasi gulma.
– 39 –
Bahan Bacaan
Buku Ilmiah (book chapters)
Akyeampong E, Duguma B, Heineman AM, Kamara CS, Kiepe P, Kwesiga F, Ong CK,
Otieno HJ and Rao MR, 1995. A synthesis of ICRAF’s research on alley cropping. In:
Alley farming research and development. AFNETA, Ibadan, Nigeria. pp 40-51.
Van Noordwijk M, Hairiah K, Lusiana B and Cadisch G, 1998. Tree-soil-crop interactions
in sequential and simultaneous agroforestry systems. In: Bergstrom L and Kirchmann H
(eds.), Carbon and nutrient dynamics in natural and agricultural tropical ecosystems.
CAB International, Wallingford, UK. pp 173-191.
Journal ilmiah
Rowe E, Hairiah K, Giller KE, Van Noordwijk M and Cadisch G, 1999. Testing the
"safety-net" role of hedgerow tree roots by 15N placement at different soil depths.
Agroforestry Systems. Agroforestry Systems 43(1-3):81-93. Kluwer Academic
Publisher and ICRAF.
Suprayogo D, Hairiah K, Van Noordwijk M, Giller K and Cadisch G, 1999. The
effectiveness of hedgerow cropping system in reducing mineral N-leaching in Ultisol.
In: Ginting C, Gafur A, Susilo FX, Salam AK, Karyanto A, Utomo SD, Kamal M,
Lumbanraja J and Abidin Z (eds.) Proc. Int. Seminar Toward Sustainable Agriculture in
the Humid Tropics Facing 21st Century UNILA, Lampung. p. 96 - 106.
Textbook
Ong CK and Huxley P, 1996. Tree-crop interactions – A physiological approach. CAB
International, Wallingford, UK. 386 p.
Vandermeer JH, 1989. The ecology of intercropping. Cambridge Univ. Press. Cambridge,
UK.
Huxley PH, 1999. Tropical Agroforestry.Blackwel Science Ltd, UK. ISBN 0-632-04047-5.
371p.
Hairiah K, Widianto, Utami SR, Suprayogo D, Sunaryo, Sitompul SM, Lusiana B, Mulia R,
van Noordwijk M dan Cadisch G, 2000. Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi:
Refleksi Pengalaman dari Lampung Utara. ICRAF SE Asia, Bogor, 182 p.
Booklet
Hairiah K, Utami SR, Suprayogo D, Widianto, Sitompul SM, Sunaryo, Lusiana B, Mulia R,
van Noordwijk M dan Cadisch G, 2000. Agroforestri pada tanah masam di daerah
tropika basah: Pengelolaan interaksi antara pohon-tanah-tanaman semusim. ISBN 979-
95537-5-X. 41 p.
Materi Training
Anonymous, 1998. Pedoman Agroforestry dalam Perhutanan Sosial. Perum Perhutani.
(dalam: Handbook of Indonesian Forestry). Dept. Kehutanan RI. Koperasi Karyawan
Departemen Kehutanan RI.
Hairiah K dan Sunaryo, 1999. Interaksi Pepohonan-Tanah –tanaman Semusim. Lecture
note Wanatani, Pusdiklat Kehutanan.
Torquebiau E, 1994. Ecological interactions in agroforestry. ICRAF-DSO course, Nairobi,
Kenya.
– 40 –
Van Noordwijk M dan Lusiana B, 2000. WaNuLCAS version 2.0. Background on a model
of water nutrient and light capture systems. International Centre for Reserach in
Agroforestry (ICRAF), Bogor, Indonesia.
Van Noordwijk M and Lusiana B, 1999. WANULCAS 1.2. Backgrounds of a model of
water, nutrient and light capture in agroforestry systems. ICRAF SE. Asia, Bogor.
Van Noordwijk M and Hairiah K, 1999. Tree-soil-crop interactions. Agroforestry lecture
notes. ICRAF SE. Asia, Bogor.
Web site
http://www.icraf.cgiar.org/sea/AgroModels/Agromodels.htm.
– 41 –
Lampiran 1. Daftar Tanaman Untuk Zone Agroekosistem di Jawa dengan tipe iklim C, ketinggian 0 – 700
m di atas permukaan laut. (Sumber: Perum Perhutani, 1998. Pedoman Agroforestry dalam
Perhutanan Sosial).
Stratum Atas
Tanah Kapur Tanah Vulkanis Tanah Lain/Campur
Acacia auriculiformis
Albizia falcataria
Albizia lebbek
Anacardium occidentale
Artocarpus communis
Artocarpus heterophyllus
Cassia siamea
Ceiba petandra
Dalbergia latifolia
Gmelina arborea
Mangifera indica
Melaleuca spp
Parkia speciosa
Peronema canescens
Pithecellobium lobatum
Sterculia foetida
Swietenia macrophylla
Swietenia mahagoni
Acacia auriculiformis
Albizia falcataria
Anacardium occidentale
Anthocephalus chinensis
Artocarpus communis
Artocarpus heterophyllus
Cassia siamea
Ceiba petandra
Durio zibethinus
Osmelina arborea
Mangifera indica
Parkia roxbughii
Parkia speciosa
Peronema canescens
Pinus merkuiii
Pithecellobium lobatum
Samanea saman
Schleichera oleosa
Spondias dulcis
Melaleuca spp
Parkia sp
Tectona grandis
Toona swam
Acacia auriculiformis
Acacia mangium
Albizia falcataria
Anthocephalus occidentale
Anthocephalus chinensis
Artocarpus communis
Artocarpus heterophylus
Cassia siamea
Ceiba petandra
Dalbergia latifolia
Durio zibethinus
Eucalyptus camaldulensis
Osmelina arborea
Mangifera indica
Peronema canescens
Pithecellobium lobatum
Pinus merkusii
Samanea saman
Schleichera oleosa
Spondias dulcis
Sterculia foetida
Swietenia macrophylla
Swietenia mahagoni
Tectona grandis
Toona sureni
Stratum Tengah
Tanah Kapur Tanah Vulkanis Tanah Lain/Campuran
Acacia arabica
Acacia leucophloea
Annona muricata
Annona squamosa
Averrhoa bilimbi
Caesalpinia bonducella
Cajanus cajan
Calliandra calothyrsus
Cananga odorata
Carica papaya
Casuarina equisetifolia
Gliricidia sepium
Gnetum gnemon
Leucaena diversifolia
Leucaena leucocephala
Manilkara kauki
Pandanus spp
Pithocellobium dulce
Psidium guajava
Santalum album
Sesbania grandiflora
Syzyqium cumini
Zalacca edulis
Acacia arabica
Annona muricata
Annona squamosa
Averrhoa bilimbi
Bixa orellana
Caesalpinia bonducella
Cajanus cajan
Calliandra calothyrsus
Cananga odorata
Carica papaya
Coffea robusta
Flemengia macrophylla
Gliricidia sepium
Gnetum gnemon
Lansium domesticum
Leucaena diversifolia
Manilkara kauki
Morinda citrifolia
Moringa oleifera
Musa spp
Nephelium lappaceum
Pandanus spp
Passiflora edulis
Persea americana
Pithecellobium dulce
Pogostemon cablin
Santalum album
Sesbania grandiflora
Syzyqium cumini
Zalacca edulis
Acacia arabica
Acacia leucophloea
Annona muricata
Annona squamosa
Averrhoa bilimbi
Bixa orellana
Caesalpinia bonducella
Cajanus cajan
Calliandra calothyrsus
Cananga odorata
Carica papaya
Gliricidia sepium
Gnetum gnemon
Coffea robusta
Lansium domesticum
Leucaena diversifolia
Leucaena leupocephala
Manilkara kauki
Morinda citrifolia
Moringa oliefera
Musa spp
Nephelium lappaceum
Pithecellobium dulce
Pogostemon cablin
Psidium guajava
Santalum album
Sesbania grandiflora
Syzyqium cumini
Zalacca edulis
– 42 –
Stratum Bawah
Tanah Kapur Tanah Vulkanis Tanah Lain/Campuram
Allium spp
Amomum cardamomum
Amorphophallus campanulatus
Amorphophallus variabilis
Ananas comosus
Arachis hypogaea
Boesenbergia pandurata
Capsicum annuum
Catimbium malaccensis
Colocasia esculenta
Curcuma aeruginosa
Curcuma domestica
Curcuma heyneana
Curcuma purpurascens
Curcuma xanthorriza
Curcuma zeodaria
Dioscorea alata
Dioscorea esculenta
Dioscorea hispida
Dolichos lablab
Glycine max
Helianthus annuus
Ipomoea batatas
Languas galanga
Manihot esculenta
Oryza sativa
Pachyrhizus erosus
Panicum maximum
Piper nigrum
Sesamum indicum
Setaria spp.
Vanilla fragrans
Xanthosoma spp
Zea mays
Zingiber officinale
Allium spp
Amomum cardamomum
Ananas comosus
Arachis hypogaea
Boesenbergia pandurata
Brassica oleracea
Canna edulis
Catimbium malaccensis
Colocasia esculenta
Curcuma aeruginosa
Curcuma domestica
Curcuma heyneana
Curcuma purpurascens
Curcuma xanthorriza
Curcumazeodaria
Daucus carota
Dioscorea alata
Dioscorea esculenta
Dioscorea hispida
Dolichos lablab
Glycine max
Hedycum coronarium
Helianthus annuus
Ipomoea batatas
Kaempferia galanga
Languas galanga
Manihot esculenta
Oryza sativa
Pachyrhizus erosus
Panicum maximum
Hascolus vulgaris
Piper nigrum
Sesamum indicum
Setaria spp
Solanum tuberosa
Vigna radiata
Vanilla fragrans
Xanthosoma spp
Zea mays
Zingiber officinale
Allium spp
Amomum cardamomum
Amorphophallus campanulatas
Amorphophallus variabilis
Ananas comosus
Arachis hypogaea
Boesenbergia pandurata
Capsicum annuum
Catimbium malaccensis
Colocasia esculenta
Curcuma aeruginosa
Curcuma domestica
Curcuma heyneana
Curcuma purpurascens
Curcuma xanthorriza
Curcumazeodaria
Dioscorea alata
Dioscorea esculenta
Dioscorea hispida
Dolichos lablab
Glycine max
Helianthus annuus
lpomoea batatas
Kaempferia galanga
Languas galanga
Manihot esculenta
Oryza sativa
Pachyrhizus erosus
Panicum maximum
Piper nigrum
Sesamum indicum
Setaria spp
Vigna radiata
Vanilla fragrans
Xanthosoma spp
Zea mays
Zingiber officinale

Tidak ada komentar:

Posting Komentar