Jumat, 30 September 2011

AUTEKOLOGI PURNAJIWA (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn. (FABACEAE) DI SEBAGIAN KAWASAN HUTAN BUKIT TAPAK CAGAR ALAM BATUKAHU BALI THE AUTECOLOGY OF PURNAJIWA (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn. (FABACEAE) IN SOME AREAS OF TAPAK HILL BATUKAHU NATURE RESERVE BALI SUTOMO, LAILY MUKAROMAH


AUTEKOLOGI PURNAJIWA (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn. (FABACEAE) DI SEBAGIAN
KAWASAN HUTAN BUKIT TAPAK CAGAR ALAM BATUKAHU BALI
THE AUTECOLOGY OF PURNAJIWA (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn. (FABACEAE)
IN SOME AREAS OF TAPAK HILL BATUKAHU NATURE RESERVE BALI
SUTOMO, LAILY MUKAROMAH
UPT-BKT Kebun Raya “Eka Karya” Bali
Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191
Email: tommoforester@yahoo.com
INTISARI
Purnajiwa adalah salah satu tumbuhan obat yang hidup di hutan dataran tinggi Bali. Tumbuhan ini dipercaya
oleh masyarakat Bali memiliki khasiat sebagai aprodisiak. Kini keberadaannya di alam semakin terancam karena
over-eksploitasi dan kerusakan habitatnya di alam. Cagar Alam Batukahu adalah salah satu habitat Purnajiwa
yang masih tersisa. Studi pendahuluan ini bertujuan untuk mendeskripsikan ekologi Purnajiwa di habitat alaminya.
Purnajiwa ditemukan pada tempat yang ternaungi diantaranya adalah di bawah pohon Laportea sp., Ficus sp.,
Syzygium zollingerianum, dan Sauraria sp. dengan intensitas penyinaran antara 55-65%. Tumbuh pada kemiringan
tanah antara 20-55 % serta ketebalan seresah 3-7 cm dengan pH tanah berkisar antara 6,7-6,8. Sebanyak 16 jenis
tumbuhan bawah hidup bersama purnajiwa diantaranya yang cukup dominan adalah  Diplazium proliferum (INP =
54,6) dan Oplismenus compositus L. (INP = 40). Hasil dari studi ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
bermanfaat bagi kepentingan aklimatisasi konservasi ex-situ dan penelitian budidaya Purnajiwa demi mencegah
jenis ini dari kepunahan.
Kata kunci: Autekologi, Bukit Tapak, Cagar Alam Batukahu, Purnajiwa
ABSTRACT
Purnajiwa, which lives in highland jungles in Bali, is a famous medicinal plant in Bali and its presence in the
wild is now under threat due to over exploitation and the destruction of its habitat. Batukahu nature reserves are
one of its remaining habitats. This preliminary study aimed to describe purnajiwa’s habitat in Batukahu nature
reserves. Purnajiwa was found in shaded areas with light intensity range from 55-65%. It grows  under the shading
of Laportea sp., Ficus sp., Syzygium zollingerianum, and Sauraria sp.
Purnajiwa grows on soil with 6,7-6,8 range of pH with litter thickness of 3-7 cm. Purnajiwa also associated
with the surrounding understorey vegetation such as Diplazium proliferum (IVI = 54,6) and Oplismenus compositus L.
(IVI = 40). Result from this study gave usefull information for the purpose of its acclimatization and propagation
in ex-situ conservation for its sustainable resources.
Keywords: Autekologi, Purnajiwa, Tapak Hill, Batukahu Nature Reserve
Naskah ini diterima tanggal 8 Mei disetujui tanggal 21 Juni 2010
JURNAL BIOLOGI XIV (1) : 24 - 28 ISSN : 1410 5292
PENDAHULUAN
Hutan pegunungan menjadi salah satu tempat
“sanctuary” terakhir dari keanekaragaman hayati yang
tersisa di Pulau Bali seperti halnya di Pulau Jawa
(Whitten et al., 1996).  Purnajiwa (Euchresta horsfieldii
(Lesch.) Benn) adalah salah satu jenis tumbuhan obat
yang hidup di daerah pegunungan dan cukup dikenal
oleh masyarakat Bali. Tumbuhan ini  juga termasuk
dalam kategori dua ratus tumbuhan langka Indonesia
(Mogea et al., 2001).
Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn. di Bali dikenal
dengan nama purnajiwa, di Jawa dikenal sebagai
pronojiwo, sedangkan nama umum di Indonesia
adalah pranajiwa. Purnajiwa adalah tumbuhan yang
cukup populer di Bali. Para balian usada (dukun
pengobat tradisional Bali) percaya buah purnajiwa
dapat digunakan sebagai obat kuat penambah gairah
(aprodisiak) sehingga banyak dijadikan target eksplorasi
masyarakat sekitar hutan secara sporadis.  Purnajiwa
juga bertindak sebagai antidote, expectorant dan tonic yang
dapat menetralisir racun ular dan obat TBC. Akar dan
batang purnajiwa mengandung flavonoid, isoflavones,
pterocarpans, caumaronochromones dan flavonones
sedangkan bijinya mengandung alkaloid berupa cytosine
(1,5%), matrine dan matrine-n-oxide (Lemmens dan
Bunyapraphatsara, 2003).
Secara sistematis purnajiwa dapat diklasifikasikan 25
sebagai berikut (Lemmens dan Bunyapraphatsara,
2003):
Divisi  : Spermatophyta
Subdivisi  : Angiospermae
Kelas  : Dicotyledonae
Bangsa  : Resales
Suku  : Fabaceae
Marga  : Euchresta
Jenis  :  Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.
Morfologi purnajiwa dapat dideskripsikan sebagai
berikut : Perdu atau semak, tegak, tinggi mencapai 2
m. Batang percabangan agak jarang. Daun majemuk,
tersusun spiral, berjumlah 3-5 helai, bentuk melonjong
atau membulat telur, agak berdaging. Perbungaan
bentuk tandan, tegak, berbulu halus, panjang 4-12 cm.
Bunga kecil, berwarna putih kekuningan, berbentuk
seperti kupu-kupu (Gambar 1). Buah kecil, mengkilap,
berbentuk lonjong, panjang 1-2 cm, ketika belum
masak berwarna hijau dan saat masak berwarna hitam
kebiruan, tiap buah berisi mengandung satu biji. Biji
berbentuk lonjong (Lemmens dan Bunyapraphatsara,
2003). Biasanya buah mulai masak sekitar Bulan
Agustus-September (Siregar dan Peneng, 2004).
 Umumnya purnajiwa tumbuh mengelompok di
hutan sekunder dan lereng gunung dengan ketinggian
antara 1.000-2.000 m dpl. Purnajiwa dapat pula
dijumpai di kawasan lainnya di Asia, seperti di India,
Filipina, dan di Indonesia tersebar di Sumatera, Jawa
dan Bali (Lemmens dan Bunyapraphatsara, 2003).
Purnajiwa dapat diperbanyak dengan biji namun cara
ini memiliki kendala yaitu Meskipun berbunga banyak
akan tetapi biji yang dihasilkan hanya sedikit. Biji-biji
tersebut juga termasuk sulit dikecambahkan (Siregar dan
Peneng, 2004). Perbanyakan dengan stek pun seringkali
mengalami kegagalan karena stek batang dari tanaman
yang termasuk famili Fabaceae seperti purnajiwa ini
merupakan tanaman yang sulit membentuk perakaran
(Siregar dan Peneng, 2004). Pengambilan jenis ini di
alam yang berlebihan tanpa diimbangi upaya konservasi
dan budidaya yang memadai mulai mengancam
keberadaan populasinya di alam.
Melestarikan suatu jenis  tumbuhan yang terancam
punah adalah salah satu tujuan dari konservasi. Untuk
melindungi spesies yang rentan terhadap kepunahan,
diperlukan pemahaman mengenai aspek ekologis spesies
tersebut. Akan tetapi informasi mengenai ekologi untuk
spesies yang terancam punah masih sangat sedikit
(Hobbs dan Atkins, 1990; Lesica, 1992; Zobel, 1992).
Upaya konservasi tumbuhan seharusnya dimulai dengan
penelitian lapangan mengenai autekologi jenis tersebut
sebelum beranjak pada kegiatan budidaya.
Dengan mengingat tiap spesies memiliki apa yg
disebut ‘ecologic individuality’ atau kebutuhan relung hidup
yang spesifik dapat diduga bahwa tiap detil perubahan
dalam komposisi spesies atau vegetasi dari suatu
tempat ke tempat lainnya kemungkinan menunjukkan
adanya beberapa perbedaan faktor-faktor lingkungan.
Dengan demikian autekologi dengan analisis kuantitatif
dapat mengungkap adanya hubungan atau korelasi
antara faktor ligkungan dengan komposisi vegatasi
dan keberadaan suatu spesies tertentu di suatu habitat
(Daubenmire, 1968; Loewen et al., 2001). Penelitian
autekologi  tumbuhan purnajiwa dengan demikian
penting dilakukan untuk mengungkap preferensi jenis
ini di habitat dalam mendukung upaya konservasinya.
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada Bulan November 2006 di
awal musim penghujan di kawasan Hutan Bukit Tapak,
Cagar Alam Batukahu tepatnya di Desa Candikuning,
Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Propinsi
Bali. Secara astronomis terletak pada 8° 10’ - 8° 23’
LS dan 115° 02’ - 115° 15’ BT dengan jarak ± 55 km
sebelah Utara dari Kota Denpasar dan ± 30 km sebelah
Selatan dari Kota Singaraja. Status kawasan Cagar Alam
Batukahu ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pertanian no 716/kpts//um/11/1974 dengan
luas 1.762,80 ha (Anonim, 2005). Cagar alam ini
terbagi menjadi tiga kawasan hutan yaitu : Batukahu
I (Bukit Tapak), Batukahu II (Bukit Pohen) dan
Batukahu III (Bukit Lesong). Topografinya berbukit
dengan ketinggian antara 1.860-2.089 m dpl. Area ini
termasuk dalam kategori iklim A berdasarkan klasifikasi
Schmidt dan Fergusson dengan rata-rata curah hujan
2000 mm/tahun dan suhu udara berkisar antara 11-24
° C. Beberapa jenis pohon yang mendominasi kawasan
ini diantaranya adalah Dacrycarpus imbricatus, Casuarina
junghuhniana, Ficus indica, Engelhardia spicata, Laplacea
sp., Litsea velutina, Homalanthus gigantheus dan Astronia
spectabilis (Anonim, 2005).
Pengambilan Sampel
Metode pengambilan data secara  purposive sampling
dengan menjelajahi kawasan untuk mencari populasi
purnajiwa. Setelah ditemukan populasinya kemudian
Gambar 1. E. Horsfieldii yang sedang berbunga. (Foto oleh penulis).
Autekologi Purnajiwa (Euchresta Horsieldii (Lesch.) Benn. (Fabaceae) di Sebagian Kawasan Hutan Bukit Tapak  [Sutomo, Laily Mukaromah]JURNAL BIOLOGI   VOLUME  XIV  NO.1   JUNI  2010
26
dilakukan pengambilan sampel dengan membuat plot
ukuran 1 x 1 m. Data-data yang diambil berupa jumlah
individu purnajiwa, jumlah yang sedang berbunga dan
berbuah, kondisi vegetasi tumbuhan bawah berupa
anakan pohon, perdu maupun herba serta diamati juga
beberapa faktor lingkungan seperti pH tanah, ketinggian
tempat, kemiringan lahan, ketebalan seresah dan
intensitas penyinaran (Loewen et al., 2001).  Pengukuran
pH tanah dilakukan pada kedalaman 20 cm dengan
menggunakan  pH-meter  portable, ketinggian tempat
dan kemiringan lahan dengan menggunakan altimeter
dan clinometer, ketebalan seresah dengan menggunakan
penggaris serta intensitas cahaya diukur pada pukul
12.00 WITA dengan alat digital lightmeter.
Analisa Data
Data lingkungan yang di dapatkan pada tiap plot
pada habitat purnajiwa dianalisis dengan  Principal
Component Analysis (PCA) dengan program PRIMER
(Clarke, 1993; Clarke dan Ainsworth, 1993; Clarke
dan Gorley, 2005) untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh faktor-faktor ini terhadap keberadaan populasi
purnajiwa. Sedangkan untuk mengetahui nilai penting
tiap jenis tumbuhan bawah di sekitar purnajiwa
dilakukan analisis vegetasi untuk menghitung INP
(Supriyadi dan Marsono, 2001):
INP = KR + FR
Keterangan:
KR = Kerapatan Relatif suatu jenis
FR = Frekuensi Relatif suatu jenis
Dimana:
Kerapatan = ∑ individu suatu jenis i / luas plot
Kerapatan relatif = Kerapatan suatu jenis i / Kerapatan total
seluruh jenis x 100%
Frekuensi = ∑ plot yang ditempati suatu jenis i / ∑ plot
Frekuensi relatif = Frekuensi suatu jenis i / Frekuensi total
seluruh jenis x 100%
HASIL
Dari hasil penelitian diperoleh 6 kelompok populasi
purnajiwa dengan jumlah individu sebanyak 46 (Tabel
1) sedangkan data lingkungan tentang habitatnya dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Data kelompok sampel pengamatan purnajiwa
Populasi Jumlah
individu
Jumlah yang
berbunga
Tinggi
rata-rata (cm)
Lingkar batang
rata-rata (cm)
1 10 1 71 3
2 2 1 46 2,5
3 10 2 39,5 2,5
4 8  2  71  3
5 11 1 59,5 2,5
6 5 1 71,5 2,5
Hasil analisis  Principal Component Analysis (PCA)
serta nilai  eigenvectornya dapat dilihat pada Gambar 2
dan Tabel 3 dibawah ini.
Didapatkan sebanyak 16 jenis tumbuhan bawah yang
hidup bersama E. horsfieldii. Nilai kepentingan dari tiap
jenis tumbuhan tetangga purnajiwa ini disajikan dalam
bentuk Indeks Nilai Penting INP (Tabel 4).
PEMBAHASAN
Populasi purnajiwa di lokasi sampel bervariasi.
Walaupun jumlah individu yang ditemukan relatif
cukup banyak namun sebagian besar belum banyak yang
mulai  berbunga dan tidak ada yang sedang berbuah.
Selanjutnya, meski terdapat beberapa parameter
lingkungan yang diamati di tiap plot sampel populasi
purnajiwa seperti terlihat pada Tabel 2, namun hanya
beberapa parameter saja yang lebih berpengaruh
terhadap keberadaan purnajiwa. Hasil perhitungan
Principal Component Analysis (Gambar 2) mengkonfirmasi
ini dengan mengidentifikasi dua faktor lingkungan
yang lebih berpengaruh yaitu intensitas penyinaran dan
kelerengan dengan nilai eigenvectors pada PC2 sebesar
Tabel 2.  Kondisi fisik lingkungan di sekitar habitat purnajiwa di Bukit
Tapak Cagar Alam Batukahu
No Plot
Ke nggian
tempat
(mdpl)
Ph
tanah
Ketebalan
seresah
(cm)
Kemiringan
lahan
(%)
Intensitas sinar
matahari
(%)
1 1280 6,8 3 20 55
2 1300 6,7 8 30 35
3 1310 6,7 7 40 40
4 1295 6,7 7 45 50
5 1290 6,7 7 50 55
6 1290 6,7 3 55 65
Gambar 2. Principal Component Analysis data lingkungan di plot purnajiwa
dengan menggunakan program PRIMER. SM = intensitas
penyinaran, Alt = altitude, TS = tebal seresah, KL = kelerengan.
Tabel 3.  Nilai eigenvectors  (koefisien kombinasi linier variabel yang
menyusun sebuah principal component). SM = intensitas penyinaran, Alt = altitude/ketinggian tempat, TS = tebal seresah,
KL = kelerengan
No Variabel PC 1 PC 2
1 Alt 0.523 -0.118
2 SM -0.389 0.573
3 TS 0.505 -0.188
4 PH -0.494 -0.381
5 KL 0.276 0.69127
0.573 dan 0.691.
Purnajiwa ditemukan pada tempat yang ternaungi
diantaranya adalah di bawah pohon Laportea sp., Ficus
sp.,  Syzygium zollingerianum, dan  Sauraria sp. dengan
intensitas penyinaran antara 35-65%. Tumbuh pada
kemiringan lahan antara 20-55 %. Distribusi individu
di dalam suatu populasi tumbuhan jarang ditemukan
dengan pola yang acak di dalam suatu lanskap, seperti
terlihat di pola penyebaran pohon-pohon dan semak
tropis umumnya ditemukan dalam pola mengelompok
(clumped) daripada acak (Call dan Nilsen, 2003; Hubbel,
1979; Roxburgh dan Chesson, 1998). Demikian pula
yang ditemui di lokasi penelitian, dimana individu
purnajiwa ditemukan hidup mengelompok membentuk
suatu populasi di bawah naungan jenis-jenis pohon
seperti telah disebutkan sebelumnya di atas.
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa purnajiwa ditemukan
pada tempat-tempat dengan nilai kelerengan yang besar
atau cukup curam di dalam hutan. Tabel 2 di atas juga
menunjukkan bahwa populasi purnajiwa lebih banyak
terdapat pada lantai hutan dengan intensitas penyinaran
yang moderat yaitu sekitar 50%.
Selain faktor abiotik yaitu faktor lingkungan, faktor
biotik yaitu tumbuhan lain yang hidup bersama suatu
jenis merupakan parameter penting di dalam autekologi
tumbuhan (Le Brocque, 1995; Swamy et al., 2000).
Dengan demikian selain dengan memperhatikan faktor
lingkungannya, karakteristik habitat E. horsfieldii dapat
diketahui dengan memperhatikan tumbuhan yang ada
di sekitarnya (Tabel 3). Tabel tersebut memperlihatkan
bahwa Diplazium proliferum (INP = 54,6) dan Oplismenus
compositus L. (INP = 40) adalah jenis tumbuhan  bawah
yang cukup dominan di lokasi penelitian sedangkan
Begonia  cf. longifolia (INP = 5,58)  merupakan jenis
dengan nilai penting yang terendah. Selain di Bukit
Tapak, jenis O. compositus juga merupakan tumbuhan
bawah yang mendominasi komunitas tumbuhan bawah
di jalur perjalanan hutan tropis di Kebun Raya Bali
(Sutomo dan Undaharta 2005).
Melestarikan organisme di habitat alaminya adalah
best practice jika memungkinkan akan tetapi situasi terus
berubah dengan semakin nyatanya perubahan iklim serta
meningkatnya aktivitas manusia di kawasan hutan untuk
mencari berbagai hasil hutan seperti untuk kayu bakar,
humus, tumbuhan anggrek, paku dan juga termasuk
purnajiwa untuk tujuan komersil sehingga mengancam
keberadaan jenis ini di alam.  Dalam kasus seperti
ini, konservasi secara ex situ harus mulai diterapkan,
sehingga jumlah maksimal variasi genetik pada jenis
yang masih ada bisa diselamatkan dan memberikan
kesempatan untuk bertahan hidup (Anonim, 1989).
Salah satu upayanya dengan mengambil material
tumbuhan purnajiwa baik berupa biji, anakan purnajiwa
dengan teknik putaran maupun stek batangnya untuk
kemudian di lakukan aklimatisasi serta penelitian
perbanyakannya di kebun raya yang akan bermuara
pada kegiatan reintroduksi purnajiwa di habitat
alaminya. Kegiatan aklimatisasi purnajiwa di kebun
raya akan dapat memanfaatkan data autekologi ini
dengan membuat iklim mikro dan artificial environment
yang sedapat mungkin menyerupai kondisi di habitat
alaminya.
SIMPULAN
Purnajiwa ditemukan pada tempat yang ternaungi
diantaranya adalah di bawah pohon Laportea sp., Ficus
sp.,  Syzygium zollingerianum, dan  Sauraria sp. dengan
intensitas penyinaran antara 55-65%. Tumbuh pada
kemiringan tanah antara 20-55 % serta ketebalan
seresah 3-7 cm dengan pH tanah berkisar antara 6,7-
6,8. Sebanyak 16 jenis tumbuhan bawah hidup bersama
purnajiwa diantaranya yang cukup dominan adalah
Diplazium proliferum (INP = 54,6) dan  Oplismenus
compositus L. (INP = 40). Populasi purnajiwa di sebagian
kawasan hutan Bukit Tapak secara umum masih cukup
baik, namun intensitas masyarakat memasuki kawasan
hutan ini harus menjadi perhatian apabila menghendaki
kelestarian biodiversitas tumbuhan pegunungan,
termasuk jenis purnajiwa ini.  Kegiatan konservasi exsitu disarankan menjadi salah satu alternatif solusi untuk
menyelamatkan populasi purnajiwa.
KEPUSTAKAAN
Anonim. 1989. The Botanic Garden Conservation Strategy (Indonesian edition). BGCI, United Kingdom.
Anonim. 2005. Kawasan Konservasi Provinsi Bali. Unit KSDA
Bali, Bali.
Call L.J., E.T. Nilsen. 2003. Analysis of Spatial Patterns and
Tabel 4.  Indeks Nilai Penting (INP) Tumbuhan bawah yang tumbuh
di sekitar E.horsfieldii di Bukit Tapak CA Batukahu. K= Kerapatan, KR= Kerapatan Relatif, F= Frekuensi, FR= Frekuensi
Relatif, D= Dominansi, DR= Dominansi Relatif.
No Jenis K KR F FR D DR INP
1 Diplazium proliferum
120 26.4 1 16 36.7 12.21 54.6
2 Oplismenus compositus
87 19.2 0.6 9.6 33.8 11.2 40
3 Rubiaceae 26 5.7 0.83 13.3 9.6 3.2 22.2
4 Syzygium sp 30 6.6 0.6 9.6 14.5 4.8 21
5 Glochidion sp 19 4.2 0.6 9.6 17.5 5.8 19.6
6 Syzygium zollingerianum
19 4.2 0.6 9.6 13.3 4.4 18.2
7 Syclosorus sp 25 5.5 0.16 2.6 30 10 18.1
8 Saurauia 10 2.2 0.16 2.6 40 13.3 18.1
9 Pinanga kuhlii 11 2.4 0.3 4.8 30 10 17.2
10 Laportea micros gma
50 11.0 0.3 4.8 0.2 0.1 15.9
11 Strobilanthes
crispus
20 4.4 0.16 2.6 25 8.3 15.3
12 Hypobathrum sp 10 2.2 0.16 2.6 20 6.7 11.5
13 Begonia sp 10 2.2 0.3 4.8 5 1.7 8.7
14 Bischofia sp 10 2.2 0.16 2.6 10 3.3 8.1
15 Asplenium nidus 1 0.2 0.16 2.6 10 3.3 6.1
16 Begonia cf. longifolia
6 1.3 0.16 2.6 5 1.7 5.6
Autekologi Purnajiwa (Euchresta Horsieldii (Lesch.) Benn. (Fabaceae) di Sebagian Kawasan Hutan Bukit Tapak  [Sutomo, Laily Mukaromah]JURNAL BIOLOGI   VOLUME  XIV  NO.1   JUNI  2010
28
Spatial Association between the Invasive Tree-of-Heaven
(Ailanthus altissima) and the Native Black Locust (Robinia
pseudoacacia). American Midland Naturalist 150: 1-4.
Clarke K.R. 1993. Non-parametric Multivariate Analyses of
Changes in Community Structure. Aust. J. Ecol. 18: 117-
143.
Clarke R.K., M. Ainsworth. 1993. A Method of Linking Multivariate Community Structure to Environmental Variables.
Marine Ecology Progress Series 92: 205-219.
Clarke R.K., R.N. Gorley. 2005. PRIMER: Plymouth Routines
In Multivariate Ecological Research. PRIMER-E Ltd.,
Plymouth.
Daubenmire, R. 1968.  Plant Communities. Harper & Row
Publisher, New York.
Hobbs, R.J., L. Atkins L. 1990.  Fire-Related Dynamics of a
Banksia Woodland in South-Western Western Australia.
Aust. J. Botany 38: 97-110.
Hubbel S.P. 1979. Tree Dispersion, Abundance, and Diversity in
a Tropical Dry Forest. Science Journal 23: 1299-1309.
Le Brocque, A.F. 1995. Ecology of Plant Communities in Kuring-gai Chase National Park, New South Wales: An
Examination of Vegetation and Environmental Patterns.
In: Dept of Applied Biology, University of Technology
Sydney. p. 242
Lemmens, R.H.M.J., N. Bunyapraphatsara. 2003. Plant Resources of South-East Asia No. 12 (3). Medicinal and Poisonous
Plants 3. PROSEA Foundation, Bogor.
Lesica, P. 1992. Autecology of the Endangered Plant Howellia
aquatilis; Implications for Management and Reserve Design. J. Ecol. Application 2: 411-421.
Loewen, D.C., G.A. Allen, J.E. Antos.  2001. Autecology of
Erythronium grandiflorum in Western Canada. Can. J. Bot.
79: 500.
Mogea, J.P., D. Gandawidjaya, H. Wiriadinata, R.E. Nasution, Irawati.  2001.  Tumbuhan Langka Indonesia. Pusat
Penelitian Botani-LIPI, Bogor.
Roxburgh, S.H., P. Chesson. 1998. A New Method for Detecting
Species Associations With Spatially Autocorrelated Data.
Ecology 79: 2180–2192.
Siregar H., I.N. Peneng. 2004. Konservasi Pranajiwa Euchresta
horsfieldii (Lesch.) Benn. Fabaceae dan Upaya Perbanyakannya di Kebun Raya Bali. In: Seminar Nasional
Tumbuhan Obat Indonesia ke XXV. Pokjanas TOI dan
Depkes RI, Solo.
Supriyadi, D. Marsono. 2001. Petunjuk Praktikum Ekologi Hutan.
Laboratorium Ekologi Hutan Jurusan Konservasi Sumber
Daya Hutan Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.
Sutomo, N.K.E. Undaharta. 2005. Komunitas Tumbuhan Bawah
Jalur Tropis Kebun Raya Bali. UPT BKT Kebun Raya Eka
Karya Bali, Bali.
Swamy, P.S., S.M. Sundarapandian., P. Chandrasekar, S. Chandrasekaran. 2000 Plant Species Diversity and Tree Population Structure of a Humid Tropical Forest in Tamil Nadu,
India. Biodiversity and Conservation 9: 1643-1669.
Whitten T., R.A. Soeriaatmadja, S.A. Afiff. 1996. The Ecology
of Indonesia Series volume II: The Ecology of Java and
Bali. Periplus, Hongkong.
Zobel, M. 1992. Plant Species Coexistence – The Role of Historical, Evolutionary and Ecological Factors. Oikos 65:
314-320.

1 komentar:

  1. review:

    Secara umum Ekologi sebagai salah satu cabang ilmu biologi yang mempelajari interaksi atau hubungan pengaruh mempengaruhi dan saling ketergantungan antara organisme dengan lingkungannya baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan makhluk hidup itu. Fungsi ekosistem menunjukkan hubungan sebab akibat yang terjadi secara keseluruhan antar komponen dalam sistem. Ini jelas membuktikan bahwa ekologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari seluruh pola hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang satu dengan makhluk hidup lainnya, serta dengan semua komponen yang ada di sekitarnya.

    Di dalam ekologi tumbuhan ada dua bidang kajian, yaitu Autekologi dan Sinekologi.
    a. Autekologi, yaitu ekologi yang mempelajari suatu spesies organisme atau organisme secara individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Contoh autekologi misalnya mempelajari sejarah hidup suatu spesies organisme, perilaku, dan adaptasinya terhadap lingkungan. Jadi, jika kita mempelajari hubungan antara pohon Pinus merkusii dengan lingkungannya, maka itu termasuk autekologi. Contoh lain adalah mempelajari kemampuan adaptasi pohon merbau (Intsia palembanica) di padang alang-alang, dan lain sebagainya.
    b. Sinekologi, yaitu ekologi yang mempelajari kelompok organisme yang tergabung dalam satu kesatuan dan saling berinteraksi dalam daerah tertentu. Misalnya mempelajari struktur dan komposisi spesies tumbuhan di hutan rawa, hutan gambut, atau di hutan payau, mempelajari pola distribusi binatang liar di hutan alam, hutan wisata, suaka margasatwa, atau di taman nasional, dan lain sebagainya.


    berangkat dari penegrtian yang saya dapatkan dari situs http://edubiology.blogspot.com/2011/05/ekologi-tumbuhan-berbasis-pendekatan.html, yang disususn oleh Nur Rohman Hadi. Pendidikan Biologi. PPs UM Malang, saya menyimpulkan bahwa hasil penelitian yang saya dapatkan, dan telah saya posting di blog merupakan penelitian dalam kajian sinekologi. walaupun dalam artikel tersebut disebutkan bahwa penelitia tersebut merupakan penelitian autekologi, namun pada kenyataanya setelah dikaji, penelitian tersebut meneliti sekelompok tumbuhan pinus. sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel diatas yang menyebutkan bahwa senekologi mempelajari kelompok organisme yang tergabung dalam satu kesatuan dan saling berinteraksi dalam daerah tertentu, maka saya simpulkan bahwa penelitian ini termasuk sinekologi. selain itu dalam artikel tersebut juga terdapat hasil pembahasan yang mengatakan bahwa,"Populasi purnajiwa di lokasi sampel bervariasi.
    Walaupun jumlah individu yang ditemukan relatif
    cukup banyak namun sebagian besar belum banyak yang
    mulai berbunga dan tidak ada yang sedang berbuah.
    Selanjutnya, meski terdapat beberapa parameter
    lingkungan yang diamati di tiap plot sampel populasi
    purnajiwa seperti terlihat pada Tabel 2, namun hanya
    beberapa parameter saja yang lebih berpengaruh
    terhadap keberadaan purnajiwa. Hasil perhitungan
    Principal Component Analysis (Gambar 2) mengkonfirmasi
    ini dengan mengidentifikasi dua faktor lingkungan
    yang lebih berpengaruh yaitu intensitas penyinaran dan kelerengan"
    hal ini mebuktikan adanya interaksi alam dengan
    PURNAJIWA (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn. (FABACEAE).

    kelerengan dengan nilai eigenvectors pada PC2 sebesar

    BalasHapus