Jumat, 30 September 2011

AUTEKOLOGI PURNAJIWA (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn. (FABACEAE) DI SEBAGIAN KAWASAN HUTAN BUKIT TAPAK CAGAR ALAM BATUKAHU BALI THE AUTECOLOGY OF PURNAJIWA (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn. (FABACEAE) IN SOME AREAS OF TAPAK HILL BATUKAHU NATURE RESERVE BALI SUTOMO, LAILY MUKAROMAH


AUTEKOLOGI PURNAJIWA (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn. (FABACEAE) DI SEBAGIAN
KAWASAN HUTAN BUKIT TAPAK CAGAR ALAM BATUKAHU BALI
THE AUTECOLOGY OF PURNAJIWA (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn. (FABACEAE)
IN SOME AREAS OF TAPAK HILL BATUKAHU NATURE RESERVE BALI
SUTOMO, LAILY MUKAROMAH
UPT-BKT Kebun Raya “Eka Karya” Bali
Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191
Email: tommoforester@yahoo.com
INTISARI
Purnajiwa adalah salah satu tumbuhan obat yang hidup di hutan dataran tinggi Bali. Tumbuhan ini dipercaya
oleh masyarakat Bali memiliki khasiat sebagai aprodisiak. Kini keberadaannya di alam semakin terancam karena
over-eksploitasi dan kerusakan habitatnya di alam. Cagar Alam Batukahu adalah salah satu habitat Purnajiwa
yang masih tersisa. Studi pendahuluan ini bertujuan untuk mendeskripsikan ekologi Purnajiwa di habitat alaminya.
Purnajiwa ditemukan pada tempat yang ternaungi diantaranya adalah di bawah pohon Laportea sp., Ficus sp.,
Syzygium zollingerianum, dan Sauraria sp. dengan intensitas penyinaran antara 55-65%. Tumbuh pada kemiringan
tanah antara 20-55 % serta ketebalan seresah 3-7 cm dengan pH tanah berkisar antara 6,7-6,8. Sebanyak 16 jenis
tumbuhan bawah hidup bersama purnajiwa diantaranya yang cukup dominan adalah  Diplazium proliferum (INP =
54,6) dan Oplismenus compositus L. (INP = 40). Hasil dari studi ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
bermanfaat bagi kepentingan aklimatisasi konservasi ex-situ dan penelitian budidaya Purnajiwa demi mencegah
jenis ini dari kepunahan.
Kata kunci: Autekologi, Bukit Tapak, Cagar Alam Batukahu, Purnajiwa
ABSTRACT
Purnajiwa, which lives in highland jungles in Bali, is a famous medicinal plant in Bali and its presence in the
wild is now under threat due to over exploitation and the destruction of its habitat. Batukahu nature reserves are
one of its remaining habitats. This preliminary study aimed to describe purnajiwa’s habitat in Batukahu nature
reserves. Purnajiwa was found in shaded areas with light intensity range from 55-65%. It grows  under the shading
of Laportea sp., Ficus sp., Syzygium zollingerianum, and Sauraria sp.
Purnajiwa grows on soil with 6,7-6,8 range of pH with litter thickness of 3-7 cm. Purnajiwa also associated
with the surrounding understorey vegetation such as Diplazium proliferum (IVI = 54,6) and Oplismenus compositus L.
(IVI = 40). Result from this study gave usefull information for the purpose of its acclimatization and propagation
in ex-situ conservation for its sustainable resources.
Keywords: Autekologi, Purnajiwa, Tapak Hill, Batukahu Nature Reserve
Naskah ini diterima tanggal 8 Mei disetujui tanggal 21 Juni 2010
JURNAL BIOLOGI XIV (1) : 24 - 28 ISSN : 1410 5292
PENDAHULUAN
Hutan pegunungan menjadi salah satu tempat
“sanctuary” terakhir dari keanekaragaman hayati yang
tersisa di Pulau Bali seperti halnya di Pulau Jawa
(Whitten et al., 1996).  Purnajiwa (Euchresta horsfieldii
(Lesch.) Benn) adalah salah satu jenis tumbuhan obat
yang hidup di daerah pegunungan dan cukup dikenal
oleh masyarakat Bali. Tumbuhan ini  juga termasuk
dalam kategori dua ratus tumbuhan langka Indonesia
(Mogea et al., 2001).
Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn. di Bali dikenal
dengan nama purnajiwa, di Jawa dikenal sebagai
pronojiwo, sedangkan nama umum di Indonesia
adalah pranajiwa. Purnajiwa adalah tumbuhan yang
cukup populer di Bali. Para balian usada (dukun
pengobat tradisional Bali) percaya buah purnajiwa
dapat digunakan sebagai obat kuat penambah gairah
(aprodisiak) sehingga banyak dijadikan target eksplorasi
masyarakat sekitar hutan secara sporadis.  Purnajiwa
juga bertindak sebagai antidote, expectorant dan tonic yang
dapat menetralisir racun ular dan obat TBC. Akar dan
batang purnajiwa mengandung flavonoid, isoflavones,
pterocarpans, caumaronochromones dan flavonones
sedangkan bijinya mengandung alkaloid berupa cytosine
(1,5%), matrine dan matrine-n-oxide (Lemmens dan
Bunyapraphatsara, 2003).
Secara sistematis purnajiwa dapat diklasifikasikan 25
sebagai berikut (Lemmens dan Bunyapraphatsara,
2003):
Divisi  : Spermatophyta
Subdivisi  : Angiospermae
Kelas  : Dicotyledonae
Bangsa  : Resales
Suku  : Fabaceae
Marga  : Euchresta
Jenis  :  Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.
Morfologi purnajiwa dapat dideskripsikan sebagai
berikut : Perdu atau semak, tegak, tinggi mencapai 2
m. Batang percabangan agak jarang. Daun majemuk,
tersusun spiral, berjumlah 3-5 helai, bentuk melonjong
atau membulat telur, agak berdaging. Perbungaan
bentuk tandan, tegak, berbulu halus, panjang 4-12 cm.
Bunga kecil, berwarna putih kekuningan, berbentuk
seperti kupu-kupu (Gambar 1). Buah kecil, mengkilap,
berbentuk lonjong, panjang 1-2 cm, ketika belum
masak berwarna hijau dan saat masak berwarna hitam
kebiruan, tiap buah berisi mengandung satu biji. Biji
berbentuk lonjong (Lemmens dan Bunyapraphatsara,
2003). Biasanya buah mulai masak sekitar Bulan
Agustus-September (Siregar dan Peneng, 2004).
 Umumnya purnajiwa tumbuh mengelompok di
hutan sekunder dan lereng gunung dengan ketinggian
antara 1.000-2.000 m dpl. Purnajiwa dapat pula
dijumpai di kawasan lainnya di Asia, seperti di India,
Filipina, dan di Indonesia tersebar di Sumatera, Jawa
dan Bali (Lemmens dan Bunyapraphatsara, 2003).
Purnajiwa dapat diperbanyak dengan biji namun cara
ini memiliki kendala yaitu Meskipun berbunga banyak
akan tetapi biji yang dihasilkan hanya sedikit. Biji-biji
tersebut juga termasuk sulit dikecambahkan (Siregar dan
Peneng, 2004). Perbanyakan dengan stek pun seringkali
mengalami kegagalan karena stek batang dari tanaman
yang termasuk famili Fabaceae seperti purnajiwa ini
merupakan tanaman yang sulit membentuk perakaran
(Siregar dan Peneng, 2004). Pengambilan jenis ini di
alam yang berlebihan tanpa diimbangi upaya konservasi
dan budidaya yang memadai mulai mengancam
keberadaan populasinya di alam.
Melestarikan suatu jenis  tumbuhan yang terancam
punah adalah salah satu tujuan dari konservasi. Untuk
melindungi spesies yang rentan terhadap kepunahan,
diperlukan pemahaman mengenai aspek ekologis spesies
tersebut. Akan tetapi informasi mengenai ekologi untuk
spesies yang terancam punah masih sangat sedikit
(Hobbs dan Atkins, 1990; Lesica, 1992; Zobel, 1992).
Upaya konservasi tumbuhan seharusnya dimulai dengan
penelitian lapangan mengenai autekologi jenis tersebut
sebelum beranjak pada kegiatan budidaya.
Dengan mengingat tiap spesies memiliki apa yg
disebut ‘ecologic individuality’ atau kebutuhan relung hidup
yang spesifik dapat diduga bahwa tiap detil perubahan
dalam komposisi spesies atau vegetasi dari suatu
tempat ke tempat lainnya kemungkinan menunjukkan
adanya beberapa perbedaan faktor-faktor lingkungan.
Dengan demikian autekologi dengan analisis kuantitatif
dapat mengungkap adanya hubungan atau korelasi
antara faktor ligkungan dengan komposisi vegatasi
dan keberadaan suatu spesies tertentu di suatu habitat
(Daubenmire, 1968; Loewen et al., 2001). Penelitian
autekologi  tumbuhan purnajiwa dengan demikian
penting dilakukan untuk mengungkap preferensi jenis
ini di habitat dalam mendukung upaya konservasinya.
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada Bulan November 2006 di
awal musim penghujan di kawasan Hutan Bukit Tapak,
Cagar Alam Batukahu tepatnya di Desa Candikuning,
Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Propinsi
Bali. Secara astronomis terletak pada 8° 10’ - 8° 23’
LS dan 115° 02’ - 115° 15’ BT dengan jarak ± 55 km
sebelah Utara dari Kota Denpasar dan ± 30 km sebelah
Selatan dari Kota Singaraja. Status kawasan Cagar Alam
Batukahu ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pertanian no 716/kpts//um/11/1974 dengan
luas 1.762,80 ha (Anonim, 2005). Cagar alam ini
terbagi menjadi tiga kawasan hutan yaitu : Batukahu
I (Bukit Tapak), Batukahu II (Bukit Pohen) dan
Batukahu III (Bukit Lesong). Topografinya berbukit
dengan ketinggian antara 1.860-2.089 m dpl. Area ini
termasuk dalam kategori iklim A berdasarkan klasifikasi
Schmidt dan Fergusson dengan rata-rata curah hujan
2000 mm/tahun dan suhu udara berkisar antara 11-24
° C. Beberapa jenis pohon yang mendominasi kawasan
ini diantaranya adalah Dacrycarpus imbricatus, Casuarina
junghuhniana, Ficus indica, Engelhardia spicata, Laplacea
sp., Litsea velutina, Homalanthus gigantheus dan Astronia
spectabilis (Anonim, 2005).
Pengambilan Sampel
Metode pengambilan data secara  purposive sampling
dengan menjelajahi kawasan untuk mencari populasi
purnajiwa. Setelah ditemukan populasinya kemudian
Gambar 1. E. Horsfieldii yang sedang berbunga. (Foto oleh penulis).
Autekologi Purnajiwa (Euchresta Horsieldii (Lesch.) Benn. (Fabaceae) di Sebagian Kawasan Hutan Bukit Tapak  [Sutomo, Laily Mukaromah]JURNAL BIOLOGI   VOLUME  XIV  NO.1   JUNI  2010
26
dilakukan pengambilan sampel dengan membuat plot
ukuran 1 x 1 m. Data-data yang diambil berupa jumlah
individu purnajiwa, jumlah yang sedang berbunga dan
berbuah, kondisi vegetasi tumbuhan bawah berupa
anakan pohon, perdu maupun herba serta diamati juga
beberapa faktor lingkungan seperti pH tanah, ketinggian
tempat, kemiringan lahan, ketebalan seresah dan
intensitas penyinaran (Loewen et al., 2001).  Pengukuran
pH tanah dilakukan pada kedalaman 20 cm dengan
menggunakan  pH-meter  portable, ketinggian tempat
dan kemiringan lahan dengan menggunakan altimeter
dan clinometer, ketebalan seresah dengan menggunakan
penggaris serta intensitas cahaya diukur pada pukul
12.00 WITA dengan alat digital lightmeter.
Analisa Data
Data lingkungan yang di dapatkan pada tiap plot
pada habitat purnajiwa dianalisis dengan  Principal
Component Analysis (PCA) dengan program PRIMER
(Clarke, 1993; Clarke dan Ainsworth, 1993; Clarke
dan Gorley, 2005) untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh faktor-faktor ini terhadap keberadaan populasi
purnajiwa. Sedangkan untuk mengetahui nilai penting
tiap jenis tumbuhan bawah di sekitar purnajiwa
dilakukan analisis vegetasi untuk menghitung INP
(Supriyadi dan Marsono, 2001):
INP = KR + FR
Keterangan:
KR = Kerapatan Relatif suatu jenis
FR = Frekuensi Relatif suatu jenis
Dimana:
Kerapatan = ∑ individu suatu jenis i / luas plot
Kerapatan relatif = Kerapatan suatu jenis i / Kerapatan total
seluruh jenis x 100%
Frekuensi = ∑ plot yang ditempati suatu jenis i / ∑ plot
Frekuensi relatif = Frekuensi suatu jenis i / Frekuensi total
seluruh jenis x 100%
HASIL
Dari hasil penelitian diperoleh 6 kelompok populasi
purnajiwa dengan jumlah individu sebanyak 46 (Tabel
1) sedangkan data lingkungan tentang habitatnya dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Data kelompok sampel pengamatan purnajiwa
Populasi Jumlah
individu
Jumlah yang
berbunga
Tinggi
rata-rata (cm)
Lingkar batang
rata-rata (cm)
1 10 1 71 3
2 2 1 46 2,5
3 10 2 39,5 2,5
4 8  2  71  3
5 11 1 59,5 2,5
6 5 1 71,5 2,5
Hasil analisis  Principal Component Analysis (PCA)
serta nilai  eigenvectornya dapat dilihat pada Gambar 2
dan Tabel 3 dibawah ini.
Didapatkan sebanyak 16 jenis tumbuhan bawah yang
hidup bersama E. horsfieldii. Nilai kepentingan dari tiap
jenis tumbuhan tetangga purnajiwa ini disajikan dalam
bentuk Indeks Nilai Penting INP (Tabel 4).
PEMBAHASAN
Populasi purnajiwa di lokasi sampel bervariasi.
Walaupun jumlah individu yang ditemukan relatif
cukup banyak namun sebagian besar belum banyak yang
mulai  berbunga dan tidak ada yang sedang berbuah.
Selanjutnya, meski terdapat beberapa parameter
lingkungan yang diamati di tiap plot sampel populasi
purnajiwa seperti terlihat pada Tabel 2, namun hanya
beberapa parameter saja yang lebih berpengaruh
terhadap keberadaan purnajiwa. Hasil perhitungan
Principal Component Analysis (Gambar 2) mengkonfirmasi
ini dengan mengidentifikasi dua faktor lingkungan
yang lebih berpengaruh yaitu intensitas penyinaran dan
kelerengan dengan nilai eigenvectors pada PC2 sebesar
Tabel 2.  Kondisi fisik lingkungan di sekitar habitat purnajiwa di Bukit
Tapak Cagar Alam Batukahu
No Plot
Ke nggian
tempat
(mdpl)
Ph
tanah
Ketebalan
seresah
(cm)
Kemiringan
lahan
(%)
Intensitas sinar
matahari
(%)
1 1280 6,8 3 20 55
2 1300 6,7 8 30 35
3 1310 6,7 7 40 40
4 1295 6,7 7 45 50
5 1290 6,7 7 50 55
6 1290 6,7 3 55 65
Gambar 2. Principal Component Analysis data lingkungan di plot purnajiwa
dengan menggunakan program PRIMER. SM = intensitas
penyinaran, Alt = altitude, TS = tebal seresah, KL = kelerengan.
Tabel 3.  Nilai eigenvectors  (koefisien kombinasi linier variabel yang
menyusun sebuah principal component). SM = intensitas penyinaran, Alt = altitude/ketinggian tempat, TS = tebal seresah,
KL = kelerengan
No Variabel PC 1 PC 2
1 Alt 0.523 -0.118
2 SM -0.389 0.573
3 TS 0.505 -0.188
4 PH -0.494 -0.381
5 KL 0.276 0.69127
0.573 dan 0.691.
Purnajiwa ditemukan pada tempat yang ternaungi
diantaranya adalah di bawah pohon Laportea sp., Ficus
sp.,  Syzygium zollingerianum, dan  Sauraria sp. dengan
intensitas penyinaran antara 35-65%. Tumbuh pada
kemiringan lahan antara 20-55 %. Distribusi individu
di dalam suatu populasi tumbuhan jarang ditemukan
dengan pola yang acak di dalam suatu lanskap, seperti
terlihat di pola penyebaran pohon-pohon dan semak
tropis umumnya ditemukan dalam pola mengelompok
(clumped) daripada acak (Call dan Nilsen, 2003; Hubbel,
1979; Roxburgh dan Chesson, 1998). Demikian pula
yang ditemui di lokasi penelitian, dimana individu
purnajiwa ditemukan hidup mengelompok membentuk
suatu populasi di bawah naungan jenis-jenis pohon
seperti telah disebutkan sebelumnya di atas.
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa purnajiwa ditemukan
pada tempat-tempat dengan nilai kelerengan yang besar
atau cukup curam di dalam hutan. Tabel 2 di atas juga
menunjukkan bahwa populasi purnajiwa lebih banyak
terdapat pada lantai hutan dengan intensitas penyinaran
yang moderat yaitu sekitar 50%.
Selain faktor abiotik yaitu faktor lingkungan, faktor
biotik yaitu tumbuhan lain yang hidup bersama suatu
jenis merupakan parameter penting di dalam autekologi
tumbuhan (Le Brocque, 1995; Swamy et al., 2000).
Dengan demikian selain dengan memperhatikan faktor
lingkungannya, karakteristik habitat E. horsfieldii dapat
diketahui dengan memperhatikan tumbuhan yang ada
di sekitarnya (Tabel 3). Tabel tersebut memperlihatkan
bahwa Diplazium proliferum (INP = 54,6) dan Oplismenus
compositus L. (INP = 40) adalah jenis tumbuhan  bawah
yang cukup dominan di lokasi penelitian sedangkan
Begonia  cf. longifolia (INP = 5,58)  merupakan jenis
dengan nilai penting yang terendah. Selain di Bukit
Tapak, jenis O. compositus juga merupakan tumbuhan
bawah yang mendominasi komunitas tumbuhan bawah
di jalur perjalanan hutan tropis di Kebun Raya Bali
(Sutomo dan Undaharta 2005).
Melestarikan organisme di habitat alaminya adalah
best practice jika memungkinkan akan tetapi situasi terus
berubah dengan semakin nyatanya perubahan iklim serta
meningkatnya aktivitas manusia di kawasan hutan untuk
mencari berbagai hasil hutan seperti untuk kayu bakar,
humus, tumbuhan anggrek, paku dan juga termasuk
purnajiwa untuk tujuan komersil sehingga mengancam
keberadaan jenis ini di alam.  Dalam kasus seperti
ini, konservasi secara ex situ harus mulai diterapkan,
sehingga jumlah maksimal variasi genetik pada jenis
yang masih ada bisa diselamatkan dan memberikan
kesempatan untuk bertahan hidup (Anonim, 1989).
Salah satu upayanya dengan mengambil material
tumbuhan purnajiwa baik berupa biji, anakan purnajiwa
dengan teknik putaran maupun stek batangnya untuk
kemudian di lakukan aklimatisasi serta penelitian
perbanyakannya di kebun raya yang akan bermuara
pada kegiatan reintroduksi purnajiwa di habitat
alaminya. Kegiatan aklimatisasi purnajiwa di kebun
raya akan dapat memanfaatkan data autekologi ini
dengan membuat iklim mikro dan artificial environment
yang sedapat mungkin menyerupai kondisi di habitat
alaminya.
SIMPULAN
Purnajiwa ditemukan pada tempat yang ternaungi
diantaranya adalah di bawah pohon Laportea sp., Ficus
sp.,  Syzygium zollingerianum, dan  Sauraria sp. dengan
intensitas penyinaran antara 55-65%. Tumbuh pada
kemiringan tanah antara 20-55 % serta ketebalan
seresah 3-7 cm dengan pH tanah berkisar antara 6,7-
6,8. Sebanyak 16 jenis tumbuhan bawah hidup bersama
purnajiwa diantaranya yang cukup dominan adalah
Diplazium proliferum (INP = 54,6) dan  Oplismenus
compositus L. (INP = 40). Populasi purnajiwa di sebagian
kawasan hutan Bukit Tapak secara umum masih cukup
baik, namun intensitas masyarakat memasuki kawasan
hutan ini harus menjadi perhatian apabila menghendaki
kelestarian biodiversitas tumbuhan pegunungan,
termasuk jenis purnajiwa ini.  Kegiatan konservasi exsitu disarankan menjadi salah satu alternatif solusi untuk
menyelamatkan populasi purnajiwa.
KEPUSTAKAAN
Anonim. 1989. The Botanic Garden Conservation Strategy (Indonesian edition). BGCI, United Kingdom.
Anonim. 2005. Kawasan Konservasi Provinsi Bali. Unit KSDA
Bali, Bali.
Call L.J., E.T. Nilsen. 2003. Analysis of Spatial Patterns and
Tabel 4.  Indeks Nilai Penting (INP) Tumbuhan bawah yang tumbuh
di sekitar E.horsfieldii di Bukit Tapak CA Batukahu. K= Kerapatan, KR= Kerapatan Relatif, F= Frekuensi, FR= Frekuensi
Relatif, D= Dominansi, DR= Dominansi Relatif.
No Jenis K KR F FR D DR INP
1 Diplazium proliferum
120 26.4 1 16 36.7 12.21 54.6
2 Oplismenus compositus
87 19.2 0.6 9.6 33.8 11.2 40
3 Rubiaceae 26 5.7 0.83 13.3 9.6 3.2 22.2
4 Syzygium sp 30 6.6 0.6 9.6 14.5 4.8 21
5 Glochidion sp 19 4.2 0.6 9.6 17.5 5.8 19.6
6 Syzygium zollingerianum
19 4.2 0.6 9.6 13.3 4.4 18.2
7 Syclosorus sp 25 5.5 0.16 2.6 30 10 18.1
8 Saurauia 10 2.2 0.16 2.6 40 13.3 18.1
9 Pinanga kuhlii 11 2.4 0.3 4.8 30 10 17.2
10 Laportea micros gma
50 11.0 0.3 4.8 0.2 0.1 15.9
11 Strobilanthes
crispus
20 4.4 0.16 2.6 25 8.3 15.3
12 Hypobathrum sp 10 2.2 0.16 2.6 20 6.7 11.5
13 Begonia sp 10 2.2 0.3 4.8 5 1.7 8.7
14 Bischofia sp 10 2.2 0.16 2.6 10 3.3 8.1
15 Asplenium nidus 1 0.2 0.16 2.6 10 3.3 6.1
16 Begonia cf. longifolia
6 1.3 0.16 2.6 5 1.7 5.6
Autekologi Purnajiwa (Euchresta Horsieldii (Lesch.) Benn. (Fabaceae) di Sebagian Kawasan Hutan Bukit Tapak  [Sutomo, Laily Mukaromah]JURNAL BIOLOGI   VOLUME  XIV  NO.1   JUNI  2010
28
Spatial Association between the Invasive Tree-of-Heaven
(Ailanthus altissima) and the Native Black Locust (Robinia
pseudoacacia). American Midland Naturalist 150: 1-4.
Clarke K.R. 1993. Non-parametric Multivariate Analyses of
Changes in Community Structure. Aust. J. Ecol. 18: 117-
143.
Clarke R.K., M. Ainsworth. 1993. A Method of Linking Multivariate Community Structure to Environmental Variables.
Marine Ecology Progress Series 92: 205-219.
Clarke R.K., R.N. Gorley. 2005. PRIMER: Plymouth Routines
In Multivariate Ecological Research. PRIMER-E Ltd.,
Plymouth.
Daubenmire, R. 1968.  Plant Communities. Harper & Row
Publisher, New York.
Hobbs, R.J., L. Atkins L. 1990.  Fire-Related Dynamics of a
Banksia Woodland in South-Western Western Australia.
Aust. J. Botany 38: 97-110.
Hubbel S.P. 1979. Tree Dispersion, Abundance, and Diversity in
a Tropical Dry Forest. Science Journal 23: 1299-1309.
Le Brocque, A.F. 1995. Ecology of Plant Communities in Kuring-gai Chase National Park, New South Wales: An
Examination of Vegetation and Environmental Patterns.
In: Dept of Applied Biology, University of Technology
Sydney. p. 242
Lemmens, R.H.M.J., N. Bunyapraphatsara. 2003. Plant Resources of South-East Asia No. 12 (3). Medicinal and Poisonous
Plants 3. PROSEA Foundation, Bogor.
Lesica, P. 1992. Autecology of the Endangered Plant Howellia
aquatilis; Implications for Management and Reserve Design. J. Ecol. Application 2: 411-421.
Loewen, D.C., G.A. Allen, J.E. Antos.  2001. Autecology of
Erythronium grandiflorum in Western Canada. Can. J. Bot.
79: 500.
Mogea, J.P., D. Gandawidjaya, H. Wiriadinata, R.E. Nasution, Irawati.  2001.  Tumbuhan Langka Indonesia. Pusat
Penelitian Botani-LIPI, Bogor.
Roxburgh, S.H., P. Chesson. 1998. A New Method for Detecting
Species Associations With Spatially Autocorrelated Data.
Ecology 79: 2180–2192.
Siregar H., I.N. Peneng. 2004. Konservasi Pranajiwa Euchresta
horsfieldii (Lesch.) Benn. Fabaceae dan Upaya Perbanyakannya di Kebun Raya Bali. In: Seminar Nasional
Tumbuhan Obat Indonesia ke XXV. Pokjanas TOI dan
Depkes RI, Solo.
Supriyadi, D. Marsono. 2001. Petunjuk Praktikum Ekologi Hutan.
Laboratorium Ekologi Hutan Jurusan Konservasi Sumber
Daya Hutan Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.
Sutomo, N.K.E. Undaharta. 2005. Komunitas Tumbuhan Bawah
Jalur Tropis Kebun Raya Bali. UPT BKT Kebun Raya Eka
Karya Bali, Bali.
Swamy, P.S., S.M. Sundarapandian., P. Chandrasekar, S. Chandrasekaran. 2000 Plant Species Diversity and Tree Population Structure of a Humid Tropical Forest in Tamil Nadu,
India. Biodiversity and Conservation 9: 1643-1669.
Whitten T., R.A. Soeriaatmadja, S.A. Afiff. 1996. The Ecology
of Indonesia Series volume II: The Ecology of Java and
Bali. Periplus, Hongkong.
Zobel, M. 1992. Plant Species Coexistence – The Role of Historical, Evolutionary and Ecological Factors. Oikos 65:
314-320.

KAJIAN TEKNIK KONSERVASI Pinus merkusii Strain Kerinci (termasuk penelitian di bidang sinekologi)


KAJIAN TEKNIK KONSERVASI Pinus merkusii Strain Kerinci
1)
Oleh :
    Hendi Suhaendi
2)
ABSTRAK
Di Indonesia, Pinus yang tumbuh secara alami hanyalah  Pinus merkusii dan
terdapat di tiga tempat Sumatera yaitu Kerinci, Tapanuli, dan Aceh, dan oleh Lamb
dan Cooling (1967) dinamakan strain,  sedangkan Cooling (1968) menyebutnya
sebagai provenansi, dan Armizon  et al. (1995) menamakannya sebagai galur. P.
merkusii strain  Kerinci  secara alami dapat dijumpai di wilayah kerja Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS), khususnya pada dataran tinggi di Bukit Tapan,
Pungut Mudik, Pungut Ilir, Pungut Tengah, Gunung Tebakar, dan tempat tumbuh
alami lainnya yang belum diketahui secara pasti, dan jumlah individu pohon dalam
populasinya sangat sedikit. Dalam bentuk hutan tanaman, strain  Kerinci  hampir
belum pernah dibuat, baik oleh masyarakat/rakyat maupun instansi kehutanan,
dan kondisi hutannya nampak sudah terancam keberadaannya karena
permudaannya praktis sangat sedikit ditemukan. Tindakan konservasi, baik in-situ
maupun ex-situ sangat diperlukan dan sifatnya mendesak.
Kata kunci :  Pinus merkusii strain  Kerinci, permudaan alam, permudaan buatan,
konservasi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia, Pinus yang tumbuh secara alami hanyalah Pinus merkusii Jungh
et De Vriese di tiga tempat Sumatera, yaitu di Aceh, Tapanuli, dan Kerinci, dan
oleh Lamb dan Cooling (1967) dinamakan "strain"; sedangkan Cooling (1968)
menyebutnya sebagai "provenansi". Untuk strain  Kerinci, Armizon  et al. (1995)
menyebutnya sebagai "galur" Kerinci.
P. merkusii strain Kerinci secara alami dapat dijumpai di wilayah kerja Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dengan luas 1.375.934 hektar,  yang memanjang
hampir 350 km dengan lebar sekitar 50 km dari barat laut ke tenggara meliputi
empat provinsi, yaitu Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan
(Kompas, 9 September 2005).  Sebaran alam yang "sangat sedikit" didapatkan
untuk strain Kerinci, sedangkan sebaran alam yang "sedikit" diperoleh untuk strain
Tapanuli dan sebaran alam yang "paling luas dan banyak" ditemukan untuk strain
Aceh.
Dalam bentuk hutan tanaman, strain Kerinci hampir belum pernah dibuat, baik
oleh masyarakat/rakyat maupun instansi Kehutanan.  Untuk strain Tapanuli,  hutan
tanaman dalam skala kecil pernah dibuat oleh masyarakat di Kecamatan
Pangaribuan dan Kecamatan Sipahutar (keduanya masuk dalam Kabupaten
Tapanuli Utara) dengan menggunakan bibit/anakan alam yang diambil secara
cabutan, dan sekarang hampir habis karena pengusahaan oleh rakyat dialihkan
                                               
1
 Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya
Hutan. Padang, 20 September 2006.
2
 Peneliti pada Kelti Silvikultur, Pusat  Litbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
100
menjadi tanaman kopi (Suhaendi, 2005).  Dalam bentuk hutan tanaman, strain
Aceh terdapat paling luas dan banyak, serta sudah ditanam berbagai pihak, baik
swasta maupun pemerintah hampir di seluruh Indonesia.
Melihat kondisi hutan tanaman  P. merkusii strain  Kerinci, nampak sudah
terancam keberadaannya karena permudaannya praktis sangat sedikit ditemukan.
Oleh karena itu, konservasi  P. merkusii strain  Kerinci  sangat diperlukan dan
sifatnya mendesak, dengan mengkaji permudaannya sebagai langkah awal
melakukan konservasi di luar tempat tumbuh alaminya atau konservasi ex-situ.
B. Tujuan dan Sasaran
Kajian ini bertujuan untuk menyediakan paket teknologi konservasi jenis  P.
merkusii strain  Kerinci. Sasaran kajian ini adalah menilai status permudaan
sebagai langkah awal konservasi jenis  P. merkusii strain  Kerinci berikut aspekaspeknya yang terkait.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.   Daerah Persebaran
P. merkusii merupakan satu-satunya jenis  konifer di daerah tropika yang
daerah persebarannya luas di Asia Tenggara, dari 95º30'-121º30' Bujur Timur dan
22º Lintang Utara hingga 2º Lintang Selatan, meliputi Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Kepulauan Hainan, Pulau Mindoro dan Luzon di Filipina,
serta Sumatera di Indonesia (Cooling, 1968).
Di Sumatera, populasi P. merkusii tumbuh secara alami pada tiga tempat yaitu
Aceh, Tapanuli, dan Kerinci. Populasi ini oleh Lamb dan Cooling (1967) dinamakan
"strain"', sedangkan Cooling (1968) menyebutnya "provenansi" dan Armizon et al.
(1995) menamakannya "galur".  Daerah persebaran alami strain  Kerinci adalah
"sangat sedikit", sedangkan daerah persebaran alami strain  Tapanuli adalah
"sedikit" dan daerah persebaran alami strain  Aceh adalah "paling luas dan
banyak".
Dalam bentuk tanaman, P. merkusii strain Kerinci hampir belum pernah dibuat,
baik oleh instansi kehutanan maupun rakyat.  Taman Nasional Kerinci Seblat
(TNKS) pernah membuat tanaman strain Kerinci dalam rangka program Gerakan
Reboisasi Lahan (Gerhan) dengan menggunakan 2.000 anakan alam yang diambil
secara cabutan di Bukit Tapan, Kecamatan Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci, tapi
hampir semua tanaman tersebut mati (Dawliwanto, komunikasi pribadi).  Untuk
strain  Tapanuli, pernah dibuat oleh rakyat dengan menggunakan anakan alam
yang diambil secara cabutan di Kecamatan Pangaribuan dan Kecamatan
Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara, tapi sekarang masyarakat/ rakyat mengubah
pemanfaatan strain  Tapanuli menjadi pertanaman kopi (Suhaendi, 2005).  Untuk
strain  Aceh, hutan tanaman telah dibuat di hampir seluruh provinsi di Indonesia
karena persebarannya paling luas dan  benihnya sangat banyak dan mudah
diperoleh.
P. merkusii strain  Kerinci diketemukan oleh Cordes (1867) dengan nama
daerah "sigi" pada ketinggian 11.000 feet di atas permukaan laut (dpl.), dan paling
rendah 3.000-4.000 feet dpl. Pada nama-nama daerah saat pengkajian diadakan
pada bulan Agustus 2005 adalah "kayu kasigi" di Kecamatan Air Hangat Timur
yang terdiri dari Desa Pungut Mudik, Desa Pungut Ilir, dan Desa Pungut Tengah; Kajian Teknik Konservasi Pinus merkusii Strain Kerinci (Hendi Suhaendi)
101
dan "kayu sigi" di Bukit Tapan, Koto Limau Sering, Kecamatan Sungai Penuh;
yang semuanya termasuk dalam Kabupaten Kerinci.
Lamb dan Cooling (1967) serta Cooling (1968) menyatakan bahwa strain
Kerinci  diketemukan pada ketinggian 1.500-2.000 m dpl.  Letak tempat tumbuh
alami kurang diketahui secara jelas, tapi Radja (1971) dapat menemukannya di
Gunung Tebakar Pungut (2.197 m dpl.), Gunung Patah Bukit Sangko (2.206 m
dpl.), Bukit Kulit Manis, dan Bukit Sigi.  Selanjutnya, Armizon  et al. (1995)
menyatakan  bahwa strain Kerinci juga ditemukan pada ketinggian 1.010 m sampai
1.492 m dpl. di hutan hujan pengunungan Cagar Alam Bukit Tapan, kawasan
TNKS.
B. Sifat-sifat Fenotipa
Perbedaan sifat-sifat fenotipa antara strain  Tapanuli dan strain  Aceh berupa
bentuk batang, daun, sistem percabangan, ruas batang, kulit batang, kandungan
getah, produksi getah, pembijian, dan kepekaan terhadap serangan  Millionia
basalis telah dikaji oleh Van de Veer dan  Goves (1953) serta Soerianegara dan
Djamhuri (1979).
Menurut Cordes (1867), sifat-sifat morfologi P. merkusii strain Kerinci adalah:
berbatang lurus, percabangan sangat tinggi, daun jarum sebanyak dua buah
(hampir sama dengan jenis Pinus sylvestris), daun licin dan bagian dalamnya agak
cekung dan kasar.
Armizon  et al. (1995) mendapatkan perbedaan sifat-sifat morfologi antara
strain  Kerinci dengan strain  Aceh.  Dibandingkan dengan strain  Aceh, sifat-sifat
strain Kerinci adalah :  bentuk batang umumnya lebih lurus dan lebih silindris, kulit
batang umumnya lebih tipis (1 cm) dengan warna lebih terang (putih keabu-abuan)
dan alur yang lebih dangkal, sedangkan daunnya relatif lebih jarang, dan diduga
kerentanan terhadap kebakaran lebih rentan karena kulitnya yang lebih tipis.
Selanjutnya, Mukhtar dan Santoso (1987) menyebutkan bahwa strain Kerinci
secara morfologis memiliki banyak kesamaan dengan strain Tapanuli.
C. Sifat-sifat Genetika
Dengan memperhatikan hubungan linier aditif antara nilai-nilai fenotipa (p),
genotipa (g), dan lingkungan (l) di mana p = g + l, karena P. merkusii itu menyerbuk silang (cross pollinated) maka nilai genotipa yang memberikan kontribusi
kepada nilai fenotipa suatu sifat tertentu adalah heterozigot (heterozygote).
Dengan demikian, nilai genotipa dari suatu sifat tertentu juga terdiri dari macammacam genotipa karena jenis ini menyerbuk bebas (open pollinated).
Keragaman geografis diduga lebih kecil kemungkinan terjadinya di daerah
dengan sebaran alami yang sempit dibandingkan dengan sebaran alami yang lebih
luas pada  Pinus sylvestris (Wright, 1981), sedangkan pada  Pinus clausa
keragaman geografis tersebut ditemukan cukup besar dalam daerah dengan
sebaran alami yang sempit (Harahap, 1984).
Dengan menggunakan pendekatan genetika molekuler melalui penanda
(marker) isoenzim, Munawar (2002) menunjukkan bahwa keragaman genetik hutan
alam strain  Kerinci adalah yang paling kecil dibandingkan keragaman genetik
hutan alam strain Tapanuli maupun strain Aceh.  Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
102
D.  Biologi Pembungaan
Berdasarkan perbedaan dalam strukturnya, pakar botani mengklasifikasikan
struktur reproduksi  Pinus sebagai strobili dan bukan sebagai bunga.  Tapi karena
fungsinya sama yaitu untuk menghasilkan tanaman baru maka banyak pula pakar
lainnya menggunakan istilah bunga sebagai strobili (Dorman, 1976).
Genus  Pinus adalah jenis pohon berumah satu (monocious) yaitu produksi
strobili jantan dan strobili betina terjadi pada satu pohon tetapi letaknya pada
bagian pohon yang terpisah (Dorman, 1976).  Pada satu dahan dan ranting  P.
merkusii, strobili jantan terbentuk pada bagian yang lebih rendah daripada strobili
betina, dan pada umumnya terdapat di bagian tengah dan bawah tajuk; sedangkan strobili betina terbentuk di bagian tajuk yang lebih atas.  Pemisahan letak
strobili seperti ini cukup efektif untuk mencegah terjadinya silang dalam (inbreeding) karena tidak mungkin serbuksari dapat muncul di bagian atas tajuk
penyerbukan untuk mengadakan penyerbukan sendiri (selfing).  Selfing tidak lain
adalah bentuk ekstrim dari inbreeding.  Sifat-sifat biologi pembungaan P. merkusii
telah dikaji oleh Suhaendi (1988 b).  Menurut Daranto (1983), pada  P. merkusii
strobili betina terbentuk lebih dahulu daripada strobili jantan.
Penyerbukan P. merkusii dilakukan oleh angin atau anemogamy.  Keadaan ini
akan membantu terjadinya penyerbukan silang (outcrossing) di antara pohonpohon yang terpisah beberapa ratus meter jauhnya (Kingmuangkow, 1974).
Pada  P. merkusii terdapat adanya dikogami (dichogamy), yaitu produksi
strobili jantan dan strobili betina pada waktu yang berbeda dari pohon yang sama,
di mana strobili betina diproduksi lebih dahulu daripada strobili jantan.  Ini juga berarti adanya gejala ketidaksesuaian diri secara genetik (genetic self incompatibility),
yang merupakan mekanisme efektif untuk mencegah terjadinya selfing/inbreeding
karena terjadinya protogini (protogyny) yaitu strobili betina telah reseptif (matang)
sebelum strobili jantan siap menumpahkan serbuksarinya.
P. merkusii adalah jenis pohon yang menyerbuk silang (outcrossing), sehingga
kemungkinan terjadinya penyerbukan sendiri (selfing) adalah minimum.  Ini berati
pohon-pohon  P. merkusii bukan merupakan  inbreed  karena genotipanya heterozigot, dan tentunya berasal dari induk-induk yang tidak berkerabat dalam
populasinya.
E.  Konservasi dan Keragaman Genetik
Konservasi genetik dapat dilakukan secara in-situ dan ex-situ.  Sasrosumarto
dan Suhaendi (1985) memberi batasan bahwa konservasi  in-situ adalah
pelestarian kelompok plasma nutfah yang terdapat dalam suatu tempat tumbuh
alami; sedangkan Sukotjo (1993) memberi batasan sebagai konservasi dari
ekosistem.  Konservasi ex-situ diberi batasan sebagai pelestarian plasma nutfah di
luar daerah sebaran alamnya (Sasrosumarto dan Suhaendi, 1985); sedangkan
Sukotjo (1993) memberi batasan sebagai konservasi dari komponen-komponen
keanekaragaman hayati di luar habitat alaminya.
Antara konservasi genetik  in-situ dan  ex-situ harus saling melengkapi, tapi
karena terbatasnya dana dan persepsi yang dimiliki oleh otorita yang menangani
masing-masing jenis konservasi tersebut menyebabkan porsi perhatian dari kedua
jenis konservasi tersebut dirasa kurang memadai (Sukotjo, 1993). Kajian Teknik Konservasi Pinus merkusii Strain Kerinci (Hendi Suhaendi)
103
Konservasi genetik in-situ yang paling umum adalah cagar alam dan taman
nasional.  Berdasarkan pengamatan di hutan pengunungan Cagar Alam Bukit
Tapan, kawasan TNKS, Armizon  et al. (1995) menyatakan bahwa eksistensi  P.
merkusii strain Kerinci di masa yang akan datang terancam karena sedikit sekali
permudaan yang terdapat di kawasan hutan tersebut.
Menurut Munawar (2002), populasi alam strain  Kerinci sudah sangat kecil
dan terbagi-bagi dalam areal yang sempit.  Sebagai akibatnya, angka koefisien
inbreeding menjadi tinggi yang menghasilkan keragaman genetik yang sangat
rendah, dan menyebabkan terjadinya erosi genetik yang tinggi pada populasi alam
ini.
Selanjutnya Munawar (2002) menyatakan bahwa populasi alam strain Kerinci
sudah dalam keadaan yang berbahaya dan mengalami ancaman kepunahan yang
serius, sebab populasinya telah terpecah-pecah dalam areal yang sempit (kurang
dari satu hektar) dengan jumlah pohon yang hanya sedikit.  Tindakan konservasi
in-situ dan  ex-situ merupakan kegiatan yang sudah mendesak untuk dilaksanakan, dan merupakan langkah yang efektif untuk mendukung program pemuliaan
pohon di masa mendatang.
Suatu tinjauan tentang status konservasi ex-situ telah dikaji oleh Suhaendi et
al. (1993). Selanjutnya, Suhaendi (1997)  menjelaskan jenis-jenis konservasi
genetik ex-situ, yaitu:
1. Konservasi genetik dengan benih/bibit.
2. Konservasi genetik melalui metode penyimpanan pada suhu sangat rendah (-
80º sampai -196ºC), atau disebut cryopreservasi.
3. Konservasi genetik dengan tepung (serbuk) sari.
4. Konservasi genetik dengan kultur jaringan, termasuk konservasi DNA.
Yang paling banyak dilakukan untuk kepentingan praktis adalah konservasi
genetik  ex-situ melalui bibit cabutan yang berasal dari hutan alam, baik di Cagar
Alam Bukit Tapan maupun kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat.
III.  METODOLOGI
A.   Deskripsi Obyek Kajian
Ada dua kawasan dalam Taman Nasional Kerinci Seblat yang dijadikan obyek
kajian, yaitu Bukit Tapan (Kecamatan Sungai Penuh) dan Pungut Mudik
(Kecamatan Air Hangat Timur), Kabupaten Kerinci.
1. Bukit Tapan
Kelompok hutan  P. merkusii strain  Kerinci  di Bukit Tapan terdapat di sepanjang jalan darat antara Sungai Penuh dan Tapan, terletak antara 101º 1' Bujur
Timur dan 2º9' Lintang Selatan.  Nama Bukit Tapan dikenal pula dengan nama
Koto Limau Sering.
Topografi lapangan berbukit berat dengan kelerengan antara 80% sampai
85%, pada ketinggian 900 m dpl.  P. merkusii strain Kerinci secara alami tumbuh
pada tanah Podsolik Merah Kuning dan di tanah Podsol, Latosol dan Litosol.  Iklim
termasuk tipe A dan B dengan curah hujan rata-rata tahunan 1.945-2.027 mm
(Cooling, 1968). Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
104
Anakan alam strain Kerinci terdapat pada bekas longsoran yang terbuka dan
pada tebing-tebing yang bercadas, dengan nama daerah kayu sigi, sedangkan
kajian konservasinya diadakan pada Agustus 2005.
2. Pungut Mudik
Kelompok hutan  P. merkusii strain  Kerinci di Desa Pungut Mudik menurut
masyarakat setempat paling banyak jumlah anakan alamnya, sedangkan di Desa
Pungut Ilir dan Desa  Pungut Tengah jarang sekali ditemukan.
Desa Pungut Mudik terletak pada 101º26'-101º28' BT dan 1º59'-2º01' LS
dengan ketinggian 700 m dpl.  Topografi lapangan berbukit agak berat dengan
kelerengan 70 % - 75 %, dengan jenis tanah Podsolik Merah Kuning.  Curah hujan
tahunan rata-rata 1.985 mm dan termasuk tipe iklim B menurut klasifikasi Schmidt
dan Ferguson.
Anakan alam tidak terdapat pada tebing-tebing bercadas tapi dapat ditemukan
pada tanah terbuka bekas longsoran, dengan nama daerah kayu kasigi.  Pada
saat kajian ini diadakan pada Agustus 2005, tidak ditemukan adanya anakan alam
strain Kerinci tersebut.
B.  Metoda Pengumpulan Data
Data primer dikumpulkan langsung di lapangan dan melalui wawancara
dengan berbagai instansi kehutanan di Provinsi Jambi dan masyarakat setempat.
Data sekunder yang dikumpulkan meliputi pengumpulan data/informasi, baik yang
dipublikasikan maupun tidak dipublikasikan.
Instansi kehutanan dan pemerintah daerah sebagai sumber data primer,
adalah:
1. Dinas Kehutanan Provinsi Dati I Jambi, di Jambi.
2. Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci.
3. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) di Jambi (dahulu bernama
Balai Reboisasi Lahan dan Konservasi Tanah atau BRLKT).
4. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Kerinci di
Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci.
5. Kecamatan Sungai Penuh dan Kecamatan Air Hangat Timur, Kabupaten
Kerinci.
Informasi yang diperlukan:
1. Keberadaan P. merkusii strain Kerinci.
2. Kondisi pohon dan permudaan alam P. merkusii strain Kerinci.
3. Kondisi pohon dan permudaan buatan P. merkusii strain Kerinci.
4. Biologi pembungaan P. merkusii strain Kerinci.
5. Asosiasi pohon P. merkusii strain Kerinci dengan jenis pohon lain.
Data sekunder dilakukan melalui studi pustaka, mencakup:
1. Buku teks.
2. Skripsi tingkat Sarjana I, Sarjana II (Magister), dan Disertasi Doktor.
3. Laporan Tahunan.
4. Laporan Intern.
Untuk tingkat anakan,  dikumpulkan sebanyak mungkin anakan alam (wildling)
yang mempunyai tinggi di bawah satu meter. Kajian Teknik Konservasi Pinus merkusii Strain Kerinci (Hendi Suhaendi)
105
IV.  HASIL DAN PEMBAHASAN
A.  Eksplorasi dan Identifikasi
Salah satu kesempatan yang dalam Kongres Kehutanan Sedunia Kesepuluh
yang diadakan di Paris pada tanggal 17-29 September 1991 adalah adanya tiga
unsur yang saling terkait satu sama lainnya dalam program perbenihan pohon
hutan yang terintegrasi, yaitu konservasi sumberdaya genetik (gene resource
conservation), pengadaan benih (seed procurement), dan pemuliaan pohon (tree
improvement).   Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam  (P3H&KA) terlibat secara penuh dan aktif dalam kegiatan konservasi sumberdaya genetik, yang terdiri
dari kegiatan eksplorasi dan identifikasi sumberdaya genetik yang terancam
punah, konservasi  in-situ, konservasi  ex-situ, dan pemanfaatan sumberdaya
genetik.
Dari hasil wawancara dengan berbagai instansi kehutanan khususnya TNKS
dan masyarakat sekitar, strain Kerinci memang terdapat secara alami di kawasan
TNKS khususnya di Bukit Tapan dan Pungut Mudik.
Di Cagar Alam (CA) Bukit Tapan dan Pungut Mudik dalam kawasan TNKS,
strain Kerinci tumbuh dalam kelompok-kelompok kecil di antara jenis-jenis pohon
lainnya, yang berarti pula bahwa strain  ini tidak terdapat dalam tegakan murni
melainkan tercampur dalam bentuk asosiasi dengan jenis-jenis pohon lainnya.
Keberadaan suatu tegakan pohon ditentukan oleh kondisi permudaannya.
Dalam kajian bulan Agustus 2005, di CA Bukit Tapan ditemukan 60 batang anakan
alam strain Kerinci sedangkan di Pungut Mudik satu anakan pun tidak ditemukan.
Anakan alam ditemukan letaknya jauh dari posisi pohon induknya, dan ini
disebabkan karena penyerbukan genus  Pinus dilakukan dengan bantuan angin
(anemogamy).  Dalam hal tidak ditemukannya anakan alam strain  Kerinci di
Pungut Mudik juga disebabkan biji yang jatuh ke lantai hutan sangat jarang karena
terbawa angin dan seandainya tumbuh pun tidak lama kemudian mati karena
adanya naungan berat sehingga cahaya langsung tidak diperoleh.  Dan oleh
karena itu, Suhaendi (2005) menyatakan bahwa cagar alam harus dibuka secara
terkendali untuk memungkinkan tumbuhnya permudaan alam.
Di samping kegiatan eksplorasi pohon strain Kerinci, juga diperlukan kegiatan
identifikasi untuk menentukan keragaman genetiknya.  Keragaman genetik strain
Tapanuli telah diidentifikasi melalui pendekatan genetika kuantitatif (Suhaendi,
1988a; 2000), sedangkan keragaman genetik strain  Kerinci  telah diidentifikasi
melalui pendekatan genetika molekuler dengan penanda isoenzim (Munawar,
2002).
Menurut Wright (1981), keragaman geografis (provenansi) pada daerah sebaran alami yang sempit adalah kecil.  Pendapat ini sejalan dengan Munawar (2002)
untuk  P. merkusii strain  Kerinci.  Keragaman geografis monoterpen pada genus
Pinus dapat dijadikan penanda gen (gene marker) karena komposisinya berbeda
sangat besar, baik antar jenis, antar asal benih maupun antar pohon dalam satu
asal benih.
Harahap (1989) menyatakan terdapatnya kecenderungan kadar delta -3-
carene menaik dari Aceh (strain Aceh 42,8 %) ke Kerinci  (strain Kerinci 73,4 %)
dan paling kecil di Tapanuli (strain Tapanuli 6,4 %). Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
106
Dengan pendekatan genetika molekuler melalui penanda isoenzim, Munawar
(2002) dapat menentukan besarnya keragaman genetik strain  Kerinci, strain
Tapanuli, dan strain Aceh dengan hasil sebagai berikut :
1. Keragaman genetik hutan strain  Kerinci paling kecil dibandingkan strain
Tapanuli maupun strain Aceh.
2. Populasi strain Kerinci  sudah sangat kecil dan terbagi-bagi dalam areal yang
sempit sehingga dapat menyebabkan terjadinya erosi genetik yang tinggi.  Ini
dapat dipandang sebagai tanda bahwa strain  Kerinci sudah berada dalam
bahaya dan mengalami ancaman kepunahan yang serius.
B.  Konservasi in-situ
Suatu tinjauan mengenai konservasi genetik in-situ dari sumberdaya  hutan di
Indonesia telah disusun oleh Suhaendi  et al. (1993).  Tujuan utama dari pembangunan konservasi genetik in-situ adalah:
1. Mempertahankan habitat asli dari flora dan fauna beserta ekosistemnya.
2. Melindungi tempat tumbuh dan jenis-jenisnya dari setiap kerusakan.
3. Sebagai laboratorium lapangan dan ekosistem alam untuk berbagai jenis
tumbuhan dan satwa liar termasuk keragaman genetiknya.
4. Membantu manajemen hutan tropika berdasarkan prinsip kelestarian.
5. Memanfaatkan sumberdaya alam secara bijaksana dan hati-hati untuk
perkembangan kehutanan secara nasional.
Konservasi in-situ umumnya berbentuk cagar alam.  Dalam kawasan hutan CA
Bukit Tapan vegetasinya memiliki keragaman yang cukup tinggi dan susunan
vegetasinya merupakan daerah ekoton, yaitu dari tipe vegetasi hutan tropika
pegunungan dengan vegetasi hutan Dipterocarpaceae dataran tinggi.  Menurut
Mukhtar dan Santoso (1987), beberapa famili yang umum terdapat di kawasan ini
adalah Myrtaceae, Lauraceae, Fagaceae, Araucariaceae, dan Hammamelidaceae. Tiga jenis pohon yang tumbuh secara alam dan dominan adalah P. merkusii
strain Kerinci, Agathis alba, dan Altingia excelsa.
Menurut Laumonier (1994), hutan CA Bukit Tapan merupakan vegetasi hutan
pegunungan dengan jenis pohon yang umum dijumpai antara lain dari famili
Lauraceae, Fagaceae, Myrtaceae, Meliaceae, Pinaceae, Araucariaceae, dan
Dipterocarpaceae pada ketinggian 800-1.400 m dpl.
Analisa vegetasi di kompleks hutan Bukit Terbakar (1.292 m dpl), Desa Pungut
Mudik, menunjukkan adanya susunan hutan yang terdiri dari  P. merkusii strain
Kerinci dan 35 jenis pohon lainnya yang di antaranya adalah  Altingia excelsa,
Comonosperma auriculata,  Eugenia spp.,  Dipterocarpus gracilis, dan  Shorea
platyclados (Radja, 1971).
C.  Konservasi ex-situ
Dari empat macam teknologi konservasi genetik  ex-situ yang diuraikan
Suhaendi (1997), untuk obyek kajian akan membahas konservasi genetik dengan
benih/bibit.
Konservasi genetik ex-situ dengan benih P. merkusi strain Kerinci terkendala
oleh sulitnya mendapatkan benih. Martini dan Semedi  dalam  Harahap (2000)
melaporkan bahwa produksi benih  P. merkusii di dataran tinggi Jawa dapat
menghasilkan 20 benih per kerucut, sedangkan Munawar (2002) melaporkan Kajian Teknik Konservasi Pinus merkusii Strain Kerinci (Hendi Suhaendi)
107
bahwa pohon strain Kerinci di Pungut Mudik hanya menghasilkan 2-9  benih per
kerucut.  Demikian pula produksi buah per pohon untuk strain Kerinci dan strain
Tapanuli jauh lebih sedikit dibandingkan dengan strain Aceh asal Jawa.
Kenyataannya di lapangan, populasi alam P. merkusii strain Kerinci di KerinciSeblat jumlah individunya sudah sangat sedikit dengan kondisi pembuahan yang
tidak bagus.  Akibatnya, sudah beberapa tahun diadakan kegiatan eksplorasi benih
P. merkusii strain  Kerinci  oleh Fakultas Kehutanan UGM tetapi hasilnya tidak
pernah memuaskan, sehingga upaya untuk mengadakan konservasi ex-situ selalu
mengalami kesulitan.
Siregar (2000) melaporkan bahwa keragaman genetik populasi alam strain
Kerinci dan strain  Tapanuli jauh lebih kecil daripada strain  Aceh.  Juga telah
dideteksi bahwa keragaman genetik populasi alam strain Kerinci sudah hilang.
Menurut petugas lapangan di Resort Bukit Tapan TNKS, cara untuk
mendapatkan anakan alam strain Kerinci dalam rangka konservasi ex-situ adalah
dengan cara membersihkan semua tanaman pengganggu sehingga yang
tertinggal hanyalah pohon-pohon besar dan kecil di sekitar pohon induk strain
Kerinci pada bulan Juni sampai Juli di mana strobili akan mekar bulan Juli dan
strobili akan pecah pada bulan Juli sampai Agustus.
D.  Pemanfaatan Sumberdaya Genetik
Dalam Kongres Kehutanan Sedunia Kesepuluh tahun 1991 di Paris telah
dinyatakan dengan tegas dan jelas tentang adanya tiga unsur yang saling terkait
antara konservasi sumberdaya genetik, pengadaan benih, dan pemuliaan pohon.
Konservasi sumberdaya genetik adalah semua kegiatan yang dirancang untuk
melindungi dan mempertahankan keragaman genetik untuk dimanfaatkan secara
lestari.
Posisi konservasi sumberdaya genetik dengan kegiatan pemuliaan pohon
dapat dinyatakan pada Gambar 1.
Gambar1. Posisi konservasi sumberdaya genetik dengan kegiatan pemuliaan pohon
Keragaman genetik P. merkusii strain Kerinci merupakan populasi konserva-si
(populasi dasar) yang menjadi bahan baku untuk kegiatan pemuliaan pohon.
Dengan demikian, pemuliaan pohon harus selalu meningkatkan keragaman
Populasi Perbanyakan
Tinggi
Nilai Genetik
Rendah
Populasi Pemuliaan
Populasi Dasar
(Populasi Konservasi)
Jumlah individu Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
108
genetik.  Populasi konservasi merupakan sumber bahan baku untuk kegiatan
pemuliaan pohon, karena itu jumlah individunya harus banyak dan beragam.
Di pihak lain, nilai genetik populasi konservasi selalu lebih kecil dibandingkan
populasi pemuliaan dan akan lebih kecil lagi dalam populasi perbanyakan.  Dalam
hal populasi pemuliaan (contohnya kebun benih), gen-gen unggul sesuai tujuan
pengusahaannya dikonsentrasikan pada sifat atau sifat-sifat tertentu saja.  Dengan
demikian wajar kalau nilai genetik dalam populasi konservasi jauh lebih rendah
daripada populasi pemuliaan.  Namun perlu diingat bahwa populasi konservasi itu
merupakan bahan baku gen untuk berbagai tujuan pemanfaatan/ pengusahaan,
dan juga merupakan bahan baku gen untuk  diadakan perbaikan sifat (sifat-sifat)
pohon.
Di muka telah dibahas bahwa keragaman genetik  P. merkusii strain  Kerinci
sudah sangat kecil, sehingga perlu diusahakan peningkatan keragaman
genetiknya melalui kegiatan  infusi genetik. Peningkatan keragaman genetik juga
dapat dilakukan melalui hibridisasi terkendali untuk mendapatkan hibrid vigor, dan
melalui kegiatan mutasi buatan dengan mutagen tertentu.
V.  KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Belum pernah ada kajian yang mampu menentukan jumlah pohon P. merkusii
strain Kerinci di TNKS dalam bentuk cagar alam untuk kepentingan eksplorasi.
2. Permudaan alam strain  Kerinci dengan tinggi di bawah satu meter hanya
ditemukan 60 anakan alam, bahkan tidak ditemukan sama sekali di Pungut
Mudik.
3. Dalam kawasan TNKS, strain  Kerinci  jarang sekali ditemukan dalam bentuk
berkelompok karena berasosiasi dengan jenis-jenis kayu daun lebar maupun
kayu daun jarum lainnya.
4. Konservasi ex-situ dengan benih strain Kerinci terkendala sulitnya mendapatkan benih karena produksinya sangat sedikit.
5. Konservasi  ex-situ dengan menggunakan bibit cabutan dari alam praktis
hampir belum pernah dilakukan, baik oleh masyarakat/rakyat maupun
berbagai instansi kehutanan di Indonesia.
6. Sistem peremajaan strain Kerinci yang paling praktis adalah dengan mengumpulkan bibit yang berasal dari semai liar (wildling) yang dikumpulkan dari hutan
alam.
7. Keragaman genetik strain  Kerinci  dalam populasi alam adalah sangat kecil
sampai hampir tidak ada.
8. Tiga unsur yang saling terkait dalam suatu program perbenihan pohon yang
terintegrasi adalah antara konservasi sumberdaya genetik, pengadaan benih,
dan pemuliaan pohon.
9. Populasi hutan alam strain  Kerinci merupakan populasi konservasi (populasi
dasar) yang merupakan bahan baku untuk kegiatan pemuliaan pohon di masamasa mendatang. Kajian Teknik Konservasi Pinus merkusii Strain Kerinci (Hendi Suhaendi)
109
B. Saran
1. Perlu adanya keputusan dari pengambil kebijakan tentang pentingnya
eksplorasi pohon strain Kerinci dan strain Tapanuli dengan metode sensus di
seluruh kawasan konservasi di Sumatera.
2. Perlu dilakukan pertemuan formal antar pengambil kebijakan lingkup
Departemen Kehutanan tentang wacana perlunya pembukaan tajuk untuk
menstimulir pembungaan dan pembijian dalam cagar alam.
3. Untuk meningkatkan keragaman genetik strain Kerinci dan strain Tapanuli perlu adanya kegiatan infusi genetik dari seluruh populasi alam yang ada, dan diperluas dengan populasi land race yang sekarang tersebar di berbagai daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous.  1991. Proceedings of the 10
th
 World Forestry Congress, Paris, 17-26
September 1991, Vol. I-VI.
Armizon, C. Sukmana dan S. Manan. 1995. Okurasi Pinus merkusii Junghn et de
Vries Galur Kerinci Berdasarkan Ketinggian Tempat di Hutan Pegunungan
Cagar Alam Bukit Tapan, Kawasan Taman Nasional Kerinci-Seblat.  Rimba
Indonesia 30 (4): 2-9.
Cooling, E.N.G. 1968.  Fast Growing Timber Trees of the Lowland Tropics No.4.
Pinus merkusii.  Department of  Forestry,  University of Oxford, Commonwealth Forestry Institute, England.
Cordes, J.A.H. 1867.  Het Gescaht Pinus in Het Zuidelijk Hatt Rond. Natuurk
Tijdschr, Med. Indie 29: 130-135.
Danarto, S. 1983.  Studi Fenologi  Pembungaan, Pembuahan dan Penyerbukan
Terkendali Pinus merkusii Jungh Et De Vriese di Sempolan, Jember.  Tesis
Sarjana, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.
Dorman, K.W. 1976. The Genetics and Breeding of Southern Pines. Agriculture
Handbook No. 471.  Forest Service USDA, Washington, D.C.
Harahap, R.M.S. 1984. Geographic Variation in Monoterpene Composition of Pinus
clausa.  Magister Thesis, University of Florida.
_____. 1989.  Variasi Komposisi Monoterpene  Pinus merkusii di Suma-tera.
Buletin Penelitian Kehutanan 4(4): 79-86.
_____.  2000. Uji Asal Benih Pinus Merkusii di Sumatera Utara.  Dalam: Prosiding
Seminar Nasional Status Silvikultur 1999.  Wanagama I, 1-2 Desember
1999, p. 228-232.
Kingmuangkow, S. 1974.  Flowering and Seed Formation of  Pinus merkusii in
Northern Thailand.  Dalam: Ann. Rept. Thai-Danish Pine Project 1969-1974:
49-56, Chiangmai, Thailand.
Lamb, A.F.A. dan E.N.G. Cooling. 1967.  Exploration, Utilization and Conservation
of Low Altitude Tropical Pine Gene Resources.  Department of Forestry,
University of Oxford, Commonwealth Forestry Institute, England.
Laumonier, Y. 1994. The Vegetation and Tree Flora of Kerinci Seblat National
Park, Sumatera. SEAMEO, BIOTROP. Tropical Biodiversity 2(1). Bogor.
Mukhtar, A.S. dan E. Santoso. 1987. Beberapa Aspek Ekologi  Pinus merkusii
Galur Kerinci di Cagar Alam Bukit Tapan, Kerinci, Jambi.  Buletin Penelitian
Hutan 489. Bogor. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
110
Munawar, A.A. 2002. Studi Keragaman Genetik Tusam (Pinus merkusii Jungh et
De Vriese) di Hutan Alam Tapanuli dan Kerinci dengan Analisis Isozim serta
Implementasinya dalam Konservasi.  Tesis Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Radja, M.M. 1971. Aspek-aspek Silvikultur Hutan Alam  Pinus merkusii strain
Kerinci.  Tesis Sarjana, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
Sasrosumarto, S. dan H. Suhaendi. 1985.  Suatu Tinjauan Mengenai Program Pemuliaan Jati (Tectona grandis L.f.) di Indonesia. Badan Litbang Kehutanan,
Jakarta. 26 pp.
Soerianegara, I. dan E. Djamhuri. 1979. Pemuliaan Pohon Hutan. Departemen
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
Siregar, I.Z.  2000. Genetic Aspect of The Reproductive System of Pinus merkusii
Jungh et de Vriese in Indonesia. Ph.D Dissertation of Gottingen, Cullier
Verlag, Gottingen.
Suhaendi, H. 1988a.  Pendugaan Parameter-parameter Genetika-Ekologi dari Beberapa Sifat Kuantitatif dalam Hutan Tanaman  Pinus merkusii strain
Tapanuli dan strain  Aceh. Disertasi Doktor, Fakultas Pasca Sarjana IPB,
Bogor. 187 pp.
_____. 1988b.  Sifat-sifat Morfologi, Biologi Pembungaan dan Genetika dari Pinus
merkusii Jungh et De Vriese.  Jurnal Litbang Kehutanan 4(2): 21-25.
_____., T. E. Komar, and Nurhasybi. 1993. In-Situ Conservation of Forest Genetic
Resources in Indonesia Co-Reviewer  "State-of-the-Art Review", ASEANCanada Forest Tree Seed Centre, Thailand. 66 pp.
_____. 1997. Metode-metode Konservasi Genetik : Kelebihan dan Kekurangannya.   Dalam : Prosiding Diskusi Hasil-Hasil Penelitian, 20-21 Maret
1997 : 49-59.  Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
_____. 2000. Pola Pewarisan Genetik Sifat-sifat Kayu  Pinus merkusii strain
Tapanuli  dan strain  Aceh.    Dalam: Prosiding Diskusi Peningkatan Kualitas
Kayu, 24 Februari 2000: 241-260.  Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.
_____. 2005.  Kajian konservasi Pinus merkusii strain Tapanuli di Sumatera. Jurnal
Analisis Kebijakan Kehutanan 2(1): 45-57.
Sukotjo.  1993.  Konservasi  ex-situ dan in-situ : Manfaat dan Harapan Masa Depan.  Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ekologi dan Silvikultur
pada Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta, 10 Agustus 1993. 26 pp.
Thahar, H. Nasrul. 2005. Wisata : Tidak Hanya Satu Jalan Menuju Kabupaten
Kerinci. Kompas, 9 Sptember 2005.
Van de Veer, E.J.A. dan A. Govers. 1953.  Reaction of  Pinus merkusii on
Defoliation.  Comm. No. 38, Forest Research Institute, Bogor.
Wright, J.W. 1981.  The Role of Provenance Testing in Tree Improvement.  In:
Advances in Forest Genetics. Ed. By P.K.Khosla.  Ambika Pub, New Delhi:
103-114.

Senin, 26 September 2011

Bahan Ajar 2
INTERAKSI ANTARA
POHON - TANAH - TANAMAN SEMUSIM:
KUNCI KEBERHASILAN ATAU KEGAGALAN
DALAM SISTEM AGROFORESTRI
Kurniatun Hairiah, Meine van Noordwijk dan Didik Suprayogo
1. Pendahuluan
Pada sistem pertanian monokultur, jarak tanam yang terlalu dekat akan mengakibatkan
kompetisi akan air dan hara. Bila jarak tanamnya diperlebar maka besarnya tingkat
kompetisi tersebut semakin berkurang. Dalam praktek di lapangan, petani mengelola
tanamannya dengan melakukan pengaturan pola tanam, pengaturan jarak tanam,
pemangkasan cabang dan ranting dan sebagainya.
Pada sistem campuran dari berbagai jenis tanaman atau mixed cropping (pohon dengan
tanaman semusim, atau hanya pepohonan saja), maka setiap jenis tanaman dapat mengubah
lingkungannya dengan caranya sendiri. Sebagai contoh, jenis tanaman yang bercabang
banyak akan menaungi tanaman yang lain. Beberapa tanaman yang jaraknya tidak terlalu
dekat akan memperoleh keuntungan, prosesnya sering disebut dengan ‘facilitation’.
Contohnya, pohon dadap yang tinggi dan lebar sebaran kanopinya memberikan naungan
yang menguntungkan bagi tanaman kopi. Contoh lain, jenis tanaman yang berperakaran
lebih dalam daripada yang lain sehingga lebih memungkinkan untuk menyerap air dan hara
dari lapisan yang lebih dalam. Dalam waktu singkat kondisi lingkungan di sekitar tanaman
akan berubah (ketersediaan hara semakin berkurang), sehingga akhirnya akan menimbulkan
kompetisi antar tanaman.
Pertanyaan 1
· Apabila dua tanaman dari satu jenis yang sama atau dari dua jenis yang berbeda,
ditanam berdampingan dengan jarak yang cukup dekat, apa yang akan terjadi?
TUJUAN
· Memahami interaksi (baik positif maupun negatif) antara tanaman tahunan (pohon)
dengan tanaman setahun (semusim) yang ditanam pada tempat dan waktu yang sama
ditinjau dari penggunanaan cahaya (untuk bagian atas tanaman), air dan hara (akar).
· Mendapatkan gambaran cara pengujian dan penyempurnaan sistem agroforestri di
lapangan
– 20 –
Proses saling mempengaruhi, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan, antar
komponen penyusun sistem campuran ini (termasuk system agroforestri) sering disebut
dengan ‘interaksi’. Secara ringkas digambarkan secara skematis dalam Gambar 1.
Gambar 1. Interaksi antara tanaman tahunan dengan tanaman semusim pada sistem agroforestri (a =
naungan; b = kompetisi akan air dan hara; c = daun gugur (seresah). Pohon berguna dalam menambah C
tanah dan hara lainnya serta sebagai "jaring penyelamat” hara yang tercuci ke lapisan bawah (d = pohon
berperakaran dalam).
2. Interaksi Pohon – Tanah – Tanaman Semusim
Salah satu kunci keberhasilan usaha agroforestri terletak pada usaha meningkatkan
pemahaman terhadap interaksi antar tanaman (tujuan jangka pendek) dan dampaknya
terhadap perubahan kesuburan tanah (tujuan jangka waktu panjang). Guna menghindari
kegagalan agroforestri, ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan yaitu: (a) proses
terjadinya interaksi, (b) faktor penyebab terjadinya interaksi, dan (c) jenis-jenis interaksi.
2.1 Proses Terjadinya Interaksi: langsung atau tidak langsung
Dalam sistem pertanian campuran, kompetisi antar tanaman yang ditanam berdampingan
pada satu lahan yang sama sering terjadi, bila ketersediaaan sumber kehidupan tanaman
berada dalam jumlah terbatas. Kompetisi ini biasanya diwujudkan dalam bentuk hambatan
pertumbuhan terhadap tanaman lain. Hambatan dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Hambatan secara langsung, misalnya melalui efek allelophathy, tetapi hambatan
secara langsung ini jarang dijumpai di lapangan. Hambatan tidak langsung dapat melalui
berkurangnya intensitas cahaya karena naungan pohon, atau menipisnya ketersediaan hara
dan air karena dekatnya perakaran dua jenis tanaman yang berdampingan. Tanaman
kadang-kadang mempengaruhi tanaman lain melalui ‘partai ketiga’ yaitu bila tanaman
Pertanyaan 2
· Sebutkan jenis interaksi yang dipengaruhi oleh iklim, jenis tanah, jenis tanaman dan
pohon; dan sebutkan faktor mana yang dapat dirubah melalui perubahan sistem
pengelolaan.
– 21 –
tersebut dapat menjadi inang bagi hama atau penyakit bagi tanaman lainnya (Gambar 2).
Walaupun pada kenyataannya di lapangan banyak juga tanaman yang ditanam terpisah
pertumbuhannya justru kurang bagus bila dibandingkan dengan yang ditanam bersama
dalam satu petak yang sama (misalnya menanam pohon dadap pada kebun kopi, dadap
disini selain berfungsi sebagai penambah N juga sebagai penaung).
Pemahaman yang mendalam tentang proses terjadinya interaksi antar tanaman (baik pada
spesies yang sama maupun spesies yang berbeda) dalam sistem agroforestri sangat
dibutuhkan agar dapat menentukan pengelolaan yang tepat.
Jenis
tanaman A
Jenis
tanaman B
A Interaksi langsung
Jenis
tanaman A
Jenis
tanaman B
Interaksi tidak langsung
Simetris
atau
asimetris
Sumber alam
B
Jenis
tanaman A
Jenis
tanaman B
Interaksi tidak langsung
Salah satu
atau
keduanya
Musuh
(mis. Gulma, serangga, hama& penyakit)
C
Gambar 2. Bentuk–bentuk kompetisi antar tanaman: (A) spesies A secara langsung menghambat
pertumbuhan spesies B atau sebaliknya, (B) interaksi tidak langsung yaitu dengan merubah lingkungan
pertumbuhan, (C) interaksi tidak langsung yaitu dengan menstimulir pertumbuhan musuh (hama+penyakit)
bagi tanaman
2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Interaksi
Secara umum interaksi yang bersifat negatif dapat terjadi karena (1) keterbatasan daya
dukung lahan yang menentukan jumlah populasi maksimum dapat tumbuh pada suatu
lahan; dan (2) keterbatasan faktor pertumbuhan pada suatu lahan.
2.2.1 Populasi Maksimum
Konsep daya dukung alam merupakan konsep yang juga penting untuk diketahui oleh ahli
ekologi. Konsep ini menggambarkan tentang jumlah maksimum dari suatu spesies di suatu
area, baik sebagai sistem monokultur, atau campuran. Suatu spesies mungkin saja dapat
tumbuh dalam jumlah yang melimpah pada suatu lahan. Apabila dua species tumbuh
bersama pada lahan tersebut, maka salah satu spesies lebih kompetitif daripada yang lain.
– 22 –
Hal ini kemungkinan mengakibatkan spesies ke dua akan mengalami kepunahan (Gambar
3). Di dalam usaha pertanian, terutama tanaman pokok yang diharapkan tumbuh lebih baik.
2.2.2 Keterbatasan Faktor Pertumbuhan
Salah satu sarat terjadinya kompetisi adalah keterbatasan faktor pertumbuhan (air, hara dan
cahaya). Pertumbuhan tanaman mengalami kemunduran jika terjadi penurunan
ketersediaan satu atau lebih faktor. Kekurangan hara di suatu lahan mungkin saja terjadi
karena kesuburan alami yang memang rendah, atau karena besarnya proses kehilangan hara
pada lahan tersebut, misalnya karena penguapan dan pencucian. Kekurangan air dapat
terjadi karena daya menyimpan air yang rendah, distribusi curah hujan yang tidak merata,
atau proses kehilangan air (aliran permukaan) yang cukup besar. Pengetahuan akan
ketersediaan faktor pertumbuhan (air dan hara) dan pengetahuan akan kebutuhan tanaman
ini sangat diperlukan dalam pelaksanaan agroforestri.
Kehilangan satu
species digantikan
oleh species yang
lain dalam jumlah
yang sama
Species A
Jumlah per luasan
Species B
Jumlah per luasan
Kepunahan salah
satu species
Species A
Species B
Produksi ha-1
Produksi ha-1
Penurunan
produksi
Peningkatan
produksi
Species A
Species B
Ukuran
populasi
Waktu
Tingkat ketersediaan
sumber daya alami
A B
C
Gambar 3. (A) kemungkinan adanya 2 species tumbuh bersamaan atau salah satu mengalami kepunahan
bila ada keterbatasan daya dukung lahan; (B) Salah satu species (sp B) yang mengalami kepunahan, di
lain pihak species A masih mampu menimba sumber alam yang telah semakin menipis. Pada sistem
agroforestri tentunya diharapkan semua komponen penyusunnya 'menang', walaupun dalam praktek di
lapangan ada spesies yang agak dikalahkan (C). Contoh untuk menunjukkan adanya penurunan (terjadi
kompetisi) atau peningkatan produksi (terjadi komplementari) dari dua jenis tanaman dalam sistem
campuran (Huxley, 1999).
– 23 –
2.3 Jenis Interaksi Pohon-Tanah-Tanaman
Telah diutarakan pada sub bab terdahulu bahwa menanam berbagai jenis tanaman pada
lahan yang sama dalam sistem agroforestri akan menimbulkan berbagai macam bentuk
interaksi antar tanaman. Jenis-jenis interaksi disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisis interaksi antara 2 jenis tanaman A dan B (dimodifikasi dari Torquebiau, 1994). (0 =
Tidak ada interaksi yang nyata; + = Menguntungkan bagi tanaman utama (pertumbuhannya,
ketahanan terhadap "stress", reproduksi dsb.); - = Merugikan bagi tanaman utama)
Pengaruh interaksi
Macam interaksi terhadap tanaman:
A B
Penjelasan Contoh dalam Agroforestri
Mutualisme
(Mutualism)
+ + Interaksi yang saling
menguntungkan
Mycorrhizae, rhizobium dengan
legume
Fasilitasi
(Facilitation)
+ 0 Satu tanaman (B) membantu
jenis tanaman lainnya (A)
walaupun tidak mutlak diperlukan;
B tidak dipengaruhi
Penghalang angin (Windbreaks),
pohon penaung (shade trees),
Budi daya pagar (hedgerow inter
cropping)
Komensalisme
(Commensalism )
+ 0 Satu jenis tanaman (A) harus
mendapatkan dukungan
tanaman lain (B)(Interaction
obligatory) ; tetapi B tidak
dirugikan
Sebagai tempat rambatan; Bero
(Improved fallows)
Netralisme
Neutralism
0 0 Tidak ada saling pengaruh Pohon tumbuh berpencar
Parasit /
pemangsa
Parasitism/
predation
+ - Satu jenis tanaman (A) harus
menghambat (Interaction
obligatory) yang lain untuk
hidupnya; B dihambat
Hama dan penyakit
Amensalisme - 0 A terhambat; B tidak Allelophathy
Kompetisi dan
penghambatan
(Competition and
interference)
- - Satu jenis tanaman dihambat oleh
tanaman lainnya melalui
persaingan terhadap cahaya, air
dan hara .
Alley cropping (yang tidak
dikelola dengan baik)
Dalam sistem agroforestri, interaksi positif dan negatif dalam jangka pendek terutama
ditekankan pada pengaruhnya terhadap produksi tanaman semusim. Bentuk-bentuk
interaksi tersebut antara lain:
Pada prinsipnya ada tiga macam interaksi di dalam sistem agroforestri (Gambar 4), yaitu:
· Interaksi positif (complementarity = saling menguntungkan): bila peningkatan produksi
satu jenis tanaman diikuti oleh peningkatan produksi tanaman lainnya (Gambar 4a).
· Interaksi netral: bila ke dua tanaman tidak saling mempengaruhi, peningkatan
produksi tanaman semusim tidak mempengaruhi produksi pohon (Gambar 4b) atau
peningkatan produksi pohon tidak mempengaruhi produksi tanaman semusim
(Gambar 4c).
· Interaksi negatif (kompetisi/persaingan = saling merugikan): bila peningkatan
produksi satu jenis tanaman diikuti oleh penurunan produksi tanaman lainnya
(Gambar 4d), ada kemungkinan pula terjadi penurunan produksi keduanya.
– 24 –
a
c d
b
Produksi pohon Produksi pohon
Prod. Tan.semusim Prod. Tan.semusim
Gambar 4. Interaksi positif (a), netral (b dan c), atau negatif (d) antara komponen penyusun agroforestri
(Torquebiau, 1994).
2.3.1 Interaksi Positif (Facilitation):
· Daun dari pepohonan yang gugur ke tanah sebagai serasah berguna sebagai penutup
permukaan tanah (mulsa), meningkatkan penyedian N dan hara lainnya yang berguna
bagi tanaman semusim. Tingkat penyediaan N dari hasil mineralisasi serasah
pepohonan tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitasnya (lihat Bab 6: Neraca Hara).
Serasah yang berkualitas rendah (konsentrasi N rendah, konsentrasi lignin dan polifenol
tinggi) justru merugikan untuk jangka pendek karena adanya immobilisasi N, tetapi
menguntungkan untuk jangka waktu panjang.
· Akar pepohonan membantu dalam daur ulang hara (recycled nutrients) melalui
beberapa jalan yaitu:
a. Akar pohon menyerap hara di lapisan atas dengan jalan berkompetisi dengan
tanaman semusim, sehingga mengurangi pencucian hara ke lapisan yang lebih
dalam. Namun pada batas tertentu kompetisi ini akan merugikan tanaman semusim.
b. Akar pohon berperan sebagai " jaring penyelamat hara" yaitu menyerap hara yang
tercuci ke lapisan bawah selama musim pertumbuhan. Contoh kasus 1 (Rowe et al,
1999; Suprayogo et al, 2000) dapat dijadikan pegangan untuk membuktikan teori
tersebut.
c. Akar pohon berperan sebagai "pemompa hara" terutama pada tanah-tanah subur,
yaitu menyerap hara hasil pelapukan mineral/batuan pada lapisan bawah. Namun
hal ini masih bersifat hipothesis, dan masih perlu penelitian lebih lanjut.
d. Akar-akar yang telah membusuk ini akan menetralisir keracunan Al pada lapisan
yang lebih dalam, sehingga akar tanaman lain dapat tumbuh mengikuti bekas lubang
akar tersebut. Lihat contoh kasus 2.
· Pensuplai Nitrogen tersedia bagi akar tanaman semusim, baik melalui pelapukan akar
yang mati selama pertumbuhan maupun melalui fiksasi N-bebas dari udara (untuk
tanaman legume ). Penyediaan N melalui fiksasi ini dapat dimanfaatkan langsung oleh
akar tanaman semusim yang tumbuh berdekatan.
– 25 –
· Menekan populasi gulma melalui penaungan, dan pada musim kemarau mengurangi
resiko kebakaran karena kelembaban yang lebih terjaga.
· Seringkali mengurangi populasi hama dan penyakit.
· Menjaga kestabilan iklim mikro (mengurangi kecepatan angin, meningkatkan
kelembaban tanah dan memberikan naungan parsial (misalnya Erythrina pada kebun
kopi).
· Mempertahankan kandungan bahan organik tanah dan memperbaiki struktur tanah,
sehingga dapat mengurangi bahaya erosi (dalam jangka panjang).
2.3.2 Interaksi Negatif (Interference):
· Naungan oleh pohon akan mengurangi intensitas cahaya yang dapat dipergunakan
oleh tanaman semusim.
· Kompetisi antara akar pohon dengan tanaman semusim untuk menyerap air dan hara
pada lapisan atas tanah,
· Pohon dan tanaman semusim dapat menjadi inang (host) hama dan penyakit.
· Akar-akar pohon yang sudah busuk dapat menciptakan saluran air sehingga
menpercepat kehilangan unsur hara melalui aliran air ke bawah atau ke samping (vertical
and lateral flows).
– 26 –
Contoh Kasus 1. Akar pohon sebagai jaring penyelamat hara
Pembuktian akar pohon sebagai jaring penyelamat hara dilakukan dengan mengukur jumlah N
tercuci pada kedalaman 0.8 m dan > 0.8 m pada sistem budi daya pagar di Pakuan Ratu,
Lampung. Tanaman pagar yaitu petaian (Peltophorum) dan gamal (Gliricidia) ditanam pada
tahun 1985. Tanaman pagar tersebut ditanam berbaris dengan jarak tanam 4 x 0.5 m atau
sebagai campuran baris petaian berselang-seling dengan gamal. Tanaman semusim yang
ditanam di antara baris tanaman pagar adalah jagung (musim tanam I) dan diikuti oleh kacang
tanah (musim tanam II). Jagung dipupuk N sebanyak 90 kg ha-1. Jumlah N mineral (NH4
+ dan
NO3
- ) yang diperoleh dibandingkan dengan petak jagung monokultur, tanpa tanaman pagar
(sebagai kontrol). Tinggi rendahnya konsentrasi N-mineral yang terukur menunjukkan efektifitas
akar pohon dalam menyerap N yang tercuci. Semakin rendah konsentrasi N mineral yang
tercuci berarti semakin efektif akar tanaman pohon dalam menyerap N yang tercuci.
Hasil pengukuran dapat dilihat pada Gambar 4. Tidak ada perbedaan jumlah air drainasi pada
semua petak. Namun bila ditinjau dari konsentrasi N –mineral (NH4
+ dan NO3
- ) baik pada
kedalaman 0.8 m maupun > 0.8 m, ternyata konsentrasi tertinggi dijumpai pada petak kontrol.
Konsentrasi terendah dijumpai pada petak petaian. Konsentrasi N-mineral pada petak gamal,
campuran petaian/gamal berada diantaranya.
A. Air drainasi keluar dari kedalaman tanah 0.8 m
Air drainasi (mm)
0
50
100
150
200
250
B. Konsentrasi mineral N (NH4
+-N+NO3
--N) dalam larutan tanah di kedalaman 0.8 m
Konsentrasi mineral N (mg l-1)
0
10
20
30
40
C. Pencucian mineral N (NH4
+
+ NO3
-
) keluar dari kedalaman tanah 0.8 m
Hari setelah tanam jagung
14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 98 105 112 119 126 133
Pencucian mineral N (g m-2)
0
1
2
3
pemupukan urea-N 60 kg ha-1
dan pemangkasan gliricidia
tanam kacang tanah dan
pemangkasan peltophorum dan gliricidia
Gambar 5. Air yang bergerak ke bawah (air drainasi), konsentrasi N dan jumlah N yang tercuci pada
kedalaman 0.8 m pada sistem budi daya pagar, (·) = petaian (o) = gamal, (t) = campuran petaian +
gamal, (?) = jagung monokultur (kontrol) dengan pemupukan N 90 kg ha-1. Tanda ‘bar”
menunjukkan nilai ‘standard error of the difference’ (s.e.d.)
– 27 –
Contoh Kasus 2. Manfaat liang akar pohon yang telah mati
bagi tanaman semusim
Pada tanah masam, liang bekas akar pohon yang telah mati, berguna untuk pertumbuhan akar
tanaman lainnya. Tingkat keracunan Al di dalam liang ternyata lebih rendah daripada tanah di
luar liang. Dekomposisi dan mineralisasi akar pohon akan melepaskan beberapa asam-asam
organik seperti sitrat, malat dan fulfat yang dapat mengkelat Al menjadi bentuk yang tidak
beracun bagi tanaman. Dalam Tabel 2 disajikan contoh hasil pengukuran pH tanah pada
berbagai kedalaman profil tanah yang dibuat pada petak budidaya pagar di Ultisol, Onne,
Nigeria. Sebagai pembanding dua kolom terakhir menunjukkan pH di dalam dan di luar liang
akar pada lapisan tanah bawah.
Tabel 2. pH tanah pada berbagai kedalaman dalam profil tanah yang dibuat pada petak budidaya
pagar dan di dalam liang akar pada lapisan tanah bawah pada Ultisol, Onne, Nigeria
(Hairiah & van Noordwijk, 1986).
Kedalaman (cm)
0-20 20-30 30-60
Di luar
liang
Di dalam
liang
pH-H2O 3.6 3.6 3.6 3.7 3.4
pH-KCl 4.7 4.5 4.4 4.4 4.2
Dari data tersebut di atas dapat dilihat bahwa
pH di dalam liang akar pohon relatif lebih
rendah dari pada tanah di sekelilingnya atau
tanah dalam profil tanah. Mengapa akar ubi
kayu masih lebih suka tumbuh pada liang
akar pohon tersebut? (lihat Gambar 5.). Ada
3 kemungkinan yang menyebabkan akar
ubikayu dapat tumbuh pada liang akar pohon:
(a) keracunan Al rendah, (b) lebih kaya akan
hara (c) struktur tanah lebih remah.
Gambar 6. Pemandangan di dalam tanah
yang meununjukkan peranan penting liang
yang terbentuk dari akar pohon yang telah
mati. Tanah di dalam liang berwarna lebih
gelap dan gembur dari pada tanah di
sekelilingnya, sehingga lebih banyak akar
yang tumbuh mengikuti liang tersebut
sampai ke lapisan bawah. Akar pohon mati
membentuk liang dan akar ubi kayu tumbuh
di dalamnya menembus lapisan bawah pada
Ultisol di Onne Nigeria (Foto: Meine van
Noordwijk, 1986)
– 28 –
3. Bagaimana Menganalisa Interaksi Pohon Dan Tanaman Semusim
Secara Kuantitatif?
Masukan Keluaran
Keberhasilan sistem tumpangsari ditentukan oleh keseimbangan antara pengaruh positif
dan negatif dari masing-masing tanaman, yang bisa dianalisa dengan menggunakan
persamaan sederhana (persamaan 1) sebagai berikut:
di mana,
Ysystem = produksi total dari sistem pohon + tanaman semusim
Ypohon = produksi dari hasil panen pohon pada sistem tumpangsari
Ytan.pangan = produksi dari hasil panen tanaman semusim pada sistem tumpangsari
Ytan.pangan,0= produksi tanaman semusim pada sistem monokultur, pada jenis tanah yang sama .
F = pengaruh positif dari pohon terhadap tanaman semusim melalui perbaikan
kesuburan tanah
C = pengaruh negatif dari pohon terhadap tanaman semusim melalui kompetisi akan
cahaya, air dan hara.
Apakah sistem agroforestri menguntungkan bila dibandingkan dengan tanaman
semusim monokultur atau pohon monokultur (woodlots)?
Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan tersebut di
atas:
Terjadi interaksi positif, bila F > C
Terjadi interaksi negatif, bila F < C.
Perhitungan ini dapat dilakukan melalui tiga pendekatan: a) Model mulsa dan naungan; b)
Model Penggunaan air, hara, dan cahaya (WaNuLCAS); dan kemudian c) Analisa dan
sintesis interaksi pohon-tanah-tanaman.
3.1 Model Mulsa dan Naungan (Mulch + Shade Model)
Pohon yang cepat pertumbuhannya memberikan pengaruh positif dengan menghasilkan
banyak seresah sebagai mulsa, namun pohon tersebut juga memberikan pengaruh negatif
dengan mengakibatkan naungan yang besar. Model simulasi sederhana yang hanya
menggunakan persamaan matematik biasa untuk menganalisa kedua pengaruh tersebut
dalam sistem agroforestri telah dikembangkan oleh Van Noordwijk (1996a). Model tersebut
dikembangkan hanya berdasarkan pada produksi mulsa dan dampaknya terhadap perbaikan
kesuburan tanah, dan memperhitungkan adanya dampak negatif melalui naungan. Model
Ysystem = Ypohon + Ytan.pangan = Ypohon + Ytan.pangan,0 + F - C
– 29 –
tersebut juga memperhitungkan besarnya nisbah mulsa: naungan sebagai dasar
perbandingan antar spesies pohon. Dengan model tersebut, dapat diperkirakan bahwa
pengaruh positif mulsa untuk perbaikan kesuburan tanah terutama terjadi pada tanah-tanah
miskin, sedangkan pengaruh negatif dari naungan lebih banyak terjadi pada tanah-tanah
yang sudah subur.
Kelemahannya, model tersebut tidak mempertimbangkan adanya perubahan interaksi
antara pohon dengan tanaman semusim yang berhubungan dengan penyediaan air tanah,
dinamika N, pertumbuhan tanaman semusim dan pohon. Memasukkan parameterparameter
tersebut ke dalam model, akan merupakan satu langkah maju untuk
mengembangkan model menjadi model simulasi yang dinamis; yang dapat mengestimasi
sumber energi di luar maupun di dalam tubuh tanaman dan dapat juga dipakai untuk
memperhitungkan keluaran energi per hari (daily resource flows) dan penggunaannya (daily
resource capture).
3.2 Model Penggunaan Air Hara dan Cahaya (WaNuLCas: Water, Nutrient
and Light Capture)
Model simulasi WaNuLCAS telah dikembangkan baru-baru ini (Van Noordwijk dan
Lusiana, 1999) yang mesintesis proses-proses penyerapan air, hara dan cahaya pada
berbagai macam pola tanam dalam sistem agroforestri. Model WaNuLCAS ini memasukkan
interaksi yang terjadi antara pohon dan tanaman semusim seperti yang telah digambarkan
pada Gambar 6.
Model ini berpijak pada program STELLA II Ò dengan mempertimbangkan:
· Neraca air dan N pada empat kedalaman dari profil tanah, serapan air dan hara oleh
tanaman semusim dan pohon yang ditentukan oleh total panjang akar dan
kebutuhan tanaman.
· Sistem pengelolaan tanaman seperti pemangkasan cabang pohon, jarak pohon,
pemilihan spesies yang tepat dan berbagai dosis pemberian pupuk.
· Karakteristik pohon, termasuk distribusi akar, bentuk kanopi, ‘kualitas’ seresah,
tingkat pertumbuhan maksimum dan kecepatan untuk pulih kembali setelah
pemangkasan.
Kelebihan lain dari model ini adalah dapat dipakai pada sistem tumpangsari (simultaneous)
maupun rotasi, sehingga akan membantu peneliti untuk memperdalam pengertian akan
kelanjutan dari sistem ‘bera’ menuju sistem yang menetap ‘tumpangsari’.
Persamaan interaksi pohon-tanah-tanaman semusim dapat dianalisa sebagai berikut:
· Selisih antara pengaruh pohon untuk jangka pendek (F1) dan panjang (Fw) terhadap
kesuburan tanah
· Memisahkan kompetisi antara bagian atas tanah (Cl) dan bagian bawah tanah
(Cn+w).
– 30 –
Gambar 7.
Komponenkomponen
penyusun
dalam model
WaNuLCAS.
Neraca untuk input hara dan air dalam sistem agroforestri dapat dihitung dengan
persamaan 2 sebagai berikut:
Di mana,
DTersimpan = jumlah hara yang dapat tersimpan dalam tanah
Recycle = jumlah hara yang dapat diambil dari lapisan bawah
Upttan semusim = Jumlah serapan hara pada tanaman semusim
Uptpohon,komp = Jumlah serapan hara pada pohon dalam sistem agroforestri
Uptpohon,non komp = Jumlah serapan hara pada pohon dalam sistem monokultur
Kehilangan = Jumlah hara yang hilang dari dalam tanah
Parameter Uptpohon,nonkompetitif mewakili fungsi akar pohon sebagai “jaring penyelamat hara”
untuk hara yang tercuci ke lapisan bawah yang terjadi selama musim pertumbuhan (Van
Noordwijk et al., 1996), maupun sebagai “pemompa hara” pada lapisan bawah (Young,
1997). Penjabaran lebih rinci tentang parameter-parameter yang tertulis dalam persamaan
tersebut di atas disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Penjabaran parameter pada persamaan 2 untuk penyerapan sumber energi oleh pohon dan
tanaman semusim dalam sistem agroforestri.
Parameter Air Nitrogen Cahaya
Input (masukan) Curah hujan, irigasi,
runon-runoff
Pemupukan & masukan
organik
Total radiasi harian
Recycle (daur ulang) Hydraulic pada akar
tanaman
Seresah, pangkasan, sisa
panen
-
UptakeCrop (serapan) Sair_diserap-crop N_fiksasi (Crop) +
SN_diserap-crop
Scahaya diserap-crop
UptakePohon,kompetisi
(serapan)
Stopair-diserap-pohon StopN_diserap-pohon Scahaya diserap pohon1,2
Uptakepohon,Noncomp
(serapan)
Ssubair_diserap-pohon N_fiksasi(pohon) +
SsubN_diserap-pohon
Cahaya diserap pohon3
Kehilangan SPerkolasi dari Zona
terendah
SPencucian dari 1 - zona
terendah
Scahaya yg diserap
Dtersimpan DKandungan air D(Nmineral & BOT) -
Keterangan:
Akar tanaman semusim diasumsikan mendominasi ‘lapisan atas’ sedang akar pohon mendominasi ‘lapisan bawah’; huruf
subscript 1, 2 dan 3 mewakili zonasi (jarak) terhadap pohon. (Crop=tan.pangan; run on= aliran permukaan masuk ke dalam
plot; run off= aliran permukaan ke luar plot; N-mineral = NO3
- + NH4
+, BOT = Bahan Organik Tanah)
kehilangan
tan , ,
D = +Re - - - - pohon nonkomp
Upt
pohon komp
Upt
semusim
tersimpan Masukan cycle Upt
– 31 –
3.3 Bagaimana Caranya Menganalisis dan Mensintesis Interaksi Pohon-
Tanah-Tanaman Semusim pada Sistem Agroforestri?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, tiga langkah pendekatan melalui penetapan
jenis perlakuan dalam percobaan sampai kepada penggunaan model WaNuLCAS disajikan
pada Tabel 4 (Van Noordwijk et al., 1998). Dalam Tabel tersebut disajikan jenis-jenis
percobaan yang dilakukan untuk mengukur komponen dalam persamaan, pengukuran
proses yang terjadi secara kuantitatif, sintesa model untuk melakukan perbaikan pengelolaan
agroforestri.
Tabel 4. Proses analisa dan sintesa interaksi pohon-tanah-tanaman dalam agroforestri.
Yc = Y0 + F1 + Fw + Cl + Cw+n + M
Produksi total
tanaman pada
sistem
tumpangsari
Produksi
tanaman
pada sistem
monokultur
Pengaruh
langsung
terhadap
Kesuburan
Pengaruh jangka
panjang terhadap
kesuburan tanah
Kompetisi
akan
cahaya
Kompetisi
akan air dan
hara
Pengaruh
iklim Micro
1. Methodologi percobaan Transfer
bahan organik
sbg mulsa
Efek residu
(pohon ditebang
dibandingkan dng
kontrol)
pohon
ditebang
dibanding
kan dengan
kontrol
Pemasangan
sekat akar
(root barriers)
2. Pengertian akan proses
yang berlangsung
Kualitas
seresah,
kecepatan
dekomposisi +
mineralisasi
Fraksionasi BOT
& fungsinya
Bentuk
kanopi &
sebaran
cahaya
Pola sebaran
akar
3. Sintesis model W a N u L C A S
Perlu dicatat bahwa model matematik di sini hanyalah alat bantu yang bisa dipakai untuk
meramalkan terjadinya interaksi antara tanaman semusim dan pohon, dan interaksi tersebut
sangat dipengaruhi oleh tanah, iklim, keadaan fisik dan morfologi pohon (tree architecture).
Dengan demikian model simulasi tersebut perlu divalidasi pada berbagai kondisi yang
sebenarnya di lapangan.
Pertanyaan 3
· Bagaimana caranya memisahkan antara interaksi positif dan negatif yang ada pada
sistim agroforestri?
· Buatlah rencana penelitian secara garis besar, perlakuan apa yang akan anda tetapkan
untuk mengukur F dan C secara terpisah ?
– 32 –
4. Bagaimana Merancang Percobaan di Lapangan untuk Memisahkan
Pengaruh Positif dan Negatif Pohon?
Rancangan yang diperlukan untuk mengukur interaksi pohon-tanah-tanaman di lapangan
perlu ditata secara seksama, sebagai contoh lihat contoh kasus 3 di bawah ini.
Contoh kasus 3. Interaksi pohon dan tanaman pangan pada sistim
budidaya pagar (hedgerow intercropping system)
Berikut adalah contoh bagaimana mengevaluasi interaksi pohon dan tanaman pangan secara
kuantitatif (seperti tercantum pada Tabel 4) pada sistim budi daya pagar berumur 7 tahun di
Lampung. Tanaman jagung dipakai sebagai tanaman indikator, yang ditanam pada loronglorong
diantara tanaman pagar.
Tujuan percobaan :
· Menentukan secara kuantitatif besarnya serapan cahaya oleh tanaman pagar.
· Menentukan secara kuantitatif besarnya kompetisi akar dalam menyerap air dan hara.
· Menentukan secara kuantitatif pengaruh residu dari pohon (tanaman pagar) setelah pohon
ditebang
Penyusunan percobaan budidaya pagar:
Pada petak utama ditanam enam spesies tanaman pagar yang ditanam pada tahun 1986, yaitu:
(a) Peltophorum dasyrrachys, (b) Gliricidia sepium, (c) Campuran selang-seling antar baris
Peltophorum dan Gliricidia, (d) Calliandra calothyrsus, (e) Leucaena leucocephala, dan (f)
Flemingia congesta. Sebagai kontrol, lahan tidak ditanami tanaman pagar, kemudian petak
dibagi menjadi 4 untuk menguji respon tanaman terhadap 4 dosis pemupukan N:
· 0 kg ha -1
· 45 kg ha-1
· 90 kg ha-1
· 135 kg ha-1
Bagaimana menyusun perlakuan untuk mengevaluasi interaksi antara tanaman pagar dan
tanaman pangan?
Dari petak utama dan anak petak tersebut di atas, maka dapat dipisahkan pengaruh positif dan
negatif pohon terhadap tanaman pangan melalui analisis hasil sebagai berikut:
Parameter Perlakuan
Naungan 1. Dengan Pemangkasan Tajuk
2. Tanpa Pemangkasan Tajuk
Kompetisi Air dan Hara 1. Dengan Penyekat Akar
2. Tanpa Penyekat Akar
Mulsa 1. Dengan Penambahan Biomas sbg mulsa
2. Tanpa Penambahan Biomas
Pengaruh Residu Tanaman (pengaruh
jangka panjang)
1. Dengan Penebangan Pohon/Tanaman Pagar
2. Tanpa Penebangan Pohon/Tanaman Pagar
Total Plot Ada 8 sub plot per species pohon
– 33 –
Contoh kasus 3. (Lanjutan)
Hasil
Hasil dari percobaan ini menunjukkan bahwa Peltophorum secara konsisten memberikan
pengaruh yang menguntungkan terhadap produksi tanaman semusim (jagung) selama 2 musim
tanam. Setelah penebangan tanaman pagar (umur 8 tahun) dan diangkut keluar plot, ternyata
tanaman jagung yang ditanam pada lahan tersebut menunjukkan respon yang sangat nyata
terhadap 'pengaruh residu' yang ditinggalkan oleh pohon. Pengaruh yang ditinggalkan oleh
pohon bisa berupa kesuburan tanah yang 'baik', yang dapat dievaluasi dengan membandingkan
produksi jagung yang diperoleh pada petak tersebut dengan produksi jagung pada petak kontrol
(Gambar 8A). Berdasarkan data produksi rata-rata selama dua musim tanam, dapat dilihat
bahwa produksi yang diperoleh pada petak Calliandra dan Leucaena lebih tinggi bila
dibandingkan dengan produksi yang diperoleh dari penambahan pupuk N sebanyak 135 kg ha-1.
Hal ini menunjukkan besarnya peranan bahan organik (terutama yang berasal dari akar) dari ke
dua tanaman tersebut terhadap perbaikan kesuburan tanah (F).
Namun demikian untuk kondisi 'normal' (masukan dari tanaman bagian atas dan bagian bawah
tanaman), hanya Peltophorum yang mampu memberikan produksi jagung lebih tinggi dari pada
kontrol. Perbedaan terbesar dikarenakan kecilnya pengaruh naungan, pengaruh pemberian
mulsa dan interaksi bawah tanah (Gambar 8B).
Pada musim tanam ke dua (bl Februari – Mei), produksi tanaman rendah pada semua
perlakuan, karena kondisi yang lebih kering daripada tahun-tahun sebelumnya (Gambar 9).
Pada kondisi ini, jagung menunjukkan respon yang negatif terhadap pemupukan N (produksi
terendah diperoleh pada tingkat pemupukan N tertinggi), tetapi residu pohon masih
menunjukkan pengaruh positif. Tidak ada perbedaan pengaruh antara pemberian mulsa
sebanyak 9 Mg ha-1 (normal) dengan pemberian 18 Mg ha-1. Informasi ini sangat
menguntungkan untuk tujuan praktis di lapangan. Faktor pembatas utama pertumbuhan
tanaman pada kondisi ini nampaknya adalah ketersediaan air, karena ketersediaan P telah
dikoreksi dengan menambahkan pupuk P ke semua plot.
Tabel 5 memberikan ringkasan analisis interaksi pohon dan tanaman jagung berdasarkan pada
tingkat perbaikan kesuburan tanah (F) dan kompetisinya (C), yang ditunjukkan dengan produksi
jagung yang diperoleh. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa Peltophorum memberikan
neraca yang positif, pengaruh positifnya lebih besar dari pada pengaruh negatifnya. Spesies ini
memiliki daya kompetisi lebih rendah dari pada spesies lainnya dikarenakan: sistim
perakarannya yang dalam dan memiliki sebaran kanopi yang lebih terpusat di dekat batang
pokoknya, sehingga memberikan nisbah mulsa: naungan yang lebih tinggi.
Tabel 5. Analisis interaksi pohon dan tanaman pangan berdasarkan pengaruhnya terhadap
kesuburan tanah (F) dan kompetisi (C) terhadap produksi jagung.
Spesies Pengaruh kesuburan,
%
Pengaruh kompetisi,
(%)
Interaksi,
%
Leucaena 152 -159 -7
Calliandra 120 -115 +5
Peltophorum 58 -26 +32
Flemingia 37 -89 -52
Gliricidia 19 -60 -41
– 34 –
Contoh kasus 3. (Lanjutan)
Gambar 8. Pengaruh jangka panjang (residu tanaman) terhadap produksi biji jagung berdasarkan
data rata-rata dua musim tanam (A) dan interaksi positif dan negatif dari tanaman pagar pada sistem
budidaya pagar (B). Perlakuan kontrol adalah mencerminkan respon tanaman jagung monokultur
terhadap pemupukan N (s.e.d = standard error of deviations).
Gambar 9. Pengaruh pemberian mulsa pada musim kemarau terhadap produksi biji jagung.
(C = Calliandra, F = Flemingia, P=Peltophorum , G=Gliricidia, L=Leucaena)
– 35 –
Hasil dan Keterbatasan model
Dari segi biofisik, sistem agroforestri memberikan keuntungan bila sebaran tajuknya tidak
membatasi penyerapan cahaya bagi tanaman semusim. Pendekatan empiris secara langsung
untuk mengkuantifikasi pengaruh menguntungkan dari bagian atas tanah relatif lebih
mudah daripada bagian bawah tanah. Sumber energi (resources) yang tersimpan untuk jangka
panjang (misalnya ketersediaan bahan oragnik tanah) menimbulkan kesukaran untuk
memutuskan apakah sumber tersebut dapat atau tidak dipakai di luar konteks agroforestri.
Guna menghasilkan estimasi keuntungan per musim, model simulasi untuk Interaksi
Pohon-Tanah dan Tanaman Semusim dalam sistem agroforestri harus lebih
mempertimbangkan pengaruh masing-masing komponen dalam menyerap air dan hara
setiap hari.
5. Mengelola Interaksi Pohon-Tanah-Tanaman
Dalam sub-bab sebelumnya, telah diuraikan berbagai macam interaksi positif (yang
menguntungkan) dan yang negatif (merugikan). Dalam studi kasus 3 juga ditunjukkan
bahwa jagung menghasilkan produksi yang terbesar jika dikombinasikan dengan
Pelthophorum, dikarenakan pengaruh positifnya yang lebih besar dibandingkan dengan
pengaruh negatifnya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa suksesnya sistem
agroforestri bukan hanya terletak pada pemilihan jenis pohon yang menguntungkan. Kunci
keberhasilan dari sistem ini sangat tergantung dari pengelolaan pohon yang dapat menekan
pengaruh yang merugikan dan memaksimalkan pengaruh yang menguntungkan (dengan
kebutuhan tenaga kerja yang masih dapat diterima).
5.1 Menekan pengaruh negatif pohon
Interaksi pohon-tanah-tanaman tergantung pada pertumbuhan dan bentuk spesifik dari
pohon, baik pada bagian tajuk maupun akar tanaman. Sangatlah menarik untuk dikaji
seberapa besar aspek-aspek tersebut dapat dipengaruhi oleh adanya pengelolaan tajuk
tanaman, pengelolaan itu antara lain meliputi:
Mengatur tajuk pohon
Tinggi tanaman semusim biasanya lebih rendah dari pada pohon. Hal ini menyebabkan
pohon dapat menciptakan naungan, sehingga menurunkan jumlah cahaya yang dapat
dipergunakan tanaman semusim untuk pertumbuhannya. Untuk mengurangi pengaruh
merugikan pohon terhadap tanaman semusim tersebut, petani biasanya mengatur jarak
tanam sekaligus melakukan pemangkasan beberapa cabang pohon.
Mengatur pertumbuhan akar
Dalam melakukan pemangkasan cabang pohon, ada dua hal yang perlu diperhatikan dengan
seksama adalah tinggi pangkasan dari permukaan tanah dan frekuensi pemangkasan. Tinggi
pangkasan batang yang terlalu dekat dengan permukaan tanah akan mendorong
terbentuknya akar-akar halus pada tanah lapisan atas, sehingga peluang untuk terjadinya
kompetisi akan air dan hara dengan tanaman semusim menjadi lebih besar. Hal yang sama
juga akan terjadi bila frekuensi pemangkasan tinggi. Dangkalnya sistem perakaran pohon
sebagai akibat pengelolaan pohon yang kurang tepat ini juga akan merugikan pertumbuhan
pohon itu sendiri. Perakaran yang dangkal mengakibatkan pohon menjadi kurang tahan
terhadap kekeringan. pada musim kemarau. Contoh kasus yang terjadi di lapangan dapat
dilihat pada contoh kasus 4.
– 36 –
Contoh kasus 4. Kapan dan pada ketinggian berapa pemangkasan
pohon dilakukan?
Percobaan lapangan dilakukan
pada tanah Ultisol, di Pakuan
Ratu, Lampung, bertujuan
untuk mengetahui pengaruh
tinggi pangkasan pohon
terhadap sebaran akar pada
pohon petaian (Peltophorum)
dan Calliandra calothyrsus.
Tanaman dipangkas pada
ketinggian yaitu: 0.50; 0.75
atau 1.0 m dari permukaan
tanah. Hasilnya menunjukkan
bahwa tinggi pangkasan yang
rendah (dekat dengan
permukaan tanah)
mengakibatkan tanaman
membentuk lebih banyak akar
kecil pada lapisan permukaan
0-10 cm. (Gambar 8 dan 9).
Hasil yang sama akan
diperoleh bila tajuk sering
dipangkas.
Gambar 10. Sebaran akar Peltophorum dan Calliandra pada
kedalaman 10 cm setelah 6 bulan dipangkas pada berbagai
ketinggian. Semakin rendah tingkat pangkasan pohon semakin
banyak akar halus dijumpai pada bagian permukaan tanah
(Hairiah et al, 1992)
Adanya pemangkasan tajuk tanaman menyebabkan berkurangnya aktivitas akar.
Perttumbuhan tajuk tanaman kembali akan diikuti pula oleh pertumbuhan akar-akar baru.
Hasil penelitian ini merupakan informasi yang berguna bagi petani yang melakukan praktek
wanatani di lahannya terutama pada daerah-daerah kering. Semakin banyak akar yang
terbentuk pada lapisan atas, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya kompetisi akan
air dan hara antar tanaman. Tanaman yang memiliki perakaran dangkal biasanya kurang tahan
terhadap kekeringan. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa pemangkasan pertama
sebaiknya dilakukan bila tanaman telah cukup dewasa (sekitar 2 tahun) di mana akar tanaman
telah tumbuh cukup dalam. Pelajaran berguna yang bisa diambil adalah:
· Tinggi pangkasan dilakukan pada ketinggian minimal 0.75 m
· Pemangkasan pertama sebaiknya dilakukan bila pohon telah berumur minimal 2 tahun
Gambar 11. Foto
akar petaian
(Peltophorum ) yang
dipangkas setinggi
50 cm (pohon
sebelah kiri); dan 75
cm (pohon sebelah
kanan) (Foto:
Kurniatun Hairiah).
– 37 –
Cara menanam pohon di lapangan juga menentukan kedalaman perakaran. Bibit pohon
yang ditanam langsung dari biji biasanya diperoleh sistem perakaran yang cenderung lebih
dalam daripada yang ditanam berupa stek batang, atau melalui persemaian dalam polibag.
Contoh kasus yang berhubungan dengan penyediaan bibit pohon tersebut dapat dilihat
pada contoh kasus 5.
Contoh kasus 5. Teknik penanaman pohon yang tepat untuk mendapatkan
perkembangan akar yang dalam.
Percobaan dilakukan di lapangan di daerah Pakuan Ratu, Lampung, untuk mendapatkan teknik
penyediaan bibit pohon yang tepat agar diperoleh distribusi sistem perakaran yang dalam. Jenis
pohon yang dicoba adalah petaian (Peltophorum) dan gamal (Gliricidia). Teknik penyediaan
bibit petaian yang dibandingkan adalah: (a) biji ditanam langsung di lapangan, (b) menanam
bibit cabutan (putaran). Sedangkan untuk gamal adalah: (a) biji ditanam langsung di lapangan,
(b) menanam dari stek sepanjang 50 cm. Pengukuran total panjang akar (Lrv) dan berat
biomasa tajuk dilakukan setelah tanaman berumur 1 tahun, dengan selang periode pengamatan
3 bulan.
Hasil pengamatan total panjang akar (Lrv, cm cm-3 tanah) pada periode pertama (umur 15
bulan) menunjukkan bahwa menanam pohon langsung dari biji memberikan total panjang akar
lebih tinggi dari pada dari cabutan atau stek (Gambar 10, atas). Namun pada periode
pengamatan berikutnya, perbedaan tersebut secara bertahap mengecil. Pada periode ke tiga,
tidak dijumpai lagi adanya perbedaan total panjang akar dari ke dua teknik penanaman pada ke
2 jenis tanaman yang diuji (Gambar 10, bawah).
Penanaman pohon langsung dari biji, sebenarnya lebih murah dan tidak membutuhkan tenaga
yang banyak. Namum pertumbuhan pohon yang ditanam dengan teknik ini sangat lambat pada
awalnya, sehingga memerlukan tenaga ekstra untuk penanggulangan gulma di sekeliling
pohon. Bila penyediaan stek memungkinkan, maka teknik penanaman stek lebih
menguntungkan karena pohon tumbuh dengan cepat sehingga menutupi permukaan tanah.
Dengan demikian mengurangi tenaga kerja untuk penyiangan. Jadi kedua teknik penanaman
sama-sama memiliki keuntungan dan kerugian. Petani dapat mencoba sendiri berbagai teknik
penanaman yang lain pada berbagai pohon yang diinginkan, dengan mengamati pertumbuhan
pohon di atas dan di bawah tanah.
Gambar 12. Total
panjang akar (Lrv)
petaian dan gamal
pada berbagai
kedalaman tanah
dengan perlakuan
teknik penanaman
log Lrv
Kedalaman, cm
G-biji
G-stek
P-biji
P-cabutan
Kedalaman, cm
-1.2 -1.0 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2
0 - 10
10 - 20
20 - 30
30 - 40
40 - 50
50 - 60
0 - 10
10 - 20
20 - 30
30 - 40
40 - 50
50 - 60
– 38 –
5.2 Meningkatkan Pengaruh Positif Pohon: Pemilihan Jenis Tanaman
Naungan
Besarnya pengaruh naungan pohon dalam agroforestri menyebabkan tidak semua jenis
tanaman dapat ditanam bersama pepohonan. Oleh karena itu pemilihan jenis tanaman yang
toleran terhadap naungan dalam agroforestri sangat diperlukan. Lampiran 1 memberikan
informasi tentang jenis-jenis tanaman yang sesuai pada berbagai zone agroekosistem di
Jawa.
6. Penutup
Dari uraian di atas jelas bahwa setiap komponen penyusun agroforestri berperan dalam
mengubah lingkungannya. Perubahan lingkungan ini dapat merugikan ataupun
menguntungkan komponen yang lain baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Keberhasilan usaha pertanian dengan menggunakan sistem agroforestri sangat tergantung
pada tingkat pemahaman interaksi antara pohon-tanah-tanaman semusim. Pemahaman
interaksi ini dapat berdasarkan pengamatan, pengalaman, maupun penelitian di lapangan.
Model simulasi interaksi pohon-tanah-tanaman ini, contohnya WaNuLCAS, sangat
membantu dalam memahami proses-proses yang terjadi. Pengalaman menunjukkan bahwa
pada dasarnya pengelolaan agroforestri terletak pada usaha menekan pengaruh yang
merugikan dan mengoptimalkan pengaruh yang menguntungkan, dengan mengatur
penampilan fisik dan morfologi pohon.
Saran pengelolaan pohon
· Naungan dikurangi dengan jalan pemangkasan cabang pohon selama musim tanam,
tetapi dibiarkan tumbuh pada musim kemarau untuk menekan pertumbuhan gulma
(misalnya alang-alang).
· Pemangkasan pertama bisa dilakukan bila pohon telah berumur minimal 2 tahun.
· Tinggi pangkasan minimal 75 cm dari permukaan tanah. Pemangkasan lebih rendah
dari 75 cm akan menyebabkan pertumbuhan akar pohon terpusat pada lapisan tanah
atas, sehingga menimbulkan kompetisi dengan tanaman semusim.
· Frekuensi pemangkasan tidak lebih dari 3x dalam setahun. Pemangkasan tajuk yang
terlalu sering mendorong terbentuknya akar halus pada lapisan atas.
· Teknik menanam pohon dapat dilakukan dengan jalan menanam biji langsung di
lapangan, stek atau dari bibit cabutan tergantung dari bahan tanam dan tenaga yang
tersedia. Bila bahan tanam stek tersedia menanam stek lebih cepat dan mengurangi
populasi gulma.
– 39 –
Bahan Bacaan
Buku Ilmiah (book chapters)
Akyeampong E, Duguma B, Heineman AM, Kamara CS, Kiepe P, Kwesiga F, Ong CK,
Otieno HJ and Rao MR, 1995. A synthesis of ICRAF’s research on alley cropping. In:
Alley farming research and development. AFNETA, Ibadan, Nigeria. pp 40-51.
Van Noordwijk M, Hairiah K, Lusiana B and Cadisch G, 1998. Tree-soil-crop interactions
in sequential and simultaneous agroforestry systems. In: Bergstrom L and Kirchmann H
(eds.), Carbon and nutrient dynamics in natural and agricultural tropical ecosystems.
CAB International, Wallingford, UK. pp 173-191.
Journal ilmiah
Rowe E, Hairiah K, Giller KE, Van Noordwijk M and Cadisch G, 1999. Testing the
"safety-net" role of hedgerow tree roots by 15N placement at different soil depths.
Agroforestry Systems. Agroforestry Systems 43(1-3):81-93. Kluwer Academic
Publisher and ICRAF.
Suprayogo D, Hairiah K, Van Noordwijk M, Giller K and Cadisch G, 1999. The
effectiveness of hedgerow cropping system in reducing mineral N-leaching in Ultisol.
In: Ginting C, Gafur A, Susilo FX, Salam AK, Karyanto A, Utomo SD, Kamal M,
Lumbanraja J and Abidin Z (eds.) Proc. Int. Seminar Toward Sustainable Agriculture in
the Humid Tropics Facing 21st Century UNILA, Lampung. p. 96 - 106.
Textbook
Ong CK and Huxley P, 1996. Tree-crop interactions – A physiological approach. CAB
International, Wallingford, UK. 386 p.
Vandermeer JH, 1989. The ecology of intercropping. Cambridge Univ. Press. Cambridge,
UK.
Huxley PH, 1999. Tropical Agroforestry.Blackwel Science Ltd, UK. ISBN 0-632-04047-5.
371p.
Hairiah K, Widianto, Utami SR, Suprayogo D, Sunaryo, Sitompul SM, Lusiana B, Mulia R,
van Noordwijk M dan Cadisch G, 2000. Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi:
Refleksi Pengalaman dari Lampung Utara. ICRAF SE Asia, Bogor, 182 p.
Booklet
Hairiah K, Utami SR, Suprayogo D, Widianto, Sitompul SM, Sunaryo, Lusiana B, Mulia R,
van Noordwijk M dan Cadisch G, 2000. Agroforestri pada tanah masam di daerah
tropika basah: Pengelolaan interaksi antara pohon-tanah-tanaman semusim. ISBN 979-
95537-5-X. 41 p.
Materi Training
Anonymous, 1998. Pedoman Agroforestry dalam Perhutanan Sosial. Perum Perhutani.
(dalam: Handbook of Indonesian Forestry). Dept. Kehutanan RI. Koperasi Karyawan
Departemen Kehutanan RI.
Hairiah K dan Sunaryo, 1999. Interaksi Pepohonan-Tanah –tanaman Semusim. Lecture
note Wanatani, Pusdiklat Kehutanan.
Torquebiau E, 1994. Ecological interactions in agroforestry. ICRAF-DSO course, Nairobi,
Kenya.
– 40 –
Van Noordwijk M dan Lusiana B, 2000. WaNuLCAS version 2.0. Background on a model
of water nutrient and light capture systems. International Centre for Reserach in
Agroforestry (ICRAF), Bogor, Indonesia.
Van Noordwijk M and Lusiana B, 1999. WANULCAS 1.2. Backgrounds of a model of
water, nutrient and light capture in agroforestry systems. ICRAF SE. Asia, Bogor.
Van Noordwijk M and Hairiah K, 1999. Tree-soil-crop interactions. Agroforestry lecture
notes. ICRAF SE. Asia, Bogor.
Web site
http://www.icraf.cgiar.org/sea/AgroModels/Agromodels.htm.
– 41 –
Lampiran 1. Daftar Tanaman Untuk Zone Agroekosistem di Jawa dengan tipe iklim C, ketinggian 0 – 700
m di atas permukaan laut. (Sumber: Perum Perhutani, 1998. Pedoman Agroforestry dalam
Perhutanan Sosial).
Stratum Atas
Tanah Kapur Tanah Vulkanis Tanah Lain/Campur
Acacia auriculiformis
Albizia falcataria
Albizia lebbek
Anacardium occidentale
Artocarpus communis
Artocarpus heterophyllus
Cassia siamea
Ceiba petandra
Dalbergia latifolia
Gmelina arborea
Mangifera indica
Melaleuca spp
Parkia speciosa
Peronema canescens
Pithecellobium lobatum
Sterculia foetida
Swietenia macrophylla
Swietenia mahagoni
Acacia auriculiformis
Albizia falcataria
Anacardium occidentale
Anthocephalus chinensis
Artocarpus communis
Artocarpus heterophyllus
Cassia siamea
Ceiba petandra
Durio zibethinus
Osmelina arborea
Mangifera indica
Parkia roxbughii
Parkia speciosa
Peronema canescens
Pinus merkuiii
Pithecellobium lobatum
Samanea saman
Schleichera oleosa
Spondias dulcis
Melaleuca spp
Parkia sp
Tectona grandis
Toona swam
Acacia auriculiformis
Acacia mangium
Albizia falcataria
Anthocephalus occidentale
Anthocephalus chinensis
Artocarpus communis
Artocarpus heterophylus
Cassia siamea
Ceiba petandra
Dalbergia latifolia
Durio zibethinus
Eucalyptus camaldulensis
Osmelina arborea
Mangifera indica
Peronema canescens
Pithecellobium lobatum
Pinus merkusii
Samanea saman
Schleichera oleosa
Spondias dulcis
Sterculia foetida
Swietenia macrophylla
Swietenia mahagoni
Tectona grandis
Toona sureni
Stratum Tengah
Tanah Kapur Tanah Vulkanis Tanah Lain/Campuran
Acacia arabica
Acacia leucophloea
Annona muricata
Annona squamosa
Averrhoa bilimbi
Caesalpinia bonducella
Cajanus cajan
Calliandra calothyrsus
Cananga odorata
Carica papaya
Casuarina equisetifolia
Gliricidia sepium
Gnetum gnemon
Leucaena diversifolia
Leucaena leucocephala
Manilkara kauki
Pandanus spp
Pithocellobium dulce
Psidium guajava
Santalum album
Sesbania grandiflora
Syzyqium cumini
Zalacca edulis
Acacia arabica
Annona muricata
Annona squamosa
Averrhoa bilimbi
Bixa orellana
Caesalpinia bonducella
Cajanus cajan
Calliandra calothyrsus
Cananga odorata
Carica papaya
Coffea robusta
Flemengia macrophylla
Gliricidia sepium
Gnetum gnemon
Lansium domesticum
Leucaena diversifolia
Manilkara kauki
Morinda citrifolia
Moringa oleifera
Musa spp
Nephelium lappaceum
Pandanus spp
Passiflora edulis
Persea americana
Pithecellobium dulce
Pogostemon cablin
Santalum album
Sesbania grandiflora
Syzyqium cumini
Zalacca edulis
Acacia arabica
Acacia leucophloea
Annona muricata
Annona squamosa
Averrhoa bilimbi
Bixa orellana
Caesalpinia bonducella
Cajanus cajan
Calliandra calothyrsus
Cananga odorata
Carica papaya
Gliricidia sepium
Gnetum gnemon
Coffea robusta
Lansium domesticum
Leucaena diversifolia
Leucaena leupocephala
Manilkara kauki
Morinda citrifolia
Moringa oliefera
Musa spp
Nephelium lappaceum
Pithecellobium dulce
Pogostemon cablin
Psidium guajava
Santalum album
Sesbania grandiflora
Syzyqium cumini
Zalacca edulis
– 42 –
Stratum Bawah
Tanah Kapur Tanah Vulkanis Tanah Lain/Campuram
Allium spp
Amomum cardamomum
Amorphophallus campanulatus
Amorphophallus variabilis
Ananas comosus
Arachis hypogaea
Boesenbergia pandurata
Capsicum annuum
Catimbium malaccensis
Colocasia esculenta
Curcuma aeruginosa
Curcuma domestica
Curcuma heyneana
Curcuma purpurascens
Curcuma xanthorriza
Curcuma zeodaria
Dioscorea alata
Dioscorea esculenta
Dioscorea hispida
Dolichos lablab
Glycine max
Helianthus annuus
Ipomoea batatas
Languas galanga
Manihot esculenta
Oryza sativa
Pachyrhizus erosus
Panicum maximum
Piper nigrum
Sesamum indicum
Setaria spp.
Vanilla fragrans
Xanthosoma spp
Zea mays
Zingiber officinale
Allium spp
Amomum cardamomum
Ananas comosus
Arachis hypogaea
Boesenbergia pandurata
Brassica oleracea
Canna edulis
Catimbium malaccensis
Colocasia esculenta
Curcuma aeruginosa
Curcuma domestica
Curcuma heyneana
Curcuma purpurascens
Curcuma xanthorriza
Curcumazeodaria
Daucus carota
Dioscorea alata
Dioscorea esculenta
Dioscorea hispida
Dolichos lablab
Glycine max
Hedycum coronarium
Helianthus annuus
Ipomoea batatas
Kaempferia galanga
Languas galanga
Manihot esculenta
Oryza sativa
Pachyrhizus erosus
Panicum maximum
Hascolus vulgaris
Piper nigrum
Sesamum indicum
Setaria spp
Solanum tuberosa
Vigna radiata
Vanilla fragrans
Xanthosoma spp
Zea mays
Zingiber officinale
Allium spp
Amomum cardamomum
Amorphophallus campanulatas
Amorphophallus variabilis
Ananas comosus
Arachis hypogaea
Boesenbergia pandurata
Capsicum annuum
Catimbium malaccensis
Colocasia esculenta
Curcuma aeruginosa
Curcuma domestica
Curcuma heyneana
Curcuma purpurascens
Curcuma xanthorriza
Curcumazeodaria
Dioscorea alata
Dioscorea esculenta
Dioscorea hispida
Dolichos lablab
Glycine max
Helianthus annuus
lpomoea batatas
Kaempferia galanga
Languas galanga
Manihot esculenta
Oryza sativa
Pachyrhizus erosus
Panicum maximum
Piper nigrum
Sesamum indicum
Setaria spp
Vigna radiata
Vanilla fragrans
Xanthosoma spp
Zea mays
Zingiber officinale